Opini

Dilema RUU KIA : Melindungi atau Mendiskriminasi Perempuan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Siti Alfina, S. Pd (Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com– Sepertinya tidak akan pernah habis pembahasan mengenai seorang ibu. Ibu yang merupakan sosok wanita paling berjasa bagi semua manusia yang terlahir di dunia. Seorang yang bergelar ibu patut dihormati dengan segala kemuliaannya, lemah lembutnya dan kasih sayangnya.

Ibu rela berkorban jiwa, tenaga, masa bahkan harta demi anaknya. Karena itu takkan ada seorangpun yang sanggup untuk membalasnya. Dengan demikian kesejahteraan ibu harus sangat dijaga supaya perannya terwujud sempurna tatkala menjalankan tugas mulia dari Pencipta.

Kini, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) tengah ramai diperbincangkan. Hal ini menimbulkan dilema di tengah masyarakat baik bagi pekerja perempuan maupun dari perusahaan/instansi yang menjadi objek tempat bekerja. Pasalnya, salah satu draft yang tercantum di dalam RUU tersebut yakni usulan cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama 6 bulan.

Pemerintah dan DPR RI telah membahas RUU KIA ini yang telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan 7 Fraksi di DPR telah pun menyetujuinya. Puan Maharani selaku ketua DPR RI menyatakan RUU KIA mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial  perusahaan (kompas.com, 19/6/2022).

Salah satu anggota DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah sekaligus sebagai pengusul RUU KIA menanggapi sangat penting agar RUU ini segera disahkan. Beliau membeberkan beberapa alasan terkait pentingnya cuti melahirkan selama 6 bulan. Pertama, adanya fenomena depresi pasca melahirkan baik karena perubahan hormon ataupun kondisi internal dari ibu. Kedua, adanya pengaruh terhadap psikologis ibu karena membutuhkan waktu transisi untuk memulihkan diri baik secara fisik maupun mental sebelum kembali bekerja. Ketiga, berpotensi menimbulkan kerugian terbesar bagi bangsa atau negeri jika terabaikannya masa-masa _golden age_ bagi anak disebabkan kondisi eksternal perempuan (detiknews.com, 19/6/2022).

Beberapa pihak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung penuh pengesahan RUU KIA tersebut karena memiliki tujuan positif terkait tumbuh kembang anak. Dari segi kesehatan, bayi akan memperoleh ASI ekslusif penuh selama 6 bulan yang tentu saja akan berpengaruh signifikan terhadap bayi, ibu, keluarga dan ekonomi. Selain itu juga dapat mengurangi resiko stunting, menurunkan angka kematian ibu dan anak serta memperoleh derajat kesehatan optimal dari seorang anak.

Kapitalisme Mendiskriminasi Bukan Melindungi Perempuan

Sepintas, wacana perpanjangan cuti melahirkan seakan memberikan angin segar bagi perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan juga kebijakan tersebut justru menjadi bumerang bagi pekerja perempuan itu sendiri. Pasalnya, di dalam RUU KIA juga mengatur penetapan upah bagi ibu yang sedang cuti melahirkan yaitu dengan mendapatkan 100% selama 3 bulan pertama, kemudian  dibayarkan 70% untuk 3 bulan selanjutnya.

Namun, jika dipandang dari kacamata  ekonomi kebijakan perpanjangan cuti melahirkan ini tentu lebih banyak memberatkan perusahaan baik dari sisi cost product, rekrutmen serta penurunan produktivitas. Intinya, tentu saja perusahaan tidak mau rugi. Kasarnya, untuk apa membayar pekerja yang tidak bekerja selama berbulan-bulan?

Jika aturan ini berlaku maka akan menimbulkan banyak problem lainnya terutama diskriminasi perempuan dalam akses terhadap pekerjaan. Konsekuensinya perempuan akan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena memiliki nilai tawar yang lebih rendah untuk bersaing dengan laki-laki. Sehingga perusahaan atau pihak pemberi kerja akan lebih memilih untuk mempekerjakan pekerja laki-laki yang bisa berkontribusi penuh demi menjaga produktivitas perusahaan mereka.

Dalam sistem Kapitalisme, perempuan dipaksa menyandang beban ganda. Perempuan dipaksa menelan propaganda peran ganda yakni di rumah sebagai isteri dan ibu, di luar rumah sebagai pekerja. Karena tuntutan kehidupan kapitalis yang semakin besar, beban hidup semakin berat, maka kebanyakan perempuan sibuk bekerja meninggalkan rumahnya yang konon untuk mendapatkan double income bagi keluarganya.

Ideologi Kapitalisme mengukur kesuksesan dengan tercapainya materi dan posisi publik. Dengan begitu, perempuan akan dihargai dengan taraf ekonominya, status sosialnya dan prestasi profesinya. Sehingga wajar jika era modern ini banyak sekali perempuan yang kehilangan jatidirinya.

Sementara itu, paham liberalisme juga mempengaruhi perempuan untuk mendapatkan kebebasan seluas-luasnya demi meraih kesuksesannya. Tak peduli bagaimana cara untuk mencapai itu semua. Perempuan harus bersaing dan berjuang dengan laki-laki demi eksistensi dirinya. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa sayang meninggalkan karirnya untuk memfokuskan perannya sebagai ibu rumah tangga.

Sebab itu, peran utama perempuan sebagai pencetak generasi dan pengatur urusan rumah tangga tidak dihargai, justru dianggap sebagai biang keladi diskriminasi perempuan itu sendiri. Di sinilah letak kesalahpahaman sistem Kapitalisme dalam memandang dan menghargai perempuan. Alih-alih memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, justru mengantar perempuan ke jurang kesengsaraan.

Ibu Mulia dan Sejahtera dari Pencipta

Perempuan disiapkan oleh Allah SWT untuk mengemban tugas mulia, sebagai isteri dan ibu. Baik secara fisik, akal pikiran maupun emosional.

Sebagai ibu, peran perempuan untuk mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak tidak tergantikan sepanjang zaman. Ibu juga sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak, pembentuk karakter anak, sekaligus tempat anak berharap kasih sayang yang mengalir sepanjang hayat tak terputus walau sesaat. Ibu bahagia mencintai dan dibutuhkan anak sepanjang masa.

Tentu saja menjalani peran semacam ini tidak dapat dilakukan paruh waktu atau sambilan semata. Ia membutuhkan waktu, pikiran, tenaga dan usaha keras. Anak membutuhkan komunikasi yang efektif dan keteladanan dari orang tuanya. Karena itu, bila perempuan dituntut juga untuk memikul beban nafkah, mampukah ia menghasilkan anak yang berkualitas?

Hanya saja, perempuan tetap boleh bekerja di ranah publik akan tetapi bukan berarti sebagai pencari nafkah. Melainkan perempuan bekerja karena untuk mengaplikasikan ilmunya. Tentu saja harus terikat dengan mekanisme syariah dan tidak melepaskan kewajiban utamanya.

Dengan peran yang diemban sebagai ibu, perempuan mestinya mendapatkan perlindungan, penjagaan dan jaminan untuk menjalankan peran tersebut sebaik-baiknya. Nafkahnya ditanggung, pendidikan berkualitas ia dapatkan, kesehatannya terjamin, bukan sebaliknya.

Islam memberikan nilai tak terhingga pada status perempuan. Ideologi Islam tidak pernah memandang perempuan sebagai benda, melainkan sebuah kehormatan. Sebab itu, Islam telah menetapkan serangkaian hukum untuk menjaga kehormatan perempuan. Sehingga dalam konteks muslimah, perempuan sukses adalah perempuan yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai ibu pencetak generasi dan pengatur urusan rumah tangga.

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang wanita (isteri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya” *(HR Muslim)*.

Berdasarkan hadits ini, maka akan menumbuhkan keyakinan muslimah terhadap kemuliaan perannya. Jika ia menjalankan semua itu dengan baik semata-mata berharap ridha Allah, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia disebut perempuan sukses, tidak hanya di dunia melainkan juga sukses di akhirat.

Perempuan pun turut menyumbang kontribusi besar dalam kebangkitan umat. Pemahaman yang mendalam sebagai ibu generasi akan mengokohkan kualitas generasi masa depan Islam berikutnya. Karena kaum ibulah sebagai tonggaknya. Solusinya terletak pada penerapan aturan Islam yang memiliki visi penjagaan dan perlindungan bagi peran dan fungsi perempuan.

Oleh sebab itu, perempuan memiliki kepentingan besar dalam agenda penegakan kembali Khilafah, bukan semata-mata karena ingin hidup mulia melainkan karena ketaatan seorang hamba pada perintah Pencipta Nya.

WalLahu ‘alam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here