Oleh Mahganipatra (Pegiat Literasi dan Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com– Kunjungan wisatawan di Bali mengalami penurunan drastis terutama wisatawan mancanegara. Hal ini membuat kondisi pariwisata Bali mengalami mati suri selama masa pandemi Covid-19.
Hal tersebut berdampak pada penurunan pendapatan daerah Bali yang mengandalkan pemasukan daerahnya dari sektor pariwisata. Bahkan kondisi ini juga sangat berpengaruh pada penurunan penghasilan masyarakat Bali secara umum. ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat menjadi pembicara pada Bali Economic and Investment Forum 2021 secara virtual, Kamis (8/4/2021).
Maka untuk mendongkrak perekonomian wilayah Bali, pemerintah melakukan upaya perbaikan melalui program transfer Desa yang dikonversikan melalui program DAK fisik dan DAK Non-fisik.
Salah satu program yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan pemulihan ekonomi nasional (PEN) khususnya untuk daerah pariwisata seperti Bali. Program PEN diberikan pemerintah kepada pelaku industri pariwisata berupa pinjaman lunak.
Selain itu, Kementerian Keuangan melalui Special Mission Vehicle (SMV) memberikan bantuan pinjaman PEN daerah untuk dapat mengakselerasi proses pemulihan ekonominya.
Program ini menitikberatkan pada pembangunan pendukung pemulihan bidang kepariwisataan berupa pembangunan infrastruktur pada peningkatan amenitas kawasan dermaga, pembangunan rest area beserta pasilitas-pasilitas pendukung rumah wisata. Termasuk juga meningkatkan pelatihan manajemen wisata, pemandu wisata dan promosi dengan menggunakan dana desa untuk membangun wisata dan panggung hiburan.
Program Pemulihan Ekonomi Dengan Program Peningkatan Ekonomi Nasional di Bidang Pariwisata Tidak Tepat Sasaran
Melalui program PEN pemerintah tampak sangat peduli dengan kondisi masyarakat Bali yang mengalami dampak langsung dari pandemi Covid-19. Antusiasme pemerintah untuk segera mengakhiri kondisi masyarakat Bali diwujudkan dengan mendorong peningkatan dan pembangunan sektor pariwisata.
Menkeu menyebut penggunaan DAK Fisik sesuai dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 5 Tahun 2019 ditujukan untuk mendukung langkah pemulihan di bidang kepariwisataan, sedangkan DAK non Fisik untuk meningkatkan pelatihan manajemen wisata, pemandu wisata, dan promosi. Dana desa untuk membangun infrastruktur jalan desa, pondok wisata, dan panggung hiburan.
Benarkah program PEN pemerintah melalui program transfer dana desa dengan menggunakan dukungan DAK fisik dan DAK non-fisik mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Bali? Atau program ini justru malah tidak tepat sasaran?
Karena regulasi bantuan berupa dana desa dan pemulihan ekonomi melalui program PEN tidak berdampak secara langsung kepada masyarakat. Jangankan untuk meraih kesejahteraan masyarakat Bali, untuk meningkatkan penghasilan masyarakat secara langsung saja bagaikan punguk merindukan bulan.
Ketika program DAK fisik dan DAK non-fisik yang dicanangkan oleh pemerintah terhadap provinsi Bali hanya berorientasi pada sektor pariwisata Bali. Maka bisa dipastikan tidak akan pernah mampu mensejahterakan masyarakat Bali. Sebab program ini hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan besar yakni para pemilik modal terutama yang memiliki kepentingan ekonomi dan aset di bidang industri pariwisata. Sementara masyarakat Bali hanya akan menjadi alat pelengkap regulasi untuk memenuhi ambisi besar para investor dalam maupun luar negeri yang memiliki nafsu untuk mengeksploitasi kekayaan wilayah ini.
Bahkan rakyat Bali akan semakin kesulitan karena banyaknya area tanah yang beralih fungsi akibat pembangunan infrastruktur demi menunjang pariwisata dan kepentingan para pemilik modal.
Program ini sejatinya justru akan semakin mengokohkan sistem kapitalisme- demokrasi dan liberalisme-sekularisme.
Selain itu, sebenarnya secara geografis dan fostur wilayah provinsi Bali memiliki potensi alam lain yang mampu di kembangkan dan hasilnya dapat dinikmati langsung oleh masyarakat Bali. Misalnya Pertanian, peternakan, dan potensi hasil laut yang melimpah.
Bukankah program pemulihan ekonomi ini akan lebih tepat sasaran jika pemerintah lebih antusias untuk membangun dan mengembangkan sumber daya alam lain yang ada di Bali dibandingkan dengan program pemerintah yang hanya fokus pada pemulihan ekonomi di bidang pariwisata?
Namun karena ambisi negara yang sangat besar dengan cengkraman kepentingan imprealisme dari negara-negara Barat maka justru negara Indonesia lebih tertarik memuluskan program Great Asian Highway. Yakni membangun infrastruktur transportasi untuk kepentingan para pemilik modal guna mendukung program ekonomi global yang nyata-nyata akan semakin mencengkram negeri ini dalam sistem kapitalisme-demokrasi dan paham liberalisme-sekularisme yang kian dalam.
Pembangunan Sektor Pariwisata dalam Islam
Banyak negara yang memanfaatkan potensi keindahan alam baik yang alami maupun buatan. Beragam kebudayaan yang ada, serta peninggalan bersejarah dari peradaban lain dijadikan sebagai bidang pariwisata untuk menaikan pendapatan negara. Bahkan kadangkala demi menarik wisatawan mancanegara, negara rela membangun fasilitas-fasilitas pariwisata yang menonjolkan kebudayaan liberalisme, hedonisme dan permisivisme. Padahal dari pariwisata ini justru menimbulkan dampak negatif terhadap negara khususnya masyarakat setempat yang hidup di sekitar objek wisata.
Islam merupakan agama yang sempurna mengatur seluruh asfek kehidupan manusia. Negara Khilafah akan menerapkan seluruh hukum-hukum Islam di dalam dan luar negeri. Dengan begitu aktivitas jihad dan dakwah menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar akan tetap menjadi metode negara dalam menyebarkan Islam. Negara Khilafah akan mengambil kebijakan di bidang pariwisata sebagai salah alat dakwah dan propaganda (di’ayah).
Setiap objek wisata keindahan alam akan menjadi objek dakwah karena manusia baik muslim dan non muslim akan tunduk dan takjub menyaksikan keindahan alam. Pada potensi tersebut manusia dapat dibangkitkan keimanannya terhadap Allah Swt sebagai Al khalik dan Al Mudabbir.
Sedangkan terhadap peninggalan bersejarah dari peradaban lain, Islam akan menempuh dua kebijakan:
Pertama, berkaitan dengan peninggalan bersejarah. Jika objek-objek tersebut berupa tempat ibadah maka Khilafah akan membiarkan bangunan tersebut seandainya tempat tersebut masih digunakan sebagai tempat peribadatan namun jika tempat tersebut sudah tidak digunakan maka akan ditutup bahkan dihancurkan.
Kedua, jika objek-objek tersebut bukan tempat peribadatan maka Khilafah akan menutup dan menghancurkannya jika dalam peninggalan tersebut terdapat patung makhluk hidup baik manusia atau binatang. Jika berbentuk gedung maka akan diubah dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan Islam. Seperti halnya saat sultan Al Fatih menaklukkan konstantinopel telah mengubah gereja Hagia Shopia menjadi Masjid seluruh gambar dan ornamen khas Kristen pun di cat dan diganti dengan ornamen Islam.
Adapun yang berkaitan dengan peninggalan bersejarah peradaban Islam. Maka peninggalan tersebut akan dijadikan sarana untuk menanamkan keyakinan dan kesadaran akan kemahabesaran Allah Swt, Islam dan peradabannya bagi wisatawan muslim. Sementara untuk wisatawan non muslim, baik kafir mu’ahid serta kafir musta’min objek wisata tersebut bisa digunakan sebagai sarana menanamkan keyakinan mereka dengan keagungan Allah Swt sebagai Al kholik dan juga kemuliaan Islam, umat Islam beserta peradabannya.
Oleh sebab itu, walaupun bidang pariwisata menjadi bagian dari sumber devisa negara namun karena tujuan utama negara menggunakan sektor pariwisata sebagai sarana dakwah dan propaganda maka Khilafah tidak akan melakukan eksploitasi bidang ini demi kepentingan ekonomi dan bisnis.
Negara Khilafah akan tetap menjaga kemuliaan Islam dan peradabannya dari berbagai invasi budaya Asing.
Wallahu a’lam bish-showab
Views: 8
Comment here