Oleh: Auliya Marwah Az Zaahidah (Siswa Kelas 1 NDM Surakarta)
Wacana-edukasi.com — Perjalanan ke sekolah pagi ini, tidak membuatku bersemangat. Sebenarnya hari ini adalah hari pengumuman kelulusan sekolah yang harus didatangi orangtua siswa masing-masing. Tapi Mama dan Papaku sepertinya tidak bisa datang, itu yang membuatku merasa sedih. Undangan yang kuberikan kemaren lusa masih tergeletak rapi di meja ruang tengah, tanpa ada yang menyentuh. Aku sangat berharap mereka bisa datang menemaniku, makanya tadi pagi saat sarapan aku coba menyampaikan lagi.
“Maaf Luna, Mama hari ini ndak bisa sayang. Ada proyek yang harus segera Mama kerjakan”. Itu jawaban yang kudapat. Ingin rasanya memaksa Mama dengan mengancam, seperti saat Aku memaksanya untuk mengantarku ke acara ulang tahun Laras, sahabatku minggu lalu. Sehingga membuat Mamaku marah besar, karena merasa Aku tidak mau mengerti dirinya. Sejak saat itu Aku berjanji untuk bisa mengerti Mama.
Setali tiga uang dengan jawaban Mama. Papa bilang ada meeting mendadak dikantornya. Mataku mulai berlinang, kucoba menahannya agar airnya tidak jatuh. Ada perasaan kecewa dalam hatiku, tapi aku mulai terbiasa. Entah sudah berapa lama, kejadian seperti ini berulang-ulang. Setelah pamit dan mencium punggung tangannya, aku keluar mobil dan masuk ke sekolah dengan perasaan enggan. Sapaan teman-teman dan pak Santo, Satpam sekolah tak merubah semangatku.
Namaku Luna, lebih tepatnya Laluna Nashila Putri. Papaku bilang, nama ini pemberian dari Eyangku. Aku anak tunggal dari Bapak Raihan Adinugroho, seorang Manajer perusahaan besar swasta di kotaku dan Ibu Ratna Aprilia yang bekerja di Proyek Perumahan. Banyak yang bilang, wajah dan fisikku itu perpaduan sempurna antara Mama dan Papaku. Kulit hitam manisku, kurus dan tinggiku milik Papaku. Rambut hitam lurusku, cara berjalanku betul-betul fotokopian Mamaku. Aku anak yang mudah bergaul dengan siapa saja, seandainya saja ada yang memberikan tantangan berhadiah untuk menyebut nama-nama tetangga perumahanku, dijamin hadiah itu akan menjadi milikku.
Saat masuk kelas, kulihat Laras sudah datang. Ada Tante Sinta, Bundanya di sampingnya. Aku berjalan tersenyum mendekati mereka, sambil salim ke Tante Sinta.
“Hai Lun, kamu datang dengan siapa?” Tanya Laras sambil celingukan melihat ke arah pintu. Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Mamamu ndak bisa datang lagi?” Tanyanya lagi dengan nada tinggi memastikan jawabanku. Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Oh kasihannya sahabatku ini… sini-sini peluk.” Ucapnya dengan ekspresi seperti Ibu ke anaknya sambil merentangkan tangannya memelukku. Tante Sinta hanya geleng-geleng kepala.
Setelah mengobrol dengan kami, Tante Sinta pergi dulu ke Aula tempat acara dilaksanakan, bergabung dengan ibu-ibu yang lain. Sedangkan kami melakukan persiapan bersama Bu Zia, Wali Kelas kami.
———-
“Selamat untuk Ananda Laluna Nashila Putri, Kepada Bapak Kepala Sekolah diperkenankan untuk memberikan piagam dan piala.” Dadaku berdebar-debar, jantungku berdegup kencang saat namaku dipanggil. Rasa senang, bahagia, terharu dan sedih bercampur aduk di hatiku, saat menerima penghargaan ini.
‘Andaikan saja kalian ada disini Ma Pa, betapa bahagianya aku. Bisa menjadi kebanggan kalian.’ Tak terasa air mataku menetes sambil terus berusaha tersenyum. Teman-temanku memelukku dan bergantian mengucapkan selamat. ”Selamat ya Lun…”
Sekarang di kelas ini, tinggal Laras, Aku, Indah, Sarah dan Tyas. Para orangtua sudah pulang termasuk orangtua mereka. Mereka minta ijin untuk pulang belakangan karena masih ingin bersamaku, berusaha untuk menghiburku. Tiba-tiba si Laras berkata, “Hei temen-temen, waktunya traktiran lho…”
Semua menoleh ke Laras, “Emangnya yang mau nraktir siapa?” Tanya Sarah.
“Siapa lagi?” jawab Laras sambil matanya memberikan isyarat kalau yang mentraktir mereka adalah Aku. Aku tersenyum, tidak mau mengecewakan mereka akhirnya kuajak mereka ke warung Bakso Malang milik pak Sapri langganan kami di dekat sekolah. Warungnya bersih, baksonya enak terutama kuahnya, ditambah lagi tetelan-tetelan dan gorengan bakwan. Khas Malangan pokoknya, murah lagi, pas untuk kantong anak sekolahan seperti kita ini.
‘Tak apalah sesekali, bisa jadi ini pertemuan terakhir dengan teman-temanku sebelum masuk SMP. Lagian pulangpun Mama Papa pasti belum datang.’ Kataku dalam hati. Rasa kecewaku sedikit terobati dengan candaan mereka.
———-
Sampai di rumah kulihat mobil Papa dan Mama sudah ada di garasi. Hatiku senang, tak sabar ingin menunjukkan piagam dan piala yang kupegang ini kepada mereka. Segera dengan sedikit berlari Aku masuk rumah. Belum sempat kubuka pintu, dari dalam rumah terdengar suara teriakan marah Mama Papa saling bersahut-sahutan, bersamaan dengan bunyi barang terlempar dari tempatnya. Dadaku bergemuruh, rasa bahagiaku lenyap seketika. Bulir bening di sudut mataku sukses menggelinding di pipi. Badanku terasa lemas, tanganku tak berdaya, piagam dan piala di tanganku terlepas. Rencana untuk memberitahukan piala ini tidak jadi kulakukan. Segera kakiku berlari meninggalkan rumahku menuju tempat favoritku, ayunan Taman Perumahan. Ada yang terasa sakit dan sesak di dalam dadaku, air mataku semakin deras.
Kejadian ini bukan hanya sekali atau dua kali Aku lihat. Entah sejak kapan dimulainya, dan Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Sudah lama kami tidak keluar bersama saat liburan, nonton TV bersama, makan bersama dan ngobrol di sela-sela makan kami. Entah apa yang dipikirkan orang dewasa. Seandainya mereka bertengkar, kan tidak ada salahnya saling memaafkan. Seperti yang mereka ajarkan padaku jika Aku bertengkar dengan temanku. Sejak itu Aku merasa sendiri, meskipun ada Mbok Yem, pembantu di rumahku yang selalu menemaniku, menyediakan kebutuhanku.
Aku masih betah dengan pikiranku, tanpa kusadari Ustadzah Dinar, Guru mengajiku mendekatiku. Suara lembutnya menanyakan Aku kenapa, membuat tangisku pecah lagi. Dia memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. Kuceritakan semuanya, dan dia mendengarku dengan seksama.
“Aku rindu Mama Papa…Us.” Kataku sambil menunduk.
“Yang sabar ya dek Luna…” jawab Ustadzah Dinar menenangkanku.
“Ohya, dek Luna sudah sholat Ashar?” Tanyanya lagi. Aku menggeleng.
“Ayo ikut Ustadzah ke masjid, Dek Luna sholat dulu! Apapun masalahnya, jangan pernah tinggalkan sholat. Setelah itu, adukan semuanya sama Allah, karena Dek Luna punya Allah. InsyaAllah, pasti dibantu sama Allah.” Akhirnya Aku mengikuti Ustadzah Dinar ke masjid Perumahan tempat Aku biasanya mengaji. Setelah sholat dan berdoa, hatiku sedikit merasakan tenang. Ustadzah Dinar menyarankanku pulang, meski sebenarnya Aku malas. Tapi akhirnya kuturuti juga.
Sampai di rumah, rumahku sepi. Aku tahu pasti Papa tidak ada di rumah, biasanya begitu setelah bertengkar dengan Mama. Aku disambut Mbok Yem, “Mbok, Mama kemana?” tanyaku.
Belum sempat simbok menjawab, “Kamu habis dari mana, sudah malam kok baru pulang? Pulang sekolah harusnya langsung pulang, ini malah maen. Tadi Mama telpon Laras, harusnya siang sudah sampai rumah. Bikin Mama khawatir aja, mau jadi apa kamu hah…” Mamaku marah.
Mama terus mengomel, hatiku jadi mendidih. Ingin rasanya menjawab dengan marah, tapi Mbok Yem mencegahku. Aku berlari ke kamarku, ingin rasanya Aku berteriak sekeras-kerasnya agar Mamaku tahu Aku tidak suka ini. Kuhempaskan badanku ke kasur, kututupi mukaku dengan bantal, berharap kejadian ini hanya mimpi dan menghilang.
———-
Kepalaku masih pusing, padahal sudah kubuat tidur lagi setelah sholat subuh tadi pagi. Aku keluar kamar menuju ruang makan. Mbok Yem sudah menyiapkan makanan kesukaanku, segera kuambil piring, perutku sangat lapar karena semalam tidak makan. Kulihat Mama mendekatiku, sepertinya mau berangkat kerja. “Luna maafkan mama ya, kemaren Mama terlalu kasar sama kamu. Mama ndak bermaksud begitu, tapi Mama lagi pusing.” Aku diam.
“Oh ya, kemaren gimana? Mama diceritain dong…” Tanya Mama kepadaku.
“Aku lulus Ma.” Jawabku singkat karena malas.
“Terus…” Sepertinya Mamaku mengharapkan Aku bercerita panjang. Aku diam.
Sambil menghela nafas panjang, “Luna, ada sesuatu yang harus Luna tahu. Papa dan Mama sudah mengambil keputusan untuk berpisah. Dan Mama berharap Luna mau ngertiin Mama. Mama minta Luna memikirkan Luna ikut Mama atau Papa. Maafin Mama ya Luna…” Aku terdiam, terkejut luar biasa. Ada rasa takut menjalar di tubuhku, Aku menangis. Ingin Aku bilang ke Mama agar dia juga mau mengerti aku.
Mama memelukku, “Jangan menangis Luna, Mama yakin Luna anak yang kuat. Ini yang terbaik buat Mama, Papa dan Luna.”
Kuseka air mataku, “Ma, mulai hari ini aku libur, boleh ndak besok Aku berlibur ke rumah Yangkung, Yangti?”
“Tapi, Mama ada waktu libur minggu depan, jadi Mama ndak bisa nganter sekarang sayang.” Jawab Mamaku.
“Boleh ya aku kesana sendiri?” Pintaku.
———-
Dengan sedikit memaksa akhirnya Mama menyetujui permintaanku. Dan sekarang Aku sudah di atas mobil travel yang akan mengantarkanku ke rumah Eyangku di kota yang terkenal dengan makanan khas tapenya, Bondowoso. Perjalanan lima jam ini terasa sangat lama tidak seperti biasanya. Ingin rasanya segera sampai, ketemu Eyangku. Pemandangan pantai Bentar, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton, tempat transit di Tongas, Gunung Arak-arak yang biasanya sangat menarik hatiku untuk kunikmati, berlalu begitu saja. Selama perjalanan kubuat tidur, agar Aku tidak ingat dengan masalah Mama dan Papaku.
Sampai disana, Aku disambut dengan pelukan erat Yangkung Yangtiku. Kuluapkan kesedihanku dengan menangis sekeras-kerasnya. Aku tahu Yangkung Yangtiku pasti sudah tahu kondisi Mama Papaku. Setelah istirahat, makan dan ngobrol, sore harinya Aku minta ijin untuk jalan-jalan sebentar. Aku menolak saat Yangkungku menawarkan untuk menemani, Aku ingin sendiri. Kususuri pematang sawah, tujuanku saung yang ada di tengah sawah. Menikmati suasana sore di desa sangat jauh berbeda dari Malang, yang sunsetnya tak terlihat karena sawahnya mulai menghilang tergantikan dengan Perumahan dan Kafe-Kafe. Kuhirup udara sore dalam-dalam, teringat perkataan Mamaku kemaren dan Yangtiku tadi. “Kamu yang sabar ya Nduk.., adakalanya anak ndak harus mengerti kondisi orang tua. Mama Papamu punya masalah yang memang harus mereka selesaikan, Luna hanya perlu mendoakannya saja.”
Sore berlalu, mentaripun akan melanjutkan tugasnya menyinari belahan bumi yang lain. Terdengar sayup-sayup Adzan Maghrib memanggil, menandakan Aku harus segera pulang. Paling tidak hatiku sudah sedikit tenang, meskipun Aku juga masih bingung harus memilih yang mana, diantara dua hati yang sama-sama kusayangi.
TAMAT
Views: 37
Comment here