Oleh Mardiyah, S.Pd.I. (Mubalighah Kalbar)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Radikalisasi adalah proses perubahan keyakinan, perasaan, dan perilaku yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan dalam konflik (McCauley dan Moskalenko)
Ada apa sebenarnya di balik gaduhnya stigma radikal di negeri ini? Sehingga pemerintah mengklaim perlu membentengi masyarakat pedesaan yang lugu dengan program Desa Santri supaya tidak terpengaruh oleh paham radikal terutama radikalisasi agama.
Bukan rahasia lagi, upaya deradikalisasi sejatinya untuk meredam bergulirnya bola salju seruan penegakan institusi Khilafah serta penerapan formalisasi syariat Islam kafah. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Tudingan radikal juga dilemparkan pada kubu oposisi, serta diobral murah untuk siapa pun yang suka mengkritisi.
Apabila kita melihat opini yang berkembang di konstelasi politik internasional, gaung istilah radikalisme memang begitu masif. Ini menunjukkan adanya skenario global demi menyatukan opini bahwa perjuangan menerapkan syariat Islam dan menegakkan Khilafah adalah gerakan radikal yang membahayakan.
Terjadilah politik pecah belah dengan mengotak-ngotakkan Islam dengan cap radikal, tradisionalis, ekstremis, fundamentalis, moderat, dsb, kemudian menyematkan karakteristiknya masing-masing sesuai kepentingan yang mereka inginkan. Mereka berupaya membuat karakter Islam yang layak untuk diterima adalah Islam yang bisa dinegosiasikan.
Isu radikalisme pun menjadi alat strategi politik dalam rangka victim blaming. Menutupi keburukan dan kerusakan rezim, sedangkan korban (umat Islam dan ajarannya) didemonisasi dan dijadikan kambing hitam. Di balik itu, segala kerusakan, kebobrokan, dan kegagalan yang diwujudkan oleh para pelaku demokrasi ini makin telanjang di depan mata. Dalam hal ekonomi, misalnya, tidak kunjung mampu menyejahterakan rakyat dengan memenuhi kualitas hidup yang layak, apalagi memberikan rasa aman dan damai.
Pandangan rakyat pun dikaburkan dalam menentukan siapa sesungguhnya common enemy mereka. Bahkan ada upaya agar sasaran kebencian mereka salah alamat, yakni kepada perjuangan penerapan syariat Islam kafah dan penegakan Khilafah. Padahal, sikap destruktif justru nyatanya lahir dari induk rezim itu sendiri tiada lain sekularisme kapitalisme.
Entah sudah berapa banyak upaya untuk memadamkan cahaya Islam, tetapi hasilnya nihil. Sungguh, gorengan radikalisme telah basi. Selalu diterjang badai deradikalisasi, nyatanya Islam tidak jua terkapar. Gelombang kebangkitan Islam justru kian membesar. Realitasnya, makin dimonsterisasi, ide Khilafah justru makin besar dan dicintai. Rakyat yang sudah jengah dan merasakan dampak buruk sistem demokrasi, mulai melirik ide Khilafah yang begitu menarik.
Sebagai sebuah ide, Khilafah acapkali dikatakan utopis. Akan tetapi, tidak sedikit pula kalangan muslim yang meyakininya. Ini karena terwujudnya kehidupan Islam yang kafah merupakan sunatullah. Layaknya air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, cepat atau lambat, pendukungnya akan makin banyak dan Khilafah akan segera tegak.
Puncak dari tren islamisasi ini bukanlah radikalisme yang sekadar wacana. Namun, hal ini akan berujung pada penerapan syariat Islam secara kafah, utuh, dan holistik. Ide Khilafah tidak akan pernah mati, melainkan akan senantiasa hidup hingga kembalinya kehidupan Khilafah sistem warisan Rasulullah saw. saat Allah telah izinkan berdiri kokoh pada saatnya nanti.*
Link: https://jalandamai.org/desa-santri-bentengi-umat-dari-radikalisasi-pelajaran-berharga-dari-kubu-raya-kalbar.html
Makna radikalisasi yang didoktrinkan barat adalah transfer pola berpikir yang mentoleransi kekerasan untuk tujuan tertentu dari orang atau kelompok kepada seseorang atau kelompok lain. (HIMPSI, 2016).
Views: 16
Comment here