Opini

Ekspor Pasir Laut, demi Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

wacana-edukasi.com, OPINI– Tepat pada peringatan Hari Anti Tambang (Hatam) dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2023 pada 29 Mei yang lalu, kita kembali dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit yakni dibukanya kembali ekspor pasir laut yang telah dihentikan selama 20 tahun. Kini tampaknya keran ekspor pasir laut kembali dibuka melalui munculnya kebijakan ekspor pasir laut oleh Presiden Joko Widodo. Tentu saja hal ini turut menuai polemik.

Berbagai pro dan kontra bermunculan mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa hasil sedimentasi yang dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Lalu dalam ayat 2 pun dinyatakan, hasil sedimentasi tersebut bisa digunakan untuk ekspor.

Sontak hal ini menuai kritik yang bermunculan dari berbagai kalangan. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi bahkan mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan izin ini. Beliau mengatakan bahwa presiden sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang tentunya semakin mengerutkan wilayah daratan Indonesia (tirto.id, 01/06/2023).

Tak hanya dari kalangan pengamat ekonomi, kritikan pun muncul dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang berharap Presiden Jokowi membatalkan keputusannya dalam membuka keran ekspor pasir laut ini. Beliau menuliskan cuitan di akun twitternya pada 29 Mei yang lalu, “Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar, climate change sudah terasakan dan berdampak dan Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut.” (cnnindonesia.com, 29/05/2023).

Namun apa tanggapan dari sisi pemerintah terkait munculnya kebijakan ini? Pemerintah mengklaim aturan ini sebagai upaya untuk menyehatkan ekosistem laut. Juru bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi menjelaskan bahwa sedimentasi menyebabkan alur laut dan kualitas biodiversitas laut terganggu dan terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu pemerintah juga mengklaim proyek sedimentasi ini bisa menciptakan double impact. Pertama, keuntungan berupa penyehatan lingkungan dan biota laut. Kedua, yakni tentu keuntungan penerimaan negara dalam laporan yang dikeluarkan bulan April 2022 yang lalu.

Di sisi lain, program lingkungan perserikatan bangsa-bangsa mengungkapkan bahwa penggunaan sumber daya pasir meningkat tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Angkanya setara dengan 50 miliar metrik ton diekstraksi pertahunnya.Namun, dibalik potensi keuntungan tersebut tentu ada harga yang harus dibayar, yaitu kerusakan ekosistem. Lantas apakah peringatan Hari Anti Tambang (Hatam) dan Hari Lingkungan Hidup hanyalah sebatas seremonial semata?

Maka pada hakikatnya, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, tidak lain hanya mengedepankan keuntungan materi, yang tentu membuat pemangku kebijakan menjadi abai terhadap potensi kerusakan lingkungan dan kerugian ini. Alih-alih menghentikan, pemerintah justru melanjutkan kebijakan tersebut. Janji tinggal janji. Janji untuk menghentikan program tersebut hanya akan dilakukan jika menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup di wilayah perairan. Pemerintah juga mengklaim berjanji akan memastikan pasir yang dikuras tidak dilakukan di pesisir pulau-pulau kecil, terutama yang terancam tenggelam.

Faktanya, sejak tahun 2003 lalu, kebijakan ekspor pasir laut sudah dilarang melalui Kepmenperin Nomor 117 tahun 2003. Larangan ekspor itupun dipertegas pada tahun 2007, karena ekspor pasir menyebabkan Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang karena pasirnya dikeruk untuk dijual ke Singapura. Karena itu, proyek sedimentasi yang diklaim sebagai penyehatan ekosistem, pada faktanya hanya kebijakan yang melanggengkan kepentingan ekonomi para oligarki.

Lantas bagaimana solusinya? Tidak bisakah kita melihat suatu kebijakan yang cinta lingkungan hidup tanpa disetir kepentingan tertentu? Tentu saja ada, dan hal ini ada di dalam pengaturan kebijakan negara di dalam sistem Islam. Sistem kapitalisme tentu sangat berbeda dengan sistem Islam dalam membuat kebijakan tentang lingkungan. Sebagai institusi yang menerapkan syariat islam secara kaffah, negara senantiasa menetapkan kebijakan berdasarkan nash-nash syariat.

Terkait pengelolaan lingkungan, Allah memerintahkan agar manusia memanfaatkan bumi atau lingkungan sesuai kebutuhan. Allah telah berfirman dalam Qur’an surat al-Hijr ayat 19 dan 20 yang artinya, “Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu yang menurut ukuran, dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan hidup, dan Kami menciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya…”

Selain itu, manusia juga dilarang berbuat kerusakan di muka bumi agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. Allah telah memerintahkan hal ini yang tertuang dalam Qur’an surat Al-A’raf ayat 56, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik”. Dengan dasar dari dalil-dalil inilah negara membuat kebijakan yang mengatur pemanfaatan kekayaan lingkungan, termasuk pengelolaan sedimentasi laut.

Sebagaimana diketahui sedimentasi laut adalah proses pengendapan yang terjadi di laut, yakni material-material dipindahkan oleh kekuatan air laut. Sedimentasi ini bisa disebabkan karena beberapa hal seperti perubahan arus laut yang mengendapkan material-material ke dasar laut maupun adanya pasang surut air laut. Hal ini berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Jika proses sedimentasi tersebut tidak menimbulkan kerusakan ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi, maka negara akan membiarkan hal tersebut.

Namun jika proses sedimentasi tersebut ternyata merusak ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi warga, semisal berasal dari penggerusan di garis pantai, maka negara akan melakukan tindakan khusus. Yakni akan melakukan pengendalian proses abrasi yang terjadi dengan metode coastal engineering atau yang lain.

Serta untuk menentukan apakah hasil sedimentasi menimbulkan kerusakan atau tidak.Tentu diperlukan pengkajian khusus oleh para ahli dan akademisi. Sebab dinamika wilayah pantai dan daerah pesisir dangkal sangat beragam dan berbeda. Hasil dari kajian inilah yang akan digunakan negara dalam membuat kebijakan pengelolaan sedimentasi.

Maka, seperti inilah peran negara secara nyata hadir dalam mengelola sedimentasi laut di daerah pesisir yang tentu ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem. Prinsip pengelolaan ini tentu tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi semata seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. Melainkan pengelolaan yang mengedepankan kelestarian lingkungan hidup dan kebutuhan manusia.

Dalam hal ini tentu terlihat bahwa negara dalam sistem Islam dikenal sangat melindungi manusia, kehidupan, dan alam semesta. Karena bumi dan isinya diciptakan Sang Pencipta untuk kita kelola, tetapi bukan berarti manusia boleh melakukan eksploitasi secara berlebihan dan dirusak tanpa memperhatikan kehidupan generasi dan makhluk hidup lainnya yang terancam dan rusak. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia, sebagai khalifah di muka bumi ini untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam yang diamanatkan-Nya, dan mengelolanya sesuai dengan perintah-Nya.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 61

Comment here