Opini

Empati yang Hilang, Keniscayaan Sistem Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com– Viral video yang menayangkan suasana dengan latar nyanyian ulang tahun nyaring terdengar di gedung perwakilan rakyat. Ini menjadi sebuah paradoks aktivitas para anggota DPR di tengah jeritan rakyat atas kenaikan harga BBM. Hal ini tentu memperkuat kesan hilangnya empati para wakil rakyat pada kondisi rakyatnya.

Melansir detikNews, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik momen perayaan ulang tahun Ketua DPR Puan Maharani di rapat paripurna bersamaan dengan demo buruh terkait kenaikan BBM yang sedang berlangsung. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai hal itu memalukan.

“Saya kira sih potret paripurna DPR kemarin yang diisi dengan momen perayaan HUT Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya mengkonfirmasi ironis DPR sebagai wakil rakyat. Apalagi di saat bersamaan dengan Paripurna yang diisi dengan perayaan Ulang Tahun itu, di pintu masuk DPR sendiri sedang ada demonstrasi massa yang ingin menyampaikan aspirasi ke DPR,” kata Lucius dalam keterangannya, Rabu (7/9/2022).

Ia pun menambahkan seakan para wakil rakyat ini lupa diri, sungguh momen yang ironi. “Ketua DPR yang seharusnya menjadi juru bicara DPR dengan pihak luar termasuk rakyat juga seperti lupa diri dengan kegembiraannya menyambut ucapan selamat anggota di Paripurna. Ia terlihat lebih mementingkan kegembiraannya sendiri ketimbang menemui rakyat yang mau menyampaikan aspirasi,” lanjut Lucius.

Mundur ke tahun 2019, momen di hari yang menjadi awal masa pengabdian para wakil rakyat. Di mana hampir semua mata tertuju ke beranda media informasi mengenai para anggota DPR RI dan DPD RI yang dilantik untuk periode 2019-2024, menyuguhkan cerita yang menarik perhatian bagi masyarakat. Melansir dari Kompas.com, ada yang tertidur saat pelantikan, ketidakhadirannya sejumlah anggota DPR pada sidang paripurna dengan agenda pelantikan Pimpinan DPR, bahkan ada beberapa anggota DPR yang mengekspresikan kegembiraannya dengan berebut selfie alias swafoto dengan Presiden usai dilantik, juga ada anggota yang tertangkap kamera tengah tertidur.

Belum usai tercengang melihat kabar dari para wakil rakyat di masa pelantikannya. Di bulan April 2022 dilansir dari MediaIndonesia, lagi-lagi ulah anggotanya sendiri. Kali ini oleh Harvey Malaiholo, anggota DPR Komisi IX dari Fraksi PDI-P yang tertangkap kamera sedang menonton video porno di tengah rapat. Banyak sudah tindak tanduk anggota dewan yang membuat rusak citra lembaganya sendiri. Tak dimungkiri ada yang gemar tidur, bahkan mangkir waktu sidang soal rakyat, tidak sedikit pula anggota DPR yang terjerat kasus korupsi.

Beberapa masyarakat masih menaruh harapan pada para wakilnya ini agar mau merubah kegemaran buruknya, agar lebih memiliki rasa empati. Karena sebelum mereka terpilih dan memiliki jabatan, selalu dijumpai dari mereka memanfaatkan rasa simpati masyarakat dengan memberikan janji manis yang dikemas sangat bersahaja dan merakyat. Namun ada sebagian masyarakat yang pesimis dan cenderung masa bodoh dengan kelakuan nyeleneh para pemangku jabatan dikarenakan pengalaman sekian lama. Kalaupun ada kata maaf dan memaafkan itu persoalan lain. Pada akhirnya pasti akan dimaafkan karena konon bangsa kita adalah bangsa pemaaf. Namun bukan itu sejatinya inti permasalahan negeri ini.

Mahalnya ‘ongkos’ nyaleg sudah menjadi rahasia umum. Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada 2014 mencatat rentang ongkos yang dibutuhkan seorang caleg DPRD berkisar Rp250-500 juta, sementara ongkos caleg tingkat DPR mencapai Rp750 juta-4 miliar. Para caleg akan berlomba-lomba mempercantik diri, menebar simpati dan janji, menyiapkan strategi dan amunisi untuk unjuk diri di panggung kontestasi, serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk memuluskan jalannya menjadi anggota Dewan yang terhormat di negeri ini. Maka akan sangat wajar jika dana yang dibutuhkan dan dikeluarkan tak bisa dibilang sedikit.

Masih mengutip dari laman LPEM FEB UI, Rabu, 19 Februari 2014, oleh Teguh Dartanto sebagai dosen dan peneliti UI, berdasarkan laporan Sekretariat Jenderal DPR, bahwa take-home pay anggota DPR sebesar Rp 1.075.493.600 per tahun, terdiri atas penerimaan bulanan sebesar Rp 53.273.866, gaji ke-13, dan dana reses sebesar Rp 420 juta per tahun. Dengan demikian, dalam kurun waktu lima tahun, harapan pendapatan (expected income) menjadi anggota DPR adalah Rp 5,4 miliar. Wow sekali bukan?

Tak heran bila sampai hari ini masih banyak sekali orang yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Mulai dari kalangan pengusaha hingga publik figur seperti para artis. Pertanyaan yang muncul kemudian, dengan ongkos mahal saat menyalonkan diri, dari mana sumber dana itu didapat? Padahal tidak ada jaminan akan memenangkan ajang pesta demokrasi terbesar itu.

Hasilnya, potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang berpeluang besar terjadi di alam demokrasi. Di mana pintu akses masuk dimulai dari proses pemilu yang bisa membuka jalan bagi siapapun untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Dalam buku ‘How Democracies Die’ karya profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menjelaskan bagaimana demokrasi akan menemui ajalnya.

Mengetahui sejarah demokrasi yang lahir dari rahim reformasi gereja dan Renaissance tahun 1879. Dengan dilatar belakangi untuk meruntuhkan dominasi kekuasaan gereja. Hingga puncaknya pasca Revolusi Perancis abad (18 M) menghasilkan solusi jalan tengah dengan sekularisme antara kehidupan agama dan negara. Implementasi apa yang kemudian terjadi? Tak lain demokrasi telah meletakkan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, untuk membuat hukum dan pengaturan kehidupan.

Rakyat diwakilkan oleh para anggota legislatif untuk membuat hukum dan pengaturan kehidupan. Musuh terbesar demokrasi adalah perilaku para politisi itu sendiri, sebuah keniscayaan masing-masing kepala punya kepentingan berbeda. Celah membuat kebijakan yang tak adil dan berdasar ‘pesanan’, khususnya dari kalangan cukong sebagai sponsor kampanye mereka saat pemilu telah menjadi rahasia umum.

Fenomena berbagai jeritan rakyat seperti isu kenaikan harga BBM malah disambut dengan nyanyian ulang tahun menjadi masuk akal di sistem demokrasi. Di mana janji-janji manisnya akan keberpihakannya kepada rakyat?

Berbanding terbalik dengan era Islam

Jabatan bukanlah tujuan untuk memiliki kekuasaan agar dapat meraup keuntungan demi kepentingan. Di masa Islam diterapkan sebagai sebuah aturan, jabatan dinilai sebagai amanah terberat. Bukan hanya akan dipertanggungjawabkan di dunia tapi sampai ke akhirat. Dengan keimanan tersebut seseorang akan senantiasa memiliki rasa diawasi hingga membuatnya akan berlaku sangat hati-hati terlebih ketika diberi amanah jabatan.

Menjadi sebuah pemandangan yang sangat jarang ditemui di zaman sekarang. Kala Islam dulu diterapkan kisah termasyhur datang dari para pemimpin negeri Islam.

Suatu ketika Umar ibnu Khathab bertanya kepada beberapa pemuka masyarakat Syam tentang Gubernur mereka, Sa’id bin Amir.

Mereka pun menyampaikan pendapat.
Terdengar ada tiga hal yang dikeluhkan dari rakyatnya pada pejabatnya, Umar pun kaget. Padahal ia sudah menaruh harapan besar kepada sosok Sa’id. Umar benar-benar tidak ingin kecewa, karena ia merasa tidak salah pilih ketika meminta Sa’id memimpin Syam.

Akhirnya Umar datang langsung ke Syam. Ia lalu mempertemukan Sa’id bin Amir dengan masyarakat yang mengeluhkan pejabatnya.

Umar berkata, “Silakan sampaikan apa yang kalian keluhkan dari Gubernur kalian?”
Mereka berkata, “Pertama, ia baru keluar rumah mengurus masyarakatnya setelah matahari naik.”

Umar menghadap pada Said, “Benarkah demikian Sa’id?”
Sa’id menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”
“Mengapa demikian?” tanya Umar lagi.
“Sebenarnya saya tidak mau menjawabnya. Tapi apa boleh buat, karena ini adalah inspeksi. Wahai Amirul Mukminin, saya tidak punya pembantu. Karena itu, di pagi hari saya bersama istri mengolah gandum dulu untuk dibuat roti untuk makan kami hari itu.”

Umar sedikit lega. Ternyata penyebab Gubernurnya ‘telat’ keluar rumah disebabkan hal yang sangat pokok (makan), dan ia tak punya pembantu.

“Apa yang kedua?” tanya Umar kepada mereka yang mengadukan Sa’id.
“Yang kedua, ia tidak pernah mau menerima kami di malam hari.”
“Apa penjelasanmu Sa’id?”
“Yang ini saya juga tidak mau menjawabnya. Tapi karena sudah ditanyakan apa boleh buat. Wahai Amirul Mukminin, saya sudah serahkan untuk mereka seluruh waktu siang saya. Maka malam hari adalah waktu saya bersama Rabb saya.”
Umar kembali merasa lega.

“Yang ketiga apa?” tanya Umar kepada mereka.
“Yang ketiga, ada satu hari setiap pekan ia tidak keluar sama sekali dari rumahnya.
“Kenapa demikian Said?” tanya Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, saya hanya punya sehelai baju. Maka satu hari setiap pekan saya mencuci baju itu. Saya menunggunya sampai kering karena saya tidak punya baju yang lain.”

Umar pun menarik nafas lega. Ternyata pilihannya benar-benar tepat. Seorang pemimpin yang rela berkorban demi rakyat dan tidak mengambil keuntungan apapun dari mereka. Bahkan ketika Umar meminta beberapa orang petugas untuk mendata nama-nama fakir miskin di Syam didapati dalam list itu ada nama Sa’id bin Amir, Gubernur Syam sendiri.

Begitu sangat hati-hatinya seorang pejabat di masa Islam. Semua bukan tanpa sebab, kepribadian seorang manusia dapat memiliki dedikasi tinggi disaat diberikan jabatan. Tak lain karena takut akan hari penghisaban, bukan lagi takut dengan cctv manusia karena mudah dirusak, melainkan cctv Allah yang mampu merekam perbuatan manusia di manapun kapanpun.

Tempaan keimanan itu ditumbuhkan dan dijaga dengan sistem yang diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat juga negara yakni sistem Islam. Sebuah sistem yang diturunkan dari Pencipta manusia, niscaya adil bagi setiap makhlukNya. Seperti yang disampaikan dalam buku petunjuk manusia yaitu Al Qur’an, Allah Swt. berfirman ;

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-A’raf: 96)

Tak inginkah masa kegemilangan itu kembali dirasakan? Sebuah sistem paripurna yang tidak hanya melahirkan pejabat yang amanah dan takut pada Allah swt, tapi juga sistem yang adil, jauh dari kepentingan segelintir elite politik dan pengusaha, karena hukumnya bersumber dari zat pencipta kehidupan, Allah SWT.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here