Oleh Zawanah Filzatun Nafisah (Analis Muslimah Ideologis Khatulistiwa)
wacana-edukasi.com– “Untuk eksis sebagai bangsa, untuk makmur sebagai negara, untuk hidup sebagai masyarakat, kita harus memiliki pohon.” (Theodore Roosevelt)
Ungkapan Theodore Roosevelt diatas sangat relate dengan ironi di negeri kita ini. Karena dunia memandang negeri ini sebagai paru-parunya dunia. Tentu saja julukan ini bukan tanpa dasar. Julukan tersebut disematkan karena Indonesia memiliki hutan tropis yang lebat dan luas, bahkan menjadi yang terluas di dunia. Hutan tropis ini pun menjadi sumber oksigen. Namun, pada tahun 2020 sisa lahan dalam kawasan hutan hanya seluas 88,4 juta ha. Meski ada upaya reboisasi, menyokong pertumbuhan alami atau dengan penanaman massal, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap CO2 dengan optimal. Mengerikannya, kini pohon hutan kian terkikis akibat deforestasi yang luas dari aktivitas perkebunan korporasi.
Data dari Forest Watch, dalam periode Tahun 2002 hingga 2020, Indonesia telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer. Kemudian data Yayasan Auriga Nusantara bahwa pada hutan alam pada konsesi telah kehilangan hutan seluas lebih dari luas pulau jawa atau 8,8 juta hektar hutan alam. Terdiri dari 3,6 juta hektar tambang, 2,8 juta hektar hutan tanaman industri dan 2,4 juta hektar perkebunan sawit. Dan dalam lima tahun terakhir (2015-2019), deforestasi bertambah luas terjadi dibandingkan lima periode sebelumnya pada 10 provinsi termasuk Kalimantan Barat yang kaya hutan.
Data Greenpeace juga menyebutkan data senada bahwa deforestasi di Indonesia meningkat dari sebelumnya 2,45 juta hektar pada 2003-2011 jadi 4,8 juta hektar 2011-2019. Dari 2002-2019, terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi hutan tanaman industri dan 2,77 juta hektar dari kebun sawit. Padahal Presiden Jokowi pernah berjanji pada 2014 untuk memberantas deforestasi dengan mengatasi faktor utamanya yakni pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Belum lagi dipicu proyek food estate. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra mengatakan demi proyek tersebut, pembukaan 31 ribu hektare (ha) lahan hutan sudah membuang potensi 1 juta ton karbon. Contohnya di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Anehnya lagi, pihak yang mengelola food estate pun bukan pada kementrian yang berwenang, malah diserahkan ke Kementerian Pertahanan yang tidak mengurusi pangan, ujarnya (cnnindonesia.com, 22/11)
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengatakan, selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Tren penurunan deforestasi tidak lepas dari desakan kepentingan politik dan situasi pandemi di Indonesia, hingga aktivitas pembukaan lahan berjalan lambat. Sebagaimana rilis Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menunjukkan, luas deforestasi Indonesia periode 2019-2020 turun 75%, atau 115.500 hektar namun secara total, kurun enam tahun saja terjadi deforestasi mencapai 2,1 juta hektar.
Akhirnya menjadi problem akurasi data. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB mengatakan, permasalahan transparansi data masih jadi pekerjaan rumah besar dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pendataan data kebun sawit, terutama sawit rakyat, belum terkonsolidasi dengan baik antar instansi pemerintah.
Tren Deforestasi Ternyata Legal Deforestation
Jika mau jujur, deforestasi yang meresahkan ini ternyata masih dalam skema legal atau resmi. Diantaranya Proyek Stategis Nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang melegalkan Food Estate (proyek pengembangan pangan skala besar) yang sebenarnya memicu deforestasi di Kalimantan. Bahkan driver deforestasi jutaan hektar hutan alam hilang adalah agrikultur, kebun sawit dan pengembangan industrialisasi pangan. Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara mengatakan bahwa deforestasi tadi mengkonversi hingga 90% Hutan Alam (Mongabay.com, 2021).
Selanjutnya, UU Cipta Kerja tidak mengatur pemberhentian izin baru perkebunan sawit. Aturan turunannya, PP Nomor 26/2021 malah memberikan penekanan soal batasan luas perkebunan minimal 6.000 hektar dan maksimal 100.000 hektar. Yang kurang dari itu tak akan mendapat ijin, khususnya rakyat dengan kepemilikan lahan sempit dan modal kecil. Yang punya luasan 6.000 ha keatas malah akan dianak-emaskan. Parahnya, pembukaan lahan kelapa sawit inilah penyebab 80% kebakaran hutan. Pada 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah (BBC, 3/11/2021).
Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, tidak optimal dilakukan kepala daerah (bisa bersama KPK) untuk menelaah ulang perizinan perkebunan sawit/ wewenang review izin dan menghentikan usaha yang tidak memenuhi syarat administrasi dan syarat substansi. Ironinya, realisasi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit cenderung menurun. Ada kehilangan potensi penerimaan PBB perkebunan sawit Rp2,83-Rp3,63 triliun per tahun (Mongabay.com, 2021)
Hal ini berarti penguasa mendiamkan/ membiarkan pemangkasan hutan Indonesia. Apalagi diketahui berdasarkan data dari World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan bahwa sejak tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Selanjutnya laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun.
*Plutokrasi Cuma Jago Undang Investasi*
Rezim hari ini telah sempurna menjalankan plutokrasi. Meraup kekayaan dari memberikan legitimasi investasi pada perusak lingkungan dengan dalih sebagai solusi mengatasi defisit neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Tak lagi peduli bahwa kebijakan ini akan memperluas eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan. Tak heran Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi mengungkapkan bahwa eksploitasi sumber daya alam menghasilkan uang sangat banyak. Uang ini mengalir deras ke kaum oligarki yang beberapa di antaranya para pembesar negara di parlemen, eksekutif, dan yudikatif.
Investasi tidak berhenti. Justru di tengah pandemi, investasi kian digenjot dengan cukup sukses. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan realisasi investasi sepanjang 2020 mencapai Rp817,2 Triliun (74,8%) dan target investasi 2021 sebesar Rp858,5 Triliun. Keuntungan Investasi tentu saja milik investor. Rakyat kelas menengah ke bawah gigit jari saja karena sudah ‘tidak dekat’ dengan pembuat kebijakan. Padahal, merekalah yang saat ini jumlahnya lebih banyak, lebih berhak untuk diperjuangkan rezim.
Belum lagi kalau bicara adanya permainan data oleh rezim, untuk menutupi fakta di lapangan. Kerusakan dan bencana alam dampak deforestasi terpampang nyata. Dalam jangka panjang dampaknya akan jauh lebih buruk.
Deforestasi juga tak lepas dari “pergeseran” definisi. Bisa-bisa ke depannya, penguasa malah akan mengklaim bahwa deforestasi sudah “nol persen”. Itu mustahil. Karena deforestasi pun bisa dilakukan jika untuk kepentingan rakyat secara nyata. Misalkan untuk pembangunan wilayah administratif dan menghubungkan wilayah desa yang terisolasi, membangun jalur transportasi, menata hutan konservasi dan lain-lain. Maka nampaknya secara definisi deforestasi pun masih belum jelas jadi peluang dipolitisir.
Hutan Milik Umum
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hutan, menurut hadis di atas termasuk ke dalam kategori padang rumput. Hutan dalam Islam adalah lahan kepemilikan umum (milik rakyat).
Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa. Kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat secara luas, rakyat selaku pemilik hutan tersebut sebagaimana konsepnya. Negara hanya berperan mewakili rakyat dalam mengelola hutan tersebut. Terlarang pula melakukan privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun swasta atau para pemodal komersial apalagi perusahaan asing.
Begitu pula fungsi konservasi hutan dilakukan negara dalam rangka pemeliharaan karunia Allah SWT. Mengelola alam itu mandat penciptaan-Nya. Penguasa diijinkan mengelola pun sebagai amanah atas nama keimanan. Fungsi pengelolaan, pemanfaatan produktivitas lahan, konservasi, hingga pemeliharaan keanekaragaman hayati, harus berjalan beriringan.
Soal kepakaran, sistem Islam akan menjaga idealisme intelektual/pakar/pejabat kehutanan agar mengkaryakan dirinya dalam penelitian dan pengembangan teknologi optimalisasi potensi kehutanan yang akan dinikmati sebagai warisan generasi di masa depan. Tidak seperti janji manis rezim hari ini, selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat secara berkelanjutan namun ternyata hanya drama untuk mengelak berbagai kegagalan demi kegagalan.
Views: 18
Comment here