wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA — Ibunda Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Rosti Simanjuntak, menyebut putusan hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim terhadap mantan Kadivpropam Polri Inspektur Jendral Ferdy Sambo adalah keajaiban Tuhan. Ia tak kuasa menahan tangis dalam sidang pengadilan di Jakarta (suarakalbar.co.id 15/02/2023).
Rosti juga mengatakan bahwa pihaknya berterimakasih kepada semua jajaran hakim yang telah memberikan keadilan bagi mendiang anaknya, karena menurutnya vonis yang diberikan oleh majelis hakim sangat setimpal dengan yang dilakukan oleh Sambo.
Sambo dikenai Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP, dan pasal 49 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena telah merusak bukti rekaman CCTV. Menurut hakim, tidak ada hal-hal yang meringankan hukuman kepada mantan perwira bintang dua tersebut. Selain itu, hakim juga tidak menemukan unsur-unsur pelecehan seksual seperti yang dikatakan istri Sambo, Putri Candrawathi dalam kasus tersebut. Vonis hukuman mati yang diterima oleh Sambo lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni hukuman penjara seumur hidup.
Selang beberapa jam dari vonis terhadap Sambo itu, majelis hakim juga menjatuhkan vonis terhadap sang istri, Putri Candrawathi, dengan hukuman penjara 20 tahun. Putusan ini jauh lebih berat dari tuntutan delapan tahun hukuman penjara yang diajukan jaksa. Majelis hakim menilai Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan Brigadir Josua yang direncanakannya terlebih dahulu.
Jalan panjang pengadilan kematian Brigadir Joshua dianggap sudah pada ujungnya dengan dijatuhkannya vonis hakim kepada semua terdakwa. FS hukuman mati, PC 20 tahun penjara, KM 15 tahun, RR 13 tahun dan RE 1 tahun 6 bulan. Keluarga korban dan pelaku justice collaborator Nampak puas dengan keputusan tersebut. Namun tentu saja masih akan banyak celah yang bisa digunakan dalam sistem hukum di negara demokrasi ini. Bisa bermakna betul-betul kekalahan FS karena ia betul-betul tidak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan pengadilan tersebut. Bisa pula ada kemungkinan hal ini bagian dari skenario. Kenapa? Karena masih ada proses untuk melakukan banding dan kasasi sebagai cerminan hak asasi manusia dalam demokrasi.
Hukum dalam demokrasi, jika menjadi perhatian publik seperti kasus diatas, cenderung akan penuh emosional dan banyak pertimbangan subjektif baik dari penegak hukum sendiri apalagi masyarakat. Maka wajar akan saling bersaing kekuatan opini dan kekuatan massa. Jika publik lengah dengan deal or no deal antara pihak FS dengan pihak-pihak lain, sangat mungkin ada keputusan yang bisa meringankannya.
Keadilan memang ada namun relatif tidak konsisten dalam sistem demokrasi. Justru kita perlu banyak belajar dan mau menerapkan pengadilan dengan syariah Islam yang keadilannya dijamin karena berasal dari hukum-hukum Allah. Ada pilihan-pilihan yang sangat luas dan lapang bagi keluarga korban pembunuhan, mulai dari menuntut hukuman mati hingga memaafkan.
Sanksi pidana Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja adalah salah satu dari tiga jenis sanksi pidana syariah, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban, yaitu pertama, hukuman mati (kisas); atau kedua, membayar diat (tebusan/uang darah); atau ketiga, memaafkan (al’afwu).
Jika keluarga Yoshua mengambil pilihan pertama, yaitu mau menuntut hukuman mati, silakan. Maka kadi (hakim syariah) akan mengeluarkan vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo dan juga bagi tersangka lain yang secara bersama-sama ikut melakukan pembunuhan. Atau jika mereka mengambil pilihan kedua, yaitu meminta uang tebusan, juga silakan. Beda jauh dengan KUHP yang ada sekarang, secara sempit semuanya diputus oleh hakim semata-mata tanpa memberikan kesempatan sama sekali kepada keluarga korban untuk memilih sanksi pidana. Belum lagi mekanisme banding dan kasasi ala demokrasi yang membuat kekhawatiran akan perubahan vonis. Keadilan bagai dipermainkan.
Zawanah FN
Kalimantan Barat
Views: 17
Comment here