Oleh Afifa Afnan
Mas, maaf aku harus tinggalin kamu. Aku ingin hidup lebih baik, aku titip anak-anak! Isi sepucuk surat yang kutemukan di atas bantal pagi itu.
Aku tertegun sejenak kala membacanya. Namun, kembali menyadari mungkin karena memang ini salahku sebagai seorang suami, tidak bisa membahagiakan istri dan anak-anak.
Kejadian itu telah lama berlalu, tetapi masih menyisakan luka di hati. Aku kecewa karena anak-anakku sangat butuh sosok seorang ibu, ditambah perginya istriku itu banyak campur tangan dari keluarga besarnya.
Semenjak kejadian itu, aku meninggalkan kampung tempat tinggalku. Mencoba peruntungan baru dengan hijrah ke tempat lain, karena aku pun ingin melupakan segala tentangnya, ditambah adanya keluarga dia yang selalu menghina keadaanku pada saat itu.
***
Aku pergi dari kampung itu sembari membawa kedua anakku. Amirah yang pada waktu itu berumur sekitar empat tahun kurang yang belum mengerti apa-apa, selalu menuruti apa yang aku ucapkan. Si bungsu Atalah yang masih bayi. Sembari menuntun Amirah aku pun menggendong Atalah dan beberapa tas berisi baju kami bertiga.
Rasa kecewa dan sedih menyelimuti hati pada saat itu. Aku bertekad akan membesarkan keduanya dengan kasih sayang dan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat mereka. Aku akan bekerja keras untuk itu.
“Pak, kita mau bobo di mana? Mira capek,” keluh si Sulung.
“Mira capek, Sayang? Kita cari tempat istirahat dulu ya!” ucapku padanya.
Sebetulnya aku kasihan melihat anak-anakku, tetapi apa mau dikata kami harus pergi dan mencari tempat baru.
“Mira sayang, di sana ada pos ronda, kita bisa istirahat dulu sebentar,” ucapku sembari menunjuk pos yang ada di ujung gang.
Akhirnya, kami pun beristirahat sejenak di sana, melepas lelah. Aku memberikan air minum dalam botol dan beberapa roti untuk Amirah. Sedangkan untuk si bayi aku membuatkan susu formula ke dalam dot kecilnya.
“Mira sayang, Bapak mau cari dulu air panas buat seduh susu Adek yah, Mira tunggu dulu sebentar di sini!” ucapku pada Mira.
“Iya Pak,” jawab Mira sembari mengganggukkan kepala.
Aku coba mencari warung terdekat, untuk meminta air panas agar bisa menyeduh susu.
“Permisi Bu, apa bisa minta air panasnya sedikit untuk seduh susu?” tanyaku pada seorang ibu warung.
“Oh iya boleh Pak. Ke mana Istrinya Pa?” timpal dia.
Aku hanya tersenyum, kemudian aku bertanya tentang rumah yang mau disewa dekat daerah ini.
Aku pun pergi ke tempat yang dimaksud, tetapi ternyata sudah ada yang mengisi. Aku teringat Amirah sendirian, langsung bergegas pergi ke pos ronda untuk menjemputnya.
“Astagfirullah, Mira di mana kamu, Nak? Amirah … Nak di mana kamu?” Aku terus memanggil nama anakku.
“Pak, cari siapa?” tanya seorang ibu.
“Anak saya Bu. Apa Ibu melihat anak perempuan usia sekitar empat tahunan, tadi dia duduk di pos ini?” Aku berusaha menjelaskan.
“Maaf Pak, saya tidak melihatnya,” jawab ibu tadi.
Aku terus mencari di sekitar pos sampai ke tiap ujung gang, bertanya pada semua orang yang lewat. Namun tetap nihil, mereka tidak tahu keberadaan Amirah putri kecilku.
Yaa Allah, di mana Amirah putriku. Maafkan hamba Yaa Allah, hamba telah lalai menjaga amanah-Mu, batinku.
Tak terasa buliran air mata jatuh di pipi, si bungsu pun tetiba menangis seakan tahu perasaanku yang saat ini panik dan sedih karena kakaknya belum ketemu.
(Bersambung)
Views: 4
Comment here