Opini

FABA Tak Lagi Bahaya, Kebijakan untuk Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dhevy Hakim

Undang-undang sapu jagad “ciptaker” yang semula disebut “cilaka” rasa-rasanya mulai terbukti celakanya. Sejak awal disampaikan ke publik terus menerus undang-undang tersebut menuai penolakan dari berbagai kalangan tiada henti. Tengah malam diketok palu pengesahannya pun menuai drama tersendiri, tentu publik tidak akan pernah lupa hal ini termasuk episode beda kertas. Kini, mulai bermunculan aturan turunan dari UU Cilaka seperti Perpres maupun PP. Terbaru pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 2021.

PP 22/2021 berisi aturan yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah B3. Kebijakan inipun menuai penolakan. Penolakan yang cukup keras datang dari aktivis bumi Etam yakni dengan melakukan aksi gabungan antara organisasi lingkungan dan mahasiswa yaitu Jatam Kaltim, Walhi Kaltim, Pokja 30, LBH Samarinda, GMNI Samarinda, Planktos Unmul, FNKSDA Kaltim, hingga Perkumpulan Nurani Perempuan. “Sebetulnya persoalan limbah itu sudah banyak menyebabkan permasalahan, tapi ditambah lagi PP yang baru ini maka akan ada legitimasi bagi pihak-pihak perusahaan untuk melakukan hal itu,” ujar Richardo Richard sebagai koordinator aksi depan gerbang Kantor Gubernur Kaltim. (selasar.co, (17/3/2021).

Bumi Etam memang terkenal dengan tambangnya, terutama emas hitamnya. Cadangan emas hitam atau batubara di Kaltim dapat digunakan selama 80 tahunan bila eksploitasinya tidak ugal-ugalan. Kualitasnya juga kualitas nomer satu (untuk wilayah sangata. Dahulu di tahun 1985 hutan tropis di bumi Etam masih alami dan terus menerus berkurang luas area hutan tropis di bumi Etam sejak dibukanya area hutan untuk pertambangan. Tentu ada dampak dari eksploitasi yang dilakukan, seperti polusi udara, lingkungan rusak, banyak lubang bekas tambang batubara bisa menjadi penyebab terjadinya banjir. Dan tidak terbayangkan apa jadinya wilayah pertambangan batubara seperti di bumi Etam pasca keluarnya PP 22/2021.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berisi pencabutan FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) batubara sebagai limbah B3. Sedangkan FABA sendiri merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi. Artinya industri yang mengeluarkan limbah FABA tak lagi dibuat repot untuk mengurusi pembuangan limbahnya, keamanan AMDAL nya. Padahal limbah FABA sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan warga sekitar.

Publik tentu masih ingat saat wacana omnibus cilaka sudah banyak penolakan termasuk dalam hal dampak terhadap lingkungan. Saat itu bahkan ada yang memplesetkan omnibus law cipta kerja menjadi omnibis law cipta investasi. Sekarang, plesetan itu nyata adanya. Perpres maupun PP turunan dari UU Cipta Kerja mengarah pada keberpihakan investor semata. Bumi Etam yang kaya dengan emas hitamnya pun publik tahu perusahaan siapa yang menguasai di bumi Etam. Hampir semua perusahan besar yang menguasai eksploitasi di bumi Etam adalah oligarki sekaligus para pesohor di negeri ini.

Demikianlah menjadi bukti nyatanya demokrasi cuman illusi, kedaulatan maupun kekuasaan hanyalah milik oligarki yakni segelintir orang pemilik modal. Contoh nyata keluarnya PP 22/2021 tidaklah berpihak pada rakyat namun memang dibuat untuk kepentingan investor (para kapitalis) semakin mudah membuka usaha di Indonesia tanpa dipusingkan mengurusi limbah B3. Padahal jelas FABA batu bara berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan warga sekitar. Seharusnya negara wajib melindungi nyawa rakyatnya dan lingkungan sebagai tempat tinggal di muka bumi ini.

Di sisi lain juga menunjukkan sejatinya negeri ini telah didominasi kekuatan asing yakni kapitalisme. Kapitalisme dengan konsep sekuler telah melahirkan ide kebebasan termasuk kebebasan dalam kepemilikan dan usaha. Fokusnya tentu pada manfaat yang diperoleh sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal haram maupun kerusakan yang ditimbulkan. Tentu dominasi sistem seperti ini tak boleh dibiarkan terus menerus membawa kerusakan dan musibah. Banjir bandang di Kalsel awal tahun ini menjadi pelajaran berharga akibat dari ulah segelintir manusia membawa bencana dan derita pada rakyatnya.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali” (Q,S Ar Ruum : 41). Ayat Allah tersebut tidak salahnya menjadi perenungan untuk kembali yakni ke jalan yang benar. Kembali pada tata kelola SDA yang dibuat oleh Sang Pencipta Alam, yakni melalui tata kelola yang dilakukan oleh khilafah.

Pertama, SDA yang berlimpah masuk kepemilikan umum sehingga negaralah yang wajib mengelola sebaik mungkin tidak diserahkan pada swasta apalagi asing. Kedua, hasil pengelolaan dikembalikan pada rakyat. Ketiga, ekploitasi yang dilakukan secukupnya dengan mempertimbangkan kebutuhan SDA di masa mendatang. Keempat, menghindari kerusakan lingkungan dan bahaya pada kesehatan. Kelima, selalu melibatkan ahli dalam perhitungan eksploitasi bukan oligarki.

Insyaallah, dengan tata kelola ini bumi ini termasuk bumi Etam dan wilayah lain akan terlindungi dari kerusakan, bencana, dan bisa menikmati SDA yang diciptakan Sang Maha Kuasa.

Wallahu a’lam bi showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here