Oleh : Fatinah Rusydayanti
Wacana-edukasi.com, OPINI– Istilah frugal living akhir – akhir ini sering menjadi pembahasan diantara kawula muda. Pembahasan ini muncul setelah adanya keresahan para pemuda akan ketidakpastian finansial di masa depan, jadinya muncul deh berbagai solusi mulai dari menerapkan gaya hidup yang minimalis hingga yang menjadi topik populer akhir – akhir ini yakni frugal living. Memang apa sih frugal living itu?
Secara bahasa sendiri sih, frugal artinya hemat, sedangkan living yang berarti kehidupan. Jadi kalau secara harfiah berarti menerapkan gaya hidup hemat. Adapun dilansir dari _wealthsimple,_ _frugal living_ gaya hidup yang lebih menekankan pada kesadaran seseorang ketika menggunakan uangnya tanpa mengesampingkan _value_ dari suatu barang.
Kalau dari penjelasan diatas, sebenarnya ini bukan ide baru lagi. Dari zaman dulu bahkan kita sering mendengar peribahasa “hemat pangkal kaya”. Terus kok bisa ramai lagi pembahasan ini? Usut punya usut ternyata media sosial berperan penting dalam mempengaruhi gaya hidup. Setelah beramai – ramai konten flexing atau pamer harta kekayaan yang berseliweran di jagat maya, kini muncullah solusi pengaturan keuangan yang salah satunya mengajak untuk mengambil konsep frugal living.
Hanya saja, konsep gaya hidup ini ternyata tetap punya kesamaan mendasar dengan gaya hidup flexing pada titik materialistisnya. Walaupun muncul sebagai solusi penentang flexing, nyatanya tidak sedikit yang menerapkan frugal living untuk memenuhi keinginan – keinginan mewahnya yang belum bisa dicapai saat ini. Ingin punya rumah dan mobil di usia muda, jatah makan pun dikorbankan, nilai gizi diabaikan, bahkan terkesan pelit dan aji mumpung, sudah jauh dari makna hemat.
Tapi kenapa sih orang – orang bisa sampai punya pemahaman seperti ini? Apakah semata – mata datang dari dirinya sendiri atau ada faktor luar yang mempengaruhinya?
Nyatanya, pandangan materialis tidak bisa lepas dari kapitalisme yang dilandasi atas untung rugi. Penerapan sistem ekonomi kapitalistik menyebabkan kesenjangan baik secara ekonomi ataupun sosial, ada yang secara mudah tidak hanya kebutuhan tapi juga keinginannya mampu terpenuhi. Disisi lain ada yang terpontang – panting untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Konsep frugal livingyang didasari pandangan kapitalistik ini, ujung – ujungnya balik lagi ke materi. Upaya penghematan yang kadang kali berubah jadi ekstrem, berujung pada target finansial tertentu yang tidak jauh – jauh dari urusan duniawi.
Namun berbeda lagi kalau memang situasinya yang kepepet. Bukannya sengaja untuk mengabaikan kebutuhan jasmani, tapi memang tidak mampu bahkan sekedar untuk membeli makan saja. Jangankan untuk membayangkan membeli rumah mewah dan mobil, bayar kontrakan pun bingung harus bagaimana. Nah, kalau ini bukan pilihan lagi, memang begitulah situasinya.
Trus bagaimana cara mengelola harta yang benar? Apalagi kita sebagai seorang muslim tentunya menjadi lebih spesial karena ada tujuan akhirat yang dikejar. Syariat Islam sebenarnya sudah lengkap dan menyeluruh, tinggal diterapkan saja. Dalam pengelolaan harta ini, ada yang menjadi ranah individu dan juga ranah negara.
*Tips Mengelola Harta*
Kita sebagai individu, sebenarnya sah sah saja untuk membelanjakan dan menikmati harta yang diperoleh. Bahkan Allah berfirman “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, juga rezeki-Nya yang baik-baik.” *(QS Al-A’raf: 32).*
Juga Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan dari Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Amr ra. “Sesungguhnya Allah suk untuk melihat tanda – tanda kenikmatan-Nya pada hamba-Nya.”
So, menyiksa diri dengan tidak makan atau mengurangi gizi makan kita padahal kita sebenarnya mampu, itu jelas tidak dianjurkan, bahkan sudah termasuk dari mendzholimi diri sendiri. Tidak pelit, tapi juga tidak berfoya-foya. Intinya tidak berlebih-lebihan dalam sesuatu, mendahulukan yang wajib barulah yang sunnah dan mubah.
Pun juga menyisihkan harta untuk menabung dan bersedekah, Rasulullah saw. bersabda, “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan, dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” *(HR Ahmad).*
Selain itu, perlu meyakini bahwa rezeki sudah diatur Allah. Dari Jabir bin ‘Abdillah ra, Nabi Muhammad saw bersabda Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram. *(HR. Ibnu Majah).* Artinya kita tak perlu khawatir perihal rezeki, Allah sudah mengatur, kita hanya perlu berusaha, adapun hasilnya dikembalikan lagi pada Allah.
Peran Negara dalam Pemenuhan Kebutuhan Rakyat
Munculnya frugal living bukan semata-mata karena individunya pribadi, tapi ada faktor eksternal yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alaamin yang tidak hanya rahmat bagi muslimin tapi bagi seluruh alam, punya mekanisme menyeluruh, termasuk bagaimana peran negara dalam mengelola harta.
Diantaranya, negara mewajibkan laki-laki yang mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya, yang tentunya negara menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan. Juga mewajibkan negara dan umat Islam untuk membantu fakir miskin, seperti kewajiban zakat bagi muslim dan jizyah bagi non muslim. Lebih jauh lagi, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, juga dipandang sebagai kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, sehingga negara wajib memenuhinya tanpa memungut harta rakyat dari tiga hal ini.
Selain itu, syariat Islam mengatur pengelolaan kepemilikan, ada kepemilikan individu, umum, dan negara. Swasta atau pemodal tidak akan dibiarkan memonopoli sumber daya alam, sebagaimana dikatakan dalam hadist bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). SDA adalah milik umum yang dikelola negara, adapun hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kesejahteraan rakyat.
Lingkungan yang terbangun di antara masyarakat pun didasari landasan aqidah yang tujuannya adalah mencapai ridho Allah. Sehingga para pebisnis, jelas akan meninggalkan hal yang diharamkan, seperti bisnis ribawi, menipu, tidak amanah, dll. Berbeda dengan saat ini yang dasarnya adalah keuntungan, melakukan hal yang menguntungkan dan meninggalkan yang merugikan secara materi.
Jadi bisa dibayangkan nih, kalau pengaturannya seperti ini, nggak bisa makan karena kepepet bayar kontrakan, listrik, air, dll sudah pasti akan berkurang. Sebagaimana pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menerapkan kebijakan di bidang ekonomi sesuai contoh dari Rasulullah dan khulafaurasyidin. Semua kebutuhan hidup rakyat terpenuhi, bahkan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan. Dan hal ini hanya bisa jika syariat Islam diterapkan pada setiap level yakni individu, masyarakat hingga negara.
Wallahu A’lam Bishawab.
Views: 9
Comment here