Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Kisruh gas melon memang telah usai. Hanya saja meninggalkan kesan seolah kebijakan yang dibuat terlalu gegabah tanpa pengkajian terlebih dahulu, atau seolah tak ada keselarasan antara presiden dan menterinya.
Pada 1 Februari 2025 menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah melarang penjualan gas LPG 3 kg atau gas melon ke pedagang eceran dan mengalihkannya ke pangkalan resmi dari agen PT. Pertamina agar penyaluran subsidi gas LPG 3 kg tepat sasaran (muslimahnews.net, 8/2/25).
Namun terjadi kisruh di masyarakat karena gas melon menjadi langka dan mereka harus mengantre panjang dan berjam-jam di pangkalan gas melon dan bahkan dikabarkan ada seorang ibu di Pamulang Tangerang Selatan yang meninggal dunia karena kelelahan menempuh jarak 1 km dengan berjalan kaki membawa tabung gas melon dan tiba di tempat harus antre.
Namun kemudian pada 4 Februari 2025 presiden Prabowo menginstruksikan membolehkan kembali pedagang eceran menjual gas melon dengan kemudian menertibkan mereka menjadi agen subpangkalan. Sehingga gas melon kembali mudah didapatkan di pedagang eceran meski belum langsung berjalan normal dan mengalami kenaikan harga menjadi 24ribu hingga 25ribu rupiah.
Ada apa di balik kisruh gas melon?
Menurut Hari Nugroho (Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi) bahwa terjadinya kelangkaan gas melon karena adanya pengurangan kuota LPG 3 kg bersubsidi pada tahun 2025 yang akan menyebabkan berubahnya mekanisme distribusi (muslimahnews.net, 8/2/25).
Hal itu tentunya juga bisa dikaitkan dengan ketersediaan anggaran terhadap subsidi LPJ 3 Kg yang dianggap membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), sehingga pemerintah menurunkan untuk anggaran subsidi dari Rp 204,5 triliun menjadi Rp 203,4 triliun.
Demikinalah sistem ekonomi kapitalis menganggap bahwa subsidi adalah sesuatu yang membebani bagi negara, maka harus dikurangi. Ditambah lagi dengan kondisi liberalisasi migas yang dikuasai korporasi para kapitalis, menjadikan sektor migas nasional hanya sekitar 20% dikuasai Pertamina. Selebihnya 80% dikuasai oleh para korporasi migas asing seperti Chevron, British Petroleum, Exxon Mobil, dan lain-lainnnya.
Padahal amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa:”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Namun amanat ini telah diabaikan.
Dalam sistem ekonomi Islam pun ditetapkan bahwa migas sebagai kepemilikan umum di mana negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Syekh Abdul Qodim Zallum rahimamullah mendefinisikan bahwa “segala sarana umum untuk seluruh kaum muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari yang jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, terkatagori milik umum”.
Maka migas termasuk LPG adalah milik umum.
Hendaknya negara mengembalikannya kepada rakyat berupa bentuk ketersediaan yang sangat mudah dan pengelolaanya menjadi kewajiban negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Leyla
Dramaga, Bogor
Views: 12
Comment here