Oleh Erdiya Indrarini (Pemerhati Publik)
wacana-edukasi.com, OPINI– Bagai tikus mati di lumbung padi, itulah rakyat Indonesia. Negeri dengan hamparan kelapa sawit terbesar di dunia, namun kesulitan mendapatkan minyak goreng. Rakyat menderita, negara pun tak berdaya di bawah ancaman pengusaha, mengapa?
Dilansir dari Cnnidonesia.com (19/8/2023), Para pengusaha ritel Indonesia mengancam minyak goreng kembali langka di pasaran. Karena, sudah satu setengah tahun pemerintah belum membayar utangnya sebanyak Rp344 miliar. Utang ini sehubungan dengan pembayaran selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey menyampaikan bahwa pengusaha ritel akan menodong pemerintah dengan berbagai cara. Seperti dengan memotong tagihan ke distributor, mengurangi pembelian minyak goreng, maupun menyetop pembelian minyak goreng dari produsen. Jika tidak berhasil, maka pihaknya akan menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebagaimana dikutip dari Cnbcindonesia.com, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Kemendag, Isy Karim mengatakan bahwa pembayaran utang tersebut, masih dalam proses meminta pendapat dari Kejaksaan Agung. Hal ini lantaran ada perbedaan pendapat apakah utang tersebut harus dibayar atau tidak. Hal ini mengingat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang penyediaan minyak goreng kemasan telah dicabut.
Salah Kelola Kebutuhan Pangan
Ancaman para pengusaha ritel ini menunjukkan betapa kacaunya pemerintah dalam mengelola kebutuhan pangan rakyat. Juga betapa tidak berdayanya di bawah penguasaan para pengusaha. Terbukti, jangankan dalam menentukan harga, keberadaan minyak goreng untuk kebutuhan rakyat pun pemerintah tidak berdaya. Semua dikendalikan oleh para pengusaha atau korporasi.
Kacaunya pengelolaan kebutuhan pangan rakyat ini berakibat minyak goreng tidak terlayani sebagaimana mestinya. Walaupun harga sudah ditekan, namun tidak mampu menjadikan harga turun atau stabil. Langkah pemerintah menerbitkan, yang kemudian menghapus Permendag Nomor 3 Tahun 2022, malah justru mendatangkan barbagai problem baru.
Padahal, Indonesia memiliki lahan kelapa sawit terbesar di dunia. Hal ini karena luasnya wilayah, serta iklim yang sesuai untuk tumbuh kembang tanaman ini. Indonesia juga menjadi produsen kelapa sawit terbesar. Bahkan, ekspor kelapa sawit menjadi pemasukan negara terbesar nomor 2 selain pajak. Maka dengan tingginya harga atau tidak tersedianya pasokan minyak goreng di pasaran, menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan ekspor dari pada memenuhi kebutuhan rakyatnya di dalam negeri.
Bobroknya Sistem Ekonomi Kapitalisme
Dengan banyaknya produksi yang melebihi kebutuhan dalam negeri, harusnya harga minyak goreng bisa stabil, bahkan tidak mungkin terjadi kelangkaan. Namun, demikianlah yang terjadi. Hall ini berkaitan dengan kesalahan sistem ekonomi saat ini. Di mana, negara Pancasila ini menerapkan sistem ekonomi dari ideologi kapitalisme. Padahal, sistem ekonomi kapitalisme sangat mementingkan urusan para pengusaha, maupun para pemilik kapital alias modal.
Dalam sistem ini, para pemilik modal dilayani dengan istimewa. Padahal atas nama investasi, mereka mengangkangi sumber-sumber kekayaan dan hajat kebutuhan milik rakyat. Mereka tidak hanya menguasai kebutuhan pokok seperti sembako saja, namun juga mengendalikan pelayanan publik. Akibatnya, para spekulan bebas berbuat sesukanya. Mereka bebas memasang harga tinggi, bahkan melakukan penimbunan barang. Ketika rakyat sudah kelimpungan, mereka baru mengeluarkan barangnya dan mematok harga tinggi demi keuntungan pribadi.
Sementara itu, negara hanya berperan sebagai regulator alias pemberi ijin semata, selebihnya tidak berdaya. Menteri Perdagangan (Mendag) sendiri telah mengakui bahwa pemerintah tidak berdaya terhadap spekulan. Walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur, namun hukum buatan manusia itu mudah diubah kapan saja. Bahkan bisa dijual, dibeli, dan ditawar oleh pemilik modal. Inilah bobroknya sistem ekonomi kapitalisme yang seia sekata dengan sistem kapitalisme demokrasi.
Dalam sistem ini, yang dianggap rakyat bukanlah masyarakat seluruhnya, namun para pemilik modal. Negara hanya bertindak sebagai pelayan para pemilik modal, atau korporasi, bukan melayani rakyat seluruhnya termasuk dalam pengurusan kebutuhan pangan. Rakyat dalam sistem kapitalisme demokrasi ini, hanya dielu-elukan pada saat pemilu sampai bilik suara saja. Setelah keluar dari bilik suara, mereka diabaikan, dianggap barang yang tidak lagi berguna.
Sistem Islam Solusi Hakiki
Sangat berbeda jika negara menerapkan sistem Islam. Sistem perekonomian Islam menjamin ketersediaan bahan pangan di pasaran dengan harga yang terjangkau. Hal itu karena sistem pemerintahan Islam mengharuskan peran utama negara sebagai penanggung jawab seluruh kebutuhan rakyat. Dalam pelaksanaannya, negara tidak boleh bergantung pada siapa pun, baik pada individu, swasta atau korporasi, apalagi kepada asing.
Dengan demikian, setiap kebijakan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat, harus ditetapkan oleh negara atas dasar menjalankan kewajiban. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah saw. yang artinya :
“Seorang imam atau kepala negara adalah ibarat penggembala atau pengurus, dan dia bertanggung jawab atas setiap rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari)
Maka untuk menjamin ketersediaan dan kestabilan harga segala kebutuhan rakyat, negara akan memastikan stok yang cukup di dalam negeri. Oleh karenanya, agar hasil bumi ini tidak hanya menjadi bancakan para korporasi, negara harus menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan. Negara dengan sistem Islam akan mengurus segala kebutuhan rakyat dan mengelolanya mulai dari petani atau produsen, hingga sampai pasar untuk siap dikonsumsi.
Selain itu, negara tidak akan menjerumuskan diri pada mekanisme pasar internasional. Tetapi mengelola secara mandiri bahan baku minyak goreng (CPO) untuk memenuhi kebutuhan warganya. Dengan cara ini, maka para spekulan tidak memiliki celah untuk mempermainkan kebutuhan rakyat di sektor produksi. Adapun dalam distribusi di pasaran, pemerintah tidak akan mematok harga. Karena hanya Allah Swt. yang berhak mematok harga, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya :
“Allah lah zat yang maha pencipta, menggenggam, melapangkan rezeki, memberi rezeki, dan mematok harga.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, harga barang dan jasa dalam pemerintahan Islam akan dibiarkan menyesuaikan mekanisme pasar sesuai dengan penawaran dan permintaan (supply and demand). Sehingga, terciptalah keseimbangan ekonomi antara harga dan kuantitas. Persaingan ini secara alami menjadikan harga stabil dan terjangkau. Jika permintaan banyak sementara supply sedikit, maka pemerintah akan mengintervensi. Yaitu dengan menyuplai ketersediaan barang.
Alhasil, setiap individu rakyat mampu mengakses dan membeli bahan kebutuhan mereka dengan mudah dan harga terjangkau, bahkan gratis. Inilah pasar yang sehat. Yaitu pasar yang terhindar dari penguasaan para pengusaha ritel. Hal ini akan terwujud jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam.
Dengan demikian, maka tak ada pilihan lain kecuali negara harus mengatur kembali masalah kepemilikan harta milik umum sesuai dengan syariat Islam. Karena dalam sistem Islam, haram hukumnya hutan dijadikan sebagai perkebunan pribadi, atau milik korporasi sebagaimana saat ini. Maka, tidakkah rindu menerapkan kembali sistem Islam secara kaffah dalam pemerintahan?
Wallohua’lam bisshowab.
Views: 30
Comment here