Opini

Eksploitasi di Balik Tren Fast Beauty

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Hanum Hanindita, S.Si.

wacana-edukasi.com, OPINI– Konten tentang tutorial memakai atau mereview produk kecantikan untuk merawat kulit dan merias wajah begitu marak di sosial media. Konten ini menampilkan iming-iming wajah-wajah mulus dan glowing yang membuat masyarakat, khususnya perempuan bermimpi bahwa mereka dapat meraih standar kecantikan yang ditetapkan dengan memakai produk yang sama atau cara pakai tertentu. Akibatnya, terjadi peningkatan yang tajam dalam permintaan akan produk kecantikan seperti skincare dan kosmetik dari berbagai merk. Tren produk kecantikan pun akhirnya turut berkembang pesat dan memenuhi pasar industri yang mengakibatkan terjadinya fenomena fast beauty.

*Apa itu Fast Beauty?*

Konsep dari fast beauty sendiri berfokus pada kecepatan proses produksi dari produk kecantikan karena banyaknya permintaan konsumen yang harus dipenuhi dan harus terus mengikuti tren kecantikan yang berkembang pesat (kumparan.com, 15/05/23). Pesatnya perkembangan media sosial hari ini menjadi salah satu faktor yang memunculkan tren fast beauty. Banyak influencer yang memanfaatkan platform seperti Tiktok dan Instagram yang memiliki pengaruh kuat di keputusan pembelian para pengikutnya. Akibatnya lonjakan permintaan terjadi setelah produk tersebut dipromosikan oleh para influencer. Faktor lainnya adalah konsumen memiliki kemudahan mengakses informasi yang luas terkait suatu produk kecantikan yang murah dan efektif. Konsumen yang seperti ini lah yang menjadi target market brand-brand fast beauty (opini.harianjogja.com, 27/04/23).

*Masalah Tren Fast Beauty*

Dengan adanya tren fast beauty ini, memberikan efek yang signifikan pada industri kecantikan, termasuk di Indonesia. Merek-merek fast beauty baik lokal maupun internasional menguasai pasar dengan sederet keunggulan yang diklaim oleh masing-masing produsen. Namun, ada beberapa masalah serius yang dibawa oleh tren ini. Dilansir dari harianjogja.com, 27/04/23, masalah pertama adalah ada risiko penurunan kualitas produk yang muncul sebab durasi waktu pengembangan dan riset hingga peluncuran produk relatif singkat. Hal ini terjadi karena mengikuti permintaan pasar yang cepat.

Persaingan bisnis membuka peluang bagi para produsen untuk menggunakan bahan kualitas rendah demi menghasilkan produk yang murah sehingga memenangkan persaingan pasar. Lalu sikap konsumtif masyarakat yang mudah terayu oleh iklan juga membuat para penjual ‘nakal’ mengeluarkan produk-produk kecantikan ilegal yang biasanya terdapat bahan kimia yang berbahaya bagi konsumen.

Masalah lainnya yang muncul adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan. Berdasarkan data dari BPOM, jumlah produk kosmetika yang mendapat izin edar mencapai lebih dari 257.000 selama lima tahun terakhir. Produk fast beauty dirancang untuk cepat dihabiskan dan dibuang. Belum lagi kemasan produk-produk ini seringkali tidak dapat didaur ulang, contohnya penggunaan botol plastik. Tentu saja ini menambah volume sampah dan meningkatkan polusi plastik yang bisa merusak lingkungan. Belum lagi limbah kosmetik yang dihasilkan.

*Eksploitasi ala Fast Beauty*

Kecantikan adalah hal wajar yang diidamkan perempuan. Penyebaran arus informasi telah memframing pemikiran seseorang bahwa tampil cantik dan menarik haruslah sesuai dengan kriteria tertentu, yakni berkulit putih, mulus, bening, hidung mancung, langsing, dan sebagainya. Pada faktanya, semua itu merupakan mindset yang dibangun industri kecantikan agar masyarakat, khususnya generasi muda merasa insecure terhadap fisik dirinya. Mindset seperti ini dibangun akibat sistem ekonomi kapitalisme yang merajai negeri ini, termasuk dalam industri kecantikan.

Kapitalisme yang hanya berorientasi keuntungan materi, melihat celah pasar dengan maraknya konten kecantikan. Dari sini industri mengiklankan produk dengan tujuan mempengaruhi pola pikir masyarakat dengan standar yang ditetapkan oleh industri kecantikan. Akhirnya banyak masyarakat terkhusus perempuan yang tidak menyadari dan terbawa arus tren fast beauty. Bahkan, menjadi hal biasa ketika perempuan dieksploitasi dalam dunia kecantikan ini. Tingginya konsumerisme masyarakat menimbulkan perilaku yang tidak sehat sehingga mengabaikan pemenuhan kebutuhan lain yang lebih penting. Di sisi lain, kerakusan kapitalisme selalu meninggalkan permasalahan. Dalam tren ini, issue kesehatan dan lingkungan menjadi masalah yang tidak terhindarkan. Demi meraup keuntungan besar, industri tidak memperhatikan keamanan suatu produk dan dampak sampah yang ditimbulkan akibat kemasan produk yang tidak bisa didaur ulang.

Ini semua merupakan arus globalisasi yang berdampak pada gaya hidup akibat penerapan sistem sekuler liberalisme. Sistem ini telah menjauhkan generasi dari agama sehingga pemikirannya menjadi bebas, termasuk bebas dalam mengukur standar kecantikan. Akhirnya standar kecantikan tidak lagi diukur berdasarkan keimanan dan ketakwaan, melainkan berdasarkan ketetapan industri kecantikan, yaitu fisik semata.

Akhirnya terbentuklah generasi yang hanya memikirkan kecantikan dan bagaimana kecantikan tersebut menghasilkan pundi-pundi uang. Anak-anak muda berlomba-lomba tampil cantik berdasarkan ukuran industri kecantikan. Mereka telah meninggalkan agama dan melupakan peran mulianya sebagai agen perubahan. Kecantikan akhirnya dieksploitasi untuk menghasilkan uang
sebanyak-banyaknya.

*Pandangan Islam Terhadap Kecantikan*

Dalam Islam, kecantikan seseorang dilihat dari sisi keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt, bukan dari fisiknya. Rasulullah saw. bersabda, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salihah.” (HR Muslim). Islam memang membolehkan berhias pada batas yang dibolehkan, yaitu tidak tabaruj di hadapan yang bukan mahramnya. Islam juga melarang mengubah ciptaan Allah Swt. agar tampil cantik, kecuali untuk kesehatan.

Munculnya tren fast beauty adalah persoalan sistemik yang sudah menjadi urusan negara. Di dalam negara yang menerapkan sistem Islam, penguasa akan melakukan langkah-langkah untuk mencegah kecantikan dieksploitasi. Secara ringkas negara akan melakukan mekanisme sebagai berikut :

Pertama, negara menerapkan sistem pendidikan Islam. Di dalam proses belajar akan diberikan penguatan aqidah dan kepribadian Islam sehingga akan dihasilkan profil individu yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Negara mengedukasi terkait definisi kecantikan yang sesuai dengan standar syariah. Pendidikan dilakukan mulai dari level keluarga sampai masyarakat.

Kedua, negara mengontrol dan mengawasi arus produk yang dirilis oleh setiap industri kecantikan. Bahan yang digunakan harus dipastikan halal dan aman. Pengadaan bahan kosmetik juga tidak boleh mengeksploitasi alam atau keberadaan makhluk hidup lainnya. Kemasan yang digunakan aman untuk lingkungan. Produk dikeluarkan bukan untuk tujuan komersialisasi atau membuat wanita menjadi memprioritaskan kecantikan fisik tetapi semata-mata untuk kesehatan dan perawatan. Jadi diproduksi secara wajar saja sesuai kebutuhan, bukan untuk memenuhi ambisi pengusaha.

Ketiga, negara mengontrol tayangan di media dengan cara melarang semua bentuk tayangan yang memperlihatkan kecantikan secara berlebihan sebab itu diharamkan.

Keempat, negara memberikan sanksi yang tegas kepada produsen produk kecantikan yang melanggar aturan, misal menggunakan bahan yang haram atau berbahaya, kemasan yang tidak aman, dan lain-lain. Negara bahkan bisa menutup perusahaan-perusahaan “nakal” yang nekad beroperasi dan tidak mematuhi aturan.

Inilah mekanisme yang bisa dilakukan pemimpin dalam negara yang menerapkan aturan Islam agar tidak terjadi eksploitasi kecantikan pada perempuan. Namun ini semua dapat terwujud jika dilakukan penerapan Islam secara kafah, bukan dalam sistem sekulerisme kapitalisme seperti saat ini.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 151

Comment here