Oleh : Khaziyah Naflah (Freelance Writer)
wacana-edukasi.com, OPINI– Ancaman krisis pangan yang mulai menghantui Indonesia membuat Presiden Joko Widodo kembali menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2020 lalu. Namun, dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya mengalami kegagalan. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Sebagaimana dilansir dari portal berita BBC News Indonesia bersama LSM Pantau Gambut menemukan bahwa proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah Kalimantan Tengah tersebut justru hanya melahirkan persoalan baru, seperti terjadinya bencana banjir yang kian meluas dan berkepanjangan, bahkan memaksa masyarakat Dayak untuk mengubah kebiasaan mereka menanam. (BBCNewsIndonesia.com, 15/03/2023).
Jika melihat fakta, kegagalan food estate bukan hanya kali ini saja terjadi, namun sudah berulang-ulang. Pada tahun 1995, program food estate dengan program 1 juta hektare lahan gambut terbukti gagal, program itu dilakukan dengan luas 1.457.100 ha dibagi lima daerah kerja.
Kemudian, pada tahun 2013 food estate Ketapang juga dinyatakan gagal. Tercatat ada potensi 886.959 ha lahan, namun hanya penyediaan 100.000 ha saja yang sanggup ditargetkan oleh Pemerintah Daerah Ketapang saat itu, kata Khudori yang juga Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat.
Dia juga menilai jika kegagalan lumbung pangan atau yang disebut food estate salah satunya berkaitan dengan pola kemitraan korporasi-petani, konflik atas tanah pun juga ikut mewarnai. Dia juga menyebut jika transmigran yang menjadi tenaga kerjanya hanya menjadi penopang ekspansi agribisnis, hidup tak membaik, hak tanah tak jelas dan rawan pangan.
Disisi lain, Ketua Umum SPI Henry Saragih juga mengungkapkan jika food estate tidak bisa menjadi solusi terhadap krisis pangan saat ini. Sebab tidak menyentuh akar masalahnya (kontan.co.id, 26/20/2020).
Seyogianya akar masalah krisis pangan saat ini bukanlah kurangnya ketersediaan pangan, namun masalah utamanya yakni distribusi yang tidak merata ke seluruh negeri. Sehingga, food estate yang merupakan program untuk menyediakan lumbung pangan bukanlah solusi. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh World Resources Institute yang menjabarkan bahwa pertama, masalah utama di Indonesia adalah soal distribusi bukan ketersediaan pangan, sehingga food estate tidak menyelesaikan masalah krisis pangan. Kedua, food estate tidak bisa dijadikan sebagai solusi atas keterbatasan akses terhadap pangan yang sehat. Pasalnya, daya beli masyarakat yang lemah adalah penyebab utamanya dan lagi-lagi bukan karena kurangnya ketersediaan pangan.
Bahkan adanya food estate justru menjadi masalah baru bagi daerah tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan oleh berbagai pakar seperti terjadinya bencana banjir yang luas dan berkepanjangan akibat kurangnya daya serap air karena pembabatan hutan. Kemudian hilangnya mata pencaharian para petani, karena mereka harus merubah gaya menanam mereka.
Inilah paradigma kapitalisme, walaupun banyak para pakar yang mengatakan bahwa food estate bukanlah solusi dari krisis pangan dan berulang-ulang mengalami kegagalan, namun nyatanya pemerintah tetep kekeh untuk melanjutkan proyek tersebut. Bagaimana mungkin ketersediaan pangan yang melimpah akan mampu mengatasi krisis pangan, jika distribusi pangan justru terkendala.
Seyogianya definisi ketahanan pangan adalah perihal terpenuhinya kebutuhan gizi rumah tangga (per individu rakyat) yang dihasilkan dari ketersediaan pangan yang cukup, mulai dari jumlah maupun mutunya tetap aman, merata, dan mudah dijangkau. Namun, faktanya saat ini pendapatan masyarakat tidak cukup untuk membeli harga pangan di pasaran serta memenuhi kebutuhan pangan mereka yang bergizi.
Kebijakan ini kembali mencerminkan jika kebijakan yang diambil oleh penguasa bukanlah berlandaskan pada pengurusan urusan umat, namun lebih condong kepada para korporasi. Sebab, sudah terkenal gagal, namun penguasa tetep ngotot untuk melanjutkannya dengan dana yang begitu fantastis, maka yang tampak disini justru penyiapan infrastruktur untuk investor, bukan pemerataan kebutuhan pangan rakyat yang bergizi. Maka bisa dikatakan jika program food estate hanyalah omong kosong untuk mengatasi krisis pangan.
Inilah solusi-solusi yang ditawarkan di alam kapitalisme, yang sampai kapanpun tidak akan pernah menyentuh akar masalahnya. Sebab, negara disini hanya dijadikan sebagai regulator semata, bahkan dasar kepemimpinan bukanlah bagaimana mengurus urusan rakyat, melainkan bagaimana mendapatkan keuntungan yang banyak. Sehingga, kita wajib sadar dan mengubah paradigma yang rusak tersebut dengan sistem yang shahih yakni Islam.
Islam menganggap bahwa pangan adalah hajat hidup orang banyak, karena Islam mendorong pemimpin/khalifah untuk memenuhinya pangan tersebut per individu rakyat, bukan rata-rata karena ini merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab negara kepada rakyat. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan layak kepada para pencari nafkah, atau bagi laki-laki yang balik.
Hal ini agar mereka nantinya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Lapangan pekerjaan yang luas bisa dari berbagai jenis, misalkan kebutuhan SDM akan pelayanan umum rakyat, pegawai administrasi negara, bidang kedokteran, guru, hingga pengelolaan harta milik rakyat. Pun negara juga wajib membuka peluang bagi rakyat untuk mengembangkan usaha, jika mereka tidak memiliki modal maka negara akan memberikan modal dari baitul mal, baik berupa pinjaman secara syari, maupun bantuan dengan cara subsidi.
Negara pun menjamin setiap individu rakyat yang tidak dapat bekerja, cacat, tua renta, janda, jatim piatu dan lainnya, akan diberikannya anggaran untuk menjamin terpenuhinya pangan mereka yang dana tersebut diambil dari baitul mal.
Selain itu, arah pembangunan pangan dalam Islam senantiasa berasas pada kemaslahatan rakyat serta mewujudkan negara yang kuat, mandiri dan terdepan. Sehingga, prinsip utama pengelolaan pangan yakni dilakukan oleh negara secara mandiri, bukan impor dan ekspor. Jika berlebih atau mengalami kekosongan, maka baru melakukan kebijakan impor ekspor.
Dalam pembangunan pangan ini negara menerapkan konsep pertanian dengan asas kepemilikan tanah bergantung pada pengelolanya. Jika ada tanah yang mati/ngangur selama 3 tahun berturut-tutur, maka negara akan memberikannya kepada rakyat lainnya yang ingin mengelolanya. Sehingga tidak ada rakyat yang menganggur ataupun menjadi buruh dengan gaji yang minim.
Dalam hal pengelolaan tanah pertanian ini jika tidak memiliki modal, maka negara wajib memberikannya, bahkan negara menyediakan sarana prasarana untuk menunjang keberhasilan panen, seperti pembangunan bendungan, drainase, dll. Ditambah negara memastikan jika distribusi barang dapat dijangkau oleh seluruh rakyat per individunya, yang mana negara melarang adanya praktik-praktik nakal, seperti monopoli pasar, menimbun barang atau harta dan lain-lain.
Disisi lain, pembangunan pangan seperti pengelolaan lahan, laut, ataupun hutan mengunakan dasar prinsip kemaslahatan umat, bukan mengejar eksploitasi industri ataupun keuntungan semata. Sehingga, perlu memperhatikan lingkungan, tidak diperbolehkan ugal-ugalan dalam membuka lahan yang justru menimbulkan masalah baru, seperti punahnya hewan, hilangnya daerah resapan air yang mengakibatkan banjir, dan lain-lain. Sehingga, dengan demikian maka rakyat akan terpenuhi pangannya secara bergizi, serta lingkungan pun akan senantiasa lestari. Wallahu A’alam Bissawab.
Views: 19
Comment here