Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Indonesia menempati peringkat kedua untuk jumlah kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia. Data tersebut dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2023. Bersumber dari Global TB Report (GTR) tahun 2022 yang memperkirakan kasus TBC di Indonesia sebanyak 969.000 atau 354 kasus per 100.000 penduduk (beritasatu.com, 17/03/2023).
Tercatat, pada tahun 2022, kasus TBC meningkat menjadi 717.941 dibandingkan tahun 2021 ada 443.235 kasus. Peningkatan signifikan terjadi pada anak, yaitu dari 42.187 kasus pada tahun 2021 meningkat menjadi 100.726 kasus pada tahun 2022, lebih dari 200 persen. Menurut Imran Pambudi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, kenaikan ini terjadi karena banyak orang tua yang tidak menyadari gejala TBC atau tidak segera berobat sehingga menularkan pada kelompok rentan seperti anak-anak (cnnindonesia.com, 18/03/2023).
Refleksi Kasus TBC
Posisi kedua ini bukanlah sebuah prestasi. Jumlah yang terus meningkat pun bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Penyakit TBC bukan hanya masalah kesehatan namun juga ekonomi dan sosial. Fakta ini justru mencerminkan beberapa hal.
Pertama, buruknya sistem imun dan asupan gizi masyarakat. Berdasarkan WHO Global TB Report 2020, faktor kurang gizi dan stunting merupakan faktor risiko tertinggi penyumbang penyakit TBC.
Kedua, rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan pada umumnya dan penyakit menular khususnya. Peningkatan jumlah TBC anak hingga 200 persen lebih adalah fakta rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan diri.
Ketiga, buruknya higiene, sanitasi dan lingkungan tempat hidup masyarakat. Berdasarkan data, penyumbang kasus TBC paling banyak adalah buruh. Kondisi pabrik yang lembab, tak ada sirkulasi udara dan minim sinar matahari, menjadi habitat subur berkembang biak bakteri dan virus. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh pun membuat penyakit mudah menular.
Keempat, lemahnya sistem kesehatan dan kurangnya sarana kesehatan. Kurang akuratnya penegakan diagnosa dan kegagalan pengobatan merupakan salah satu fakta lemahnya sistem kesehatan. Dikutip dari laman kemkes.go.id, pada tahun 2021 hanya 48% pasien TBC yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional. Wajar jika kasus TB masih sangat tinggi.
Kapitalisme Biang Masalah
Bukan tak ada usaha dari pemerintah Indonesia maupun negara lain untuk menekan dan mengeliminasi kasus TBC. Upaya mencapai target eliminasi TBC 2030 dijawab pemerintah dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC.
Perpres ini menjadi landasan Rencana Strategi Nasional TBC 2020 – 2024. Dan merangkul multisektor dan multiaktor untuk bersama-sama menanggulangi kasus TBC. Tak lupa untuk terus berkoordinasi dengan WHO. Bahkan pihak Menkes mendorong dana Global Fund agar lebih cepat terealisasi demi membiayai berbagai program percepatan eliminasi TBC.
Namun kasus TBC masih tetap menjadi masalah utama kesehatan global dan Indonesia. Penyakit Menular ini merupakan satu dari 10 penyebab utama kematian dunia dan Indonesia. Dan Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi beban kasus TBC setelah India.
Diduga kuat, semua upaya yang dilakukan untuk mengeliminasi kasus TBC mengalami kegagalan. Hal ini diakibatkan oleh sistem sekuler kapitalis yang menjadi asas pengaturan urusan termasuk kesehatan.
Sistem ini jahat karena menjadikan orang sakit sebagai komoditas untuk dikapitalisasi. Sistem ini juga lemah karena segala aturannya bersumber dari akal manusia yang lemah. Jelas tak mampu menyelesaikan persoalan dengan tuntas. Bahkan tak jarang menimbulkan masalah baru.
Sistem ini juga yang menciptakan kemiskinan terstruktur dan sistematis. Kebermanfaatan SDA tak bisa dirasakan oleh individu rakyat sebab dikuasai oleh kapital. Parahnya, negara hadir hanya untuk mengakomodir kepentingan pemilik modal, bukan untuk mengurus rakyatnya. Walhasil, semua sektor publik termasuk kesehatan dan pendidikan dikapitalisasi. Sehingga, eliminasi kasus TBC menjadi hal yang tak mungkin jika negara ini masih menggunakan sistem sekuler kapitalisme.
Islam Solusi Tuntas
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang aturannya bersumber dari Allah SWT, mempunyai solusi tuntas bagi semua permasalahan hidup manusia. Dengan sistem kesehatan yang handal, ditopang oleh sistem politik dan ekonomi Islam, eliminasi kasus TBC sangat mungkin di sistem Islam.
Islam mewajibkan penguasa untuk mengurus urusan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin rakyatnya adalah laksana penggembala hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Penguasa di sistem Islam akan menjamin kebutuhan dasar individu masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan menyediakan lapangan kerja yang luas bagi kepala rumah tangga sehingga ia bisa memberi nafkah keluarga secara layak. Adapun jika kepala keluarga terkendala mencari nafkah karena lemah fisiknya, maka kewajiban memberi nafkah beralih pada keluarganya. Jika keluarganya juga tidak mampu, maka negara secara langsung menyediakan kebutuhan pokoknya yang diambil dari kas baitul mal.
Negara akan mengatur tata ruang kota sehingga tercipta lingkungan yang sehat. Menyediakan perumahan dan permukiman yang layak dan sehat untuk masyarakat. Sistem pendidikan akan mengedukasi masyarakat untuk hidup sehat.
Fasilitas kesehatan terbaik akan disediakan oleh negara dengan jumlah yang memadai. Rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah dan gratis, kapanpun dan di manapun. Riset tentang penyakit menular juga pengobatannya akan terus dikembangkan dan dibiayai penuh oleh negara tanpa harus berutang pada negara lain. Sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan, mampu membiayai pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan gratis untuk individu rakyat.
Dengan demikian, eliminasi kasus TBC sangat mungkin jika di sistem Islam. Wallahu a’lam []
Views: 12
Comment here