Opini

Fatherless, Rusaknya Perisai Keluarga

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Istilah fatherless akhir-akhir ini semakin sering kita dengar, fenomena fatherless menjadi perbincangan berbagai kalangan meskipun belum mendapat perhatian khusus dari masyarakat umum. Mungkin sebagian masyarakat ada yang belum memahami apa itu fatherless. Menurut Wardah Roudhotina S.Psi M.Psi Psikolog, psikolog Bara Duta Karangasem, mengatakan fatherless juga dikenal dengan istilah father hunger. Artinya peran figur ayah dalam proses pengasuhan anak yang minim atau bahkan tidak ada, baik secara fisik maupun psikologis. Padahal sesungguhnya tugas mengasuh anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua, bukan hanya dibebankan pada salah satu pihak saja.

Kehadiran seorang ayah dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting dan akan memberikan dampak yang sangat signifikan dalam tumbuh kembang anak. Sebagaimana ibu, sesungguhnya ayah juga mempunyai banyak fungsi dan peran dalam keluarga tidak hanya sebagai pencari nafkah tapi juga sebagai pelindung keluarga, menjadi contoh bagi anak-anaknya, motivator, menjadi pendengar yang baik dan juga pembuat aturan. Ayah yang tidak mengambil perannya dalam keluarga tentu fungsi ayah seperti yang sudah disebutkan di atas tidak akan berjalan. Alhasil semua beban tugas akan dilimpahkan kepada ibu. Dan bisa kita saksikan hari ini betapa dominannya peran ibu dalam keluarga, hal itu dikarenakan tidak berjalan dengan baik fungsi ayah di tengah-tengah keluarga.

Fatherless dapat berdampak serius pada perkembangan psikologis anak. Anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah akan kesulitan dalam membangun kepercayaan diri, kesulitan dalam bersosialisasi terutama pada teman sebayanya, kesulitan mengontrol emosi, gangguan kecemasan, masalah motivasi dalam belajar, dan berkembangnya perilaku yang buruk, hingga menjadi lebih rentan terhadap kenakalan remaja seperti pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran hingga tindakan kriminal.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kian maraknya fenomena fatherless saat ini. Diantaranya adanya reduksi peran gender tradisional di dalam rumah tangga, mengenai pengasuhan dan mendidik anak merupakan tanggung jawab utama ibu, sehingga beban dalam mengurus dan mendidik anak sepenuhnya dibebankan ke ibu. Padahal hakikatnya, mengurus dan mendidik anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Baik ayah maupun ibu memiliki peran yang sama-sama penting. Bila ada salah satu yang tidak mengambil peran maka akan terjadi ketimpangan dalam proses pengasuhan. Hal ini akan berdampak negatif pada tumbuh kembang dan psikologis anak.

Selain reduksi peran gender, budaya patriarki yang kental yang menempatkan suami atau ayah hanya sebatas sebagai pencari nafkah juga turut andil menumbuhsuburkan fatherless, ditambah saat ini tuntutan kerja yang semakin meningkat seiring semakin tingginya tuntutan kebutuhan hidup akibat laju inflasi yang sulit dikendalikan, sehingga para ayah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja mencari nafkah. Dan saat pulang ke rumah, munculah sikap individualis, karena rasa lelah yang menghinggapi membuat ayah lebih memilih untuk beristirahat dan menghabiskan waktu dengan gadget atau hanya sekedar mengurus hobinya.

*Sistem Islam Memaksimalkan Peran Ayah*

Islam agama yang sempurna (kamilan) dan menyeluruh (syamilan), tidak hanya mengurus masalah ibadah ritual. Dari perkara kecil seperti bangun tidur sampai ke perkara urusan keluarga dan rumah tangga Islam mengaturnya, dalam pandangan Islam perkara kewajiban dalam rumah tangga dan mengurus anak menjadi kewajiban bersama. Baik suami maupun istri Islam memberikan porsi perannya masing-masing sesuai dengan yang telah diatur oleh syariat. Dalam urusan keluarga, Islam memberikan perhatian penuh. Sebab, keberhasilan membangun sebuah peradaban gemilang berada di generasi para pemudanya, dan keberhasilan mendidik generasi berkualitas, tangguh dan bersyakhsiyah Islam berawal dari keluarga. Dan disinilah Islam memaksimalkan peran orang tua.

Dalam Islam ayah berperan sebagai partner ibu dalam mengurus dan mendidik anak, jika peran utama ibu sebagai madrasatul ula bagi anak-anaknya. Lalu apa peran ayah? Sesungguhnya ayah berperan sebagai pemilik madrasah, ayah berperan sebagai kepala sekolah. Ayah sebagai pemimpin bertugas membuat kurikulum pendidikan berbasis akidah islam, ayah juga mengawasi jalannya pendidikan di rumah agar tetap kondusif. Ayah dan ibu saling bekerja sama untuk mengasuh dan mendidik anak, walaupun anak sudah memasuki jenjang pendidikan formal diluar, namun peran vital ayah dan ibu sebagai kepala sekolah dan pendidik di rumah tidak boleh lepas, mereka harus senantiasa berkoordinasi dengan pihak sekolah guna memantau jalannya perkembangan dan pendidikan anak-anak di sekolah.

Mengenai pendidikan di sekolah formal, negara akan memfasilitasi kebutuhan akan pendidikan bagi rakyatnya secara gratis, sebab dalam islam pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat tanpa memandang status sosial. Jadi seluruh rakyat dalam negara Islam diberi pelayanan dalam kebutuhan pendidikan secara gratis dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sehingga kebijakan pendidikan gratis akan meringankan beban kedua orang tua, terutama ayah yang tidak perlu lagi pusing memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Selain itu, negara juga wajib menerapkan kurikulum pendidikan yang berbasis akidah, tidak ada dikotomi antara agama dengan ilmu kehidupan. Sehingga pendidikan berjalan dengan berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan, baik dari perangkat materi pelajaran, metode pembelajaran, strategi belajar, dan evaluasi belajar.

Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (Iptek dan keterampilan). Negara harus memberi fasilitas pendidikan yang memadai di tiap jenjang pendidikan di seluruh wilayah agar kegiatan belajar mengajar menjadi optimal, negara juga menyediakan infrastruktur pendidikan yang memadai seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, balai-balai penelitian, teknologi yang mendukung belajar mengajar dan lain sebagainya, negara juga menyediakan guru dan tenaga pengajar profesional yang ahli di bidangnya dan memberikan gaji tinggi kepada para guru dan tenaga pengajar. Negara juga akan memastikan suasana dan lingkungan di masyarakat yang kondusif. Negara tidak menoleransi adanya tsaqofah asing yang dapat merusak pemikiran. Suasana yang dibangun adalah masyarakat yang senantiasa berdakwah. Merekalah kontrol sosial sesungguhnya di tengah masyarakat.

Agar peran vital ayah di dalam keluarga dapat terlaksana dengan baik, negara akan menerapkan kebijakan yang akan mendukung hal tersebut. Di awali dari wasilah ayah memperoleh nafkah, tentu saja hal ini harus mendapatkan perhatian khusus juga dari negara. Sebab salah satu faktor yang dapat menunjang segala kebutuhan rumah tangga adalah melalui nafkah. Dengan nafkah yang mencukupi segala kebutuhan rumah tangga, maka peran ayah dan ibu sebagai kepala sekolah dan pendidik pertama bagi anak di rumah menjadi kondusif. Negara akan menerapkan kebijakan ekonomi iyslam dan membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, hal ini sebagai bentuk pemeliharaan umat terkait nafkah kepala keluarga bagi keluarganya. Negara harus memastikan tidak ada rakyatnya yang kekurangan, bagi orang yang cacat dan sakit kehidupannya akan ditanggung oleh negara sampai mereka mampu untuk menafkahi hidup mereka sendiri.

Dalam memaksimalkan peran ayah di rumah tidak bisa dilakukan secara individual, dibutuhkan berbagai dukungan dari berbagai pihak mulai dari sekolah yang menjadi partner orang tua di lembaga pendidikan yang bersinergi menerapkan pendidikan secara berkesinambungan, lingkungan masyarakat yang kondusif yang menciptakan interaksi yang sehat dan tidak memberikan pengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak-anak, dan negara yang menerapkan syariat Islam di setiap lini kehidupan. Diterapkannya syariat Islam ini bertujuan untuk menjaga Akidah, akal, nyawa, keturunan dan harta seluruh warga negara.

Inilah bentuk tanggung jawab kepala negara dalam mengurus segala urusan warga negaranya (ri’ayah syu’unil ummah). Sebab dalam Islam, kepala negara bukan sekedar pemangku jabatan dan kekuasaan, pemimpin negara dalam Islam harus mempunyai keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT, dalam Islam kekuasaan hanyalah wasilah agar syariat Islam dapat ditegakkan. Dengan paradigma ini, pemimpin negara Islam akan timbul kesadaran bahwa jabatan akan menjadi kecelakaan besar bila terdapat kezaliman dan jaminannya adalah neraka. Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya di dalam neraka jahanam itu terdapat lembah, dan di dalam lembah itu terdapat sumur yang bernama Habhab. Allah pasti akan menempatkan setiap penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran di dalamnya.” (HR Ath Thabrani, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Wallahu ‘alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here