Tabligul Islam

DKI (Dakwah, Khilafah, Ibadah) Why Not?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Irsad Syamsul Ainun

wacana-edukasi.com– Setiap perjalanan ada kelelahan. Setiap aktivitas ada pula lelahnya. Sepertinya memang tak ada satu pun bentuk aktivitas di dunia ini tanpa ada rasa lelah. Jangankan aktivitas seperti berjalan, berlari, tidur dan makan pun rasa lelah juga.

Akan tetapi apa pun bentuk aktivitas yang kita jalani jangan sampai membuat kita berhenti atau bahkan menghilang.

Hiduplah seperti pengendara. Sesekali harus melewati lampu merah. Bukan berhenti selamanya. Namun lebih kepada arti istrahat sejenak, membiarkan pengendara lain melalui jalan itu. Meskipun arahnya berbeda. Tapi selalu ada tujuan akhir. Bukankah begitu?

Lalu muncul pula lampu kuning lebih tepatnya mendekati orange. Peringatan bahwa lampu hijau akan segera berakhir. Mungkin ini akan lebih cocok disadingkan dengan kematian. Ya posoisinya sebagai pengingat. Bahwa semua makhluk akan mengalami sebuah kata ‘tamat’. Berakhirnya kesempatan berkarir di dunia. Tentunya untuk mengumpulkan bekal di kehidupan yang lebih lama, lebih utama dan menikmati hasil yang selama ini diperjuangkan. Apakah menikmati keindahan dengan sungai dibawahnya yakni Syurga, atau justru sebliknya menikmati siksaan dan nyala api yang tak pernah padam (neraka).

Kemudian, muncul segala bentuk pertanyaan. Hidup untuk apa? Mungkin banyak orang akan menjawab hidup ya untuk menikmati masa. Menikmati usia yang hanya sementara. Jadi, harus melakukan sesuatu dan atau menghasilkan sesuatu yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita. Baik pribadi, keluarga, juga bisa untuk orang lain. Berupaya sekeras mungkin untuk bisa menikmati hasil perjuangan diri. Tapi ternyata ada yang kemudian terlupa. Yakni hidup untuk dakwah, Ikhalifah, dan Ibadah.

Setiap aktivitas manusia pasti memunculkan pertanyaan apakah ini bernilai Ibadah atau hanya sekedar memenuhi tuntutan hidup? Jelas ada akhirnya dikemudian hari. Ada harapan dimana jika niatnya Ibadah pasti ujungnya pahala dan dosa. Sebelum pahala dan dosa muncul pula pertanyaan apakah ini pekerjaan halal atau haram?

Jika ia adalah pahala maka jelas awalnya dimulai dari niat dan tentu saja caranya juga sudah benar atau tidak. Setelah itu ada kemudian haram dan halal. Karena tidak semua pekerjaan yang niatnya benar tapi caranya salah yang berakhir dengan pahala malah berdosa.

Misalnya begini, seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi caranya dilakukan dengan korupsi, mencuri atau ngeriba. Akhirnya pasti dosa kan.

Hidup untuk dakwah. Hubungannya ialah, setiap aktivitas yang dilakoni jika niatnya Ibadah, maka tak sedikit orang yang meniru apa yang dilakukan. Tentu saja, tujuannya si penutur menginginkan yang dianggap bisa mengubah perilakunya sampai biasanya berpengaruh pada pola hidup dan gaya orang ditiru. Maka, akan sangat merugi jika perbuatan kita sesuatu yang bentuknya dakwah maksiat.

Contoh, menerapkan hidup tak menutup aurat bagi seorang muslimah. Padahal jelas-jelas hukum menutup aurat ada dalam Kitabullah. Bukankah semakin aneh kehidupan dimukan bumi ini seseorang berjalan tanpa petunjuk? Begitulah kira-kira.

Bagaimana dengan Khalifah? Ya Khalifah bukan hanya tuntutan yang harus berdiri saat penerapan hukum Islam terjadi. Khalifah berarti pemimpin kan? Ya kita bisa memulai untuk memimpin diri sendiri.

Jika kita memaknai adanya lampu kuning pada lalu lintas, maka sepatutnya hidup ini jangan dijadikan sebagai pemimpin dalam maksiat. Mari kita ubah pola pikir, bahwa ada jiwa yang harus dipimpin. Ada hati yang harus dijaga dan diselaraskan dengan aturan yang sekiranya bisa menjadi perantara Aku, Anda dan Sang Pencipta.

Manusia pada hakikatnya tak akan pernah jauh dari DKI (Dakwah, Khilafah, dan Ibadah). Tiga progres ini akan membawa kita pada hakikat kehidupan untuk apa kita hidup, apa tujuannya dan mau kemana kita setelahnya.

Bukan mencari-cari prioritas dunia saja. Ada kehidupan yang lebih Abadi. Lebih utama, dan selamanya kita akan disana. Bukan di bumi.

Bumi hanya sebagai tempat yang harus dilalui demi masa depan akhirat. Sementara saja, bukan selamanya. Demikian, kita harus bisa hijrah. Hijrah ke DKI, bukan ke Maksiat.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 31

Comment here