Oleh Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)
Sejatinya negara-negara kaum Muslim, seperti Afghanistan mampu menjadi negara yang kuat bukan negara tertinggal seperti saat ini, sebab potensi sumber daya alamnya yang begitu berlimpah.
Wacana-edukasi.com — Sorotan lain yang kini ditujukan pada negara Afghanistan bukan hanya pada kasus kerusuhan akibat pengambil alihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban. Tetapi kenyataan atas kekayaan berlimpah yang di miliki oleh Afghanistan, membuat negara yang dikenal sebagai salah satu negara termiskin d dunia tersebut nampaknya menjadi rebutan negara-negara barat yang memiliki kepentingan eksploitasi.
Dikutip dari Kompas.com (20/8/2021), pada tahun 2010, sebuah laporan yang dirilis ahli geologi AS memperkirakan bahwa Afghanistan, memiliki kekayaan mineral hampir 1 triliun dollar AS. Kekayaan tambang tersebut terdiri dari biji besi, tembaga, lithium, kobalt, dan logam langka.
Dalam sebuah laporan tindak lanjut oleh Pemerintah Afghanistan pada tahun 2017 diperkirakan bahwa kekayaan mineral baru di negara itu mungkin telah mencapai 3 triliun dollar AS, termasuk bahan bakar fosil. Sebab, lithium yang digunakan dalam baterai untuk mobil listrik, smartphone, dan laptop, menghadapi permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 20 persen dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu yang berkisar 5-6 persen.
Di lain sisi, lokasi wilayah Afghanistan disebut sangat strategis, sehingga dapat memberikan kentungan bagi negara-negara besar. Dikutip dari Kompas.com (21/8/2021), Afghanistan disebut sebagai “landlocked country”, dimana posisinya terletak pada persimpangan jalan strategis di Asia Tengah dan Selatan. Dan berbatasan dengan beberapa negara antara lain Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan dan China. Dengan posisi strategis tersebut, maka kepentingan negara negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya, Rusia serta China terhadap Afghanistan menjadi sebuah keniscayaan.
Afghanistan Jadi Incaran Negara Kapitalis
Kekayaan alam berlimpah yang dimiliki negara Afghanistan, ditambah lokasinya yang strategis memang sangat meniscayakan negara ini menjadi rebutan negara-negara besar kapitalis. Pada kenyataannya sejak dulu Amerika, China, maupun Rusia memang selalu bersaing dalam hal perebutan kekayaan alam yang dimiliki negara-negara berkembang.
Terlebih sebelumnya, tahun 2020 lalu Amerika dan Taliban telah menandatangani perjanjian damai, yang menandai berakhirnya invasi militer d Afghanistan selama lebih dari 18 tahun lamanya. Isi perjanjian tersebut intinya menerangkan bahwa Afghanistan tidak boleh menyerang keamanan AS di tanah Afghanistan dan AS pun memberikan jaminan untuk menarik pasukannya dari Afghanistan. (Kompas.com, 1/3/2020)
Sehingga meski saat ini Amerika telah menarik pasukannya, bukan berarti Amerika sepenuhnya telah berlepas diri terhadap Afghanistan yang saat ini sedang diambil alih oleh Taliban. Tetapi, dari perjanjian damai tersebut dapat diketahui bahwa kemungkinan besar Amerika masih memiliki posisi untuk melancarkan kepentingannya dalam hal menguasai kekayaan alam Afghanistan.
Tak ketinggalan, China dan Rusia pun nampaknya turut menggencarkan aksinya dalam perebutan SDA Afghanistan. Di kutip dari Kompas.com (20/8/2021), kedua negara, China dan Rusia kemungkinan akan menjalin kerja sama bisnis dengan pemerintah baru Taliban. Sebagai negara produsen, hampir setengah dari barang-barang industri yang beredar di seluruh dunia, China sangat haus akan bahan baku mineral.
Bahkan, sejauh ini Beijing disebut sudah menjadi investor asing terbesar di Afghanistan. Setelah negara itu dikuasai Taliban, China tampaknya akan memimpin investasi asing di sana.
Dari kenyaatan ini, sudah bisa menjadi bukti ketamakan negara-negara besar pengusung sistem kapitalisme barat, yang notabanenya sejak dulu memang sering kali memanfaatkan kekuatannya untuk menjajah kekayaan alam negara-negara berkembang, termasuk negara kaum muslim demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Padahal sejatinya negara-negara kaum Muslim, seperti Afghanistan mampu menjadi negara yang kuat bukan negara tertinggal seperti saat ini, sebab potensi sumber daya alamnya yang begitu berlimpah. Namun, karena kungkungan sistem kapitalisme barat membuat negara-negara muslim saat ini menjadi lemah dan sangat mudah dijajah, diperalat dan dikuasai oleh asing.
Saatnya Kembali pada Sistem Shahih
Kurang lebih 100 tahun yang lalu, selama 14 abad lamanya negara-negara muslim pernah menjadi negara super power yang bahkan disegani oleh negara-negar barat. Hal itu dikarenakan kekayaan alam maupun seluruh aspek kehidupan dikelola berdasarkan hukum syariat Islam yang khas.
Dengan penerapan syariat Islam sebagai sistem kepemimpinan dalam bernegara, segala intervensi asing terhadap kekayaan alam dapat dilenyapkan. Sebab, dalam sistem Islam, kekayaan alam berlimpah yang dimiliki oleh negara Islam tidak boleh diprivatisasi oleh individu, apalagi dikuasai oleh asing. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW. “Seseorang berserikat dalam tiga perkara yaitu air, api, dan padang rumput” (HR. Abu Dawud).
Kekayaan alam tersebut hanya boleh dikelola secara mandiri oleh negara. Kemudian hasil pengelolaannya akan dikembalikan pada rakyat, baik dalam bentuk penyediaan layanan umum, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, maupun penjaminan terhadap keamanan, kesehatan, dan pendidikan rakyat.
Di samping itu, pemimpin (khalifah) yang menjabat akan menyadari perannya sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Sebab, proses pemilihan pemimpin dilakukan dengan ketat dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh syariat. Sehingga, baik rakyat, negara, maupun segala kekayaannya dapat dihindari dari berbagai intervensi asing. Namun, penerapan sistem Islam ini hanya dapat diterapkan dalam sebuah institusi negara yang disebut sebagai Daulah Khilafah.
Walallahu’alam Bisshawab.
Views: 2
Comment here