Oleh: Mia Agustiani
( Member Revowriter Majalengka)
Sistem pendidikan Indonesia mau tak mau menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membuka sekolah secara tatap muka secara aman.
Alasan pembukaan sekolah mengacu data pemerintah mengenai kasus corona di masing-masing daerah. Semula hanya sekolah di zona hijau, kemudian di zona kuning yang boleh dibuka, kendati tak wajib.
Kebijakan tersebut memicu munculnya klaster baru disejumlah sekolah. Hal ini jadi salah satu evaluasi dari Panitia Kerja (Panja) Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyebut ada sekitar 53 guru positif covid-19 saat pendidikan tatap muka dibuka di zona kuning. ( Tirto.id – 28/8/2020 )
Lagi, dari kebijakan yang belum matang, maka rakyatlah yang jadi korbannya. Pandemi yang telah berlangsung satu semester ini belum menemukan solusinya. Akhirnya kebijakan belajar tatap muka pun coba diterapkan.
Bak angin segar, kebijakan belajar tatap muka pun disambut ceria. Hal ini seperti jawaban bagi jenuhnya anak-anak sekolah dari rumah. Bahkan orangtua pun banyak mengeluh tentang kendala belajar online.
Namun apabila kita jeli, ada bahaya mengintai disana. Ada kurva yang masih belum melandai. Ada zona semangka yang membuat masyarakat bingung, seperti tampak hijau namun isinya kuning bahkan merah.
PJJ yang diterapkan menjadi pro kontra. Biaya internet yang tinggi, kuota tidak terbeli. Infrastruktur teknologi yang tidak merata disetiap daerahnya. Akses jaringan yang sulit. Hingga detik ini belum ada solusi alternatif efektifitas pembelajaran masa pandemi.
Akhirnya pemerintah semakin tak tahan dengan desakan masyarakat untuk kembali belajar tatap muka. Ternyata kebijakan ini tanda gagap tanggap akan pemenuhan pendidikan bagi rakyat. Tatap muka dilakukan tanpa persiapan yang memadai dan prioritas kesehatan.
Faktanya justru masyarakat kesulitan menempuh pendidikan dimasa pandemi. Individu dibiarkan menanggung beban yang berat dimulai biaya sekolah hingga biaya kuota semasa PJJ. Pemerintah abai akan hak pendidikan bagi rakyatnya. Merasa berat merogoh koceknya demi pendidikan generasi.
Fakta ini cukup menusuk mata. Matrealistik sebagai buah kapitalisme tercium pekat pada pemerintah yang tidak mau rugi untuk memfasilitasi kelancaran PJJ selama pandemi. Kebijakan lamban dan tidak berpengalaman membuat masyarakat semakin bingung.
Tak dipungkiri hal ini akan kerap terjadi jika bukan syariat Islam yang kita pakai. Islam sangat memperhatikan pendidikan bagi generasi. Dalam Islam negara wajib menjamin tiga kebutuhan dasar masyarakat, diantaranya pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Kebijakan PJJ diberi solusi dari dana bos. Namun masih terkendala jaringan pada daerah pelosok yang tidak dicari solusinya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada arah yang jelas dalam pendidikan. Tujuan pendidikan saat ini masih menjadi barang mahal yang komersilkan.
Dalam Islam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran didukung penuh. Secara merata di kota maupun di desa. Solusi merata akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini sebagai bukti pelayanan terhadap rakyat.
Daulah akan menjamin terbentuknya generasi yang berkualitas. Kurikulum pendidikan yang bertujuan membentuk aqliyah dan nafsiyah Islam. Daulah akan memprioritaskan keselamatan generasi daripada kegiatan belajar yang beresiko ditengah pandemi.
Wallahu a’lam bishawwab
Views: 0
Comment here