Oleh: Umul Asminingrum, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyampaikan bencana hidrometeorologi terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat.
Hujan dengan intensitas tinggi pada pekan kedua Januari, telah merendam 470 rumah di Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Sumatra Selatan. Sementara itu banjir juga berdampak pada 361 rumah di Kecamatan Benakat, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi. Banjir terjadi akibat luapan sungai Benakat dan Sungai Lematang.(CNN Indonesia, 11/01/2025). Sedangkan di Bondowoso banjir bandang menghanyutkan sedikitnya 12 rumah warga. (Berita Satu, 09/01/2025)
Lemahnya Mitigasi Negara
Banjir telah menjadi musibah tahunan yang terus mengancam kehidupan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Ironisnya, upaya mitigasi dari negara kerap terlihat lemah dan tidak terencana. Hal ini mencerminkan kurangnya keseriusan dalam melindungi rakyat dari bencana. Dimana dapat merenggut nyawa dan menghancurkan sumber penghidupan mereka.
Padahal, sebagai pengatur urusan rakyat, negara seharusnya mengambil langkah-langkah strategis, mulai dari perbaikan sistem drainase, pengelolaan lingkungan, serta pengaturan infrastruktur pengendali banjir. Kelemahan dalam mitigasi ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan. Serta implementasi penanggulangan bencana yang selama ini dilakukan.
Bukti lemahnya mitigasi negara dalam menghadapi bencana banjir terlihat dari beberapa aspek. Pertama, buruknya infrastruktur pengendali banjir, seperti saluran drainase yang tidak mampu menampung debit air hujan. Banyak daerah perkotaan, termasuk ibu kota, yang rutin tergenang karena sistem ini tidak diperbarui sesuai kebutuhan. Kedua, minimnya pengelolaan lingkungan, seperti penebangan hutan secara masif dan alih fungsi lahan. Ketiga, lambannya respon darurat ketika bencana terjadi, mulai dari keterlambatan distribusi bantuan hingga kurangnya tempat pengungsian yang layak. Semua ini menunjukkan bahwa mitigasi belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan negara.
Negara hanya Fasilitator
Negara sering kali hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan kapital. Pembangunan yang dilakukan sering berorientasi hanya pada keuntungan semata. Hal ini karena Indonesia mengadopsi Kapitalisme yang mengorbankan keseimbangan ekosistem. Kebebasan oligarki dalam mengubah lahan resapan air menjadi kawasan garapan demi mengejar pertumbuhan ekonomi, memperburuk potensi banjir. Kawasan hijau dan lahan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerapan air kini berubah menjadi kawasan industri, perumahan mewah, atau pusat perbelanjaan.
Hal ini tidak hanya melanggar prinsip pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap kepentingan rakyat. Akibatnya, masyarakatlah yang harus menanggung dampak buruk dari kebijakan yang tidak berpihak pada pelestarian lingkungan.
Hal ini terbukti dari pernyataan Presiden, yang pernah menyatakan bahwa deforestasi untuk pembukaan lahan sawit tidak membahayakan. Pernyataan tersebut menunjukkan sikap abai terhadap dampak lingkungan jangka panjang, yang telah banyak diungkapkan oleh para ahli. Padahal, deforestasi menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga ekologis, penyerap air, dan penahan erosi. Para pakar telah memperingatkan bahwa penggundulan hutan secara masif berkontribusi besar terhadap berbagai bencana. Termasuk banjir, tanah longsor, hingga krisis iklim. Dengan mengabaikan risiko ini, kebijakan negara seolah memberikan lampu hijau bagi eksploitasi alam demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Tanpa mempertimbangkan keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.
Situasi ini membuktikan bahwa pemimpin gagal menjalankan perannya sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya. Alih-alih mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang diambil sering kali berpihak pada kepentingan pemilik modal. Ketika deforestasi dan eksploitasi alam dibiarkan atas nama pertumbuhan ekonomi, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Dalam bentuk bencana seperti banjir dan kerusakan lingkungan.
Pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab melindungi rakyat dari ancaman ini, justru memperlihatkan ketidakmampuan dalam mengatur urusan rakyat secara adil dan bijaksana. Hal ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan amanah kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Islam Solusi Tuntas Atasi Bencana
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menghindarkan rakyat dari berbagai bentuk kemudharatan, termasuk risiko bencana alam. Hal ini diwujudkan melalui perencanaan yang matang dalam pembangunan. Negara yang menerapkan sistem Islam akan memastikan pembangunan kota dilakukan berdasarkan prinsip mitigasi bencana. Sehingga keselamatan rakyat menjadi prioritas utama. Lebih dari itu, Islam mendorong adanya pemetaan wilayah secara komprehensif berdasarkan letak geografisnya. Guna menentukan area yang aman untuk pemukiman, pertanian, maupun kegiatan ekonomi lainnya.
Salah satu contoh tata ruang kota pada masa kekhilafahan, yang terbebas dari bencana atau banjir adalah kota Baghdad, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Dibangun pada tahun 762 M oleh Khalifah Al-Mansur, Baghdad dirancang dengan prinsip tata ruang yang sangat matang dan mempertimbangkan aspek geografis serta lingkungan. Kota ini dibangun di tepi Sungai Tigris, dengan sistem kanal dan saluran irigasi yang dirancang untuk mengelola air, mencegah banjir, dan menyediakan pasokan air bersih bagi penduduk.
Kota Baghdad berbentuk melingkar (circular city), yang tidak hanya memudahkan sistem pertahanan, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan ruang. Kanal-kanal utama mengalirkan air dari Sungai Tigris ke berbagai penjuru kota, sedangkan drainase yang baik memastikan air hujan dan limpahan sungai tidak menyebabkan genangan atau banjir. Selain itu, pemilihan lokasi pembangunan kota ini berada di dataran yang relatif tinggi, mengurangi risiko terdampak banjir besar.
Perencanaan ini mencerminkan bagaimana prinsip-prinsip Islam diterapkan dalam pembangunan kota. Yaitu menjaga keselamatan dan kesejahteraan rakyat, melalui perencanaan yang sesuai dengan kondisi alam dan geografis setempat.
Sebab dalam Islam, negara berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Fungsi ini menjadikan negara bertanggung jawab penuh dalam memastikan kesejahteraan dan keselamatan warganya. Termasuk mencegah dampak buruk dari bencana alam. Dengan menerapkan tata kelola yang sesuai dengan syariat. Seperti perencanaan kota yang berbasis mitigasi bencana dan pemetaan wilayah berdasarkan letak geografisnya. Negara akan mampu melindungi rakyat dari berbagai ancaman. Negara tidak hanya berperan sebagai pelaksana pembangunan, tetapi juga sebagai penjaga yang melindungi rakyat dari kemudharatan.
“Imam (pemimpin) adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa seorang pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab untuk mengurus dan menjaga rakyatnya. Termasuk melindungi mereka dari segala bentuk kemudharatan, baik itu ancaman sosial, ekonomi, maupun bencana alam. Dengan peran ini, negara Islam diwajibkan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Seperti perencanaan tata ruang kota yang aman dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Fungsi pemimpin sebagai ra’in juga menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus selaras dengan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap rakyat.
Views: 2
Comment here