Sistem Kapitalisme telah melegalkan liberalisasi migas. Meskipun negeri ini memiliki kekayaan migas, namun rakyat tidak bisa menikmati dengan murah dan gratis. Karena negara menyerahkannya kepada pihak swasta baik pengelolaan hingga penjualannya
Oleh: Riska Adeliana, S.Hum.
wacana-edukasi.com, OPINI– Dalam beberapa bulan terakhir, gas elpiji 3 kg alias si melon tiba-tiba langka. Hal ini membuat masyarakat menjadi kalang kabut. Banyak yang merasakan dampaknya termasuk individu keluarga. Pada akhirnya, warga kesulitan menyiapkan hidangan untuk keluarga mereka karena terhambat untuk memasak. Tidak sedikit yang terpaksa membeli nasi bungkus demi memenuhi rasa lapar. Bahkan sebagian masyarakat juga terpaksa beralih ke zaman dahulu yakni masak menggunakan kayu bakar.
Penyebab Kelangkaan
Menurut Nicke Widyawati Direktur Utama PT. Pertamina Persero penyebab kelangkaan karena terjadi peningkatan konsumsi sebesar 2% akibat adanya libur panjang beberapa waktu lalu, (cnnindonesia.com, 27/7/2023).
Nicke Widyawati mengatakan bahwa ada sekitar 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi dari total 88 juta rumah tangga atau sebesar 68%. Namun presentasi penjualan LPG subsidi angkanya tinggi. Hal ini mengindikasikan ada subsidi yang tak tepat sasaran.
Di saat langkanya elpiji melon yang meresahkan masyarakat, seharusnya masyarakat mendapatkan solusi tuntas dari masalah kelangkaan tersebut karena yang masyarakat butuhkan hari ini bagaimana ia bisa mendapatkan solusi sehingga tugasnya bisa berjalan dengan baik dan bisa terpenuhinya kebutuhan keluarga. Bukan sekadar retorika tanpa ada penyelesaian.
Alih-alih mendapatkan solusi, malah muncul elpiji 3 kg subsidi bermerek Bright Gas berwarna pink seperti ukuran 5,5 kg. Selama ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui karena Bright gas hanya dijual di daerah Jabodetabek dan Surabaya.
Padahal Bright gas 3 kg sudah diluncurkan sejak tahun 2018 oleh pertamina Patra Niaga, (Kompas.tv.com, 26/7/2023).
Meskipun ukurannya sama antara elpiji 3 kg melon dengan Bright gas 3 kg, tetapi memiliki selisih harga yang cukup jauh. Pertamina menjual Bright gas seharga Rp 56.000 sedangkan gas melon Rp 20.000 karena sudah di subsidi pemerintahan. Di samping itu tabung Bright gas 3 kg sama seperti 5,5 dan 12 kg lebih aman dengan dilengkapi Double Spindle Valve System (DSVS).
Negara Abai, Akibat Kapitalisme
Mulyanto (Anggota Komisi VII DPR RI) menilai langkah pemerintah meluncurkan produk elpiji 3 kg non subsidi bermerek Bright gas dengan harga yang lebih mahal di tengah kesulitan yang dihadapi masyarakat sebagai sebuah tindakan “super tega” pada masyarakat. (www.dpr.go.id, 27/7/2023).
Kesediaan elpiji sejatinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kelangkaan ini menunjukkan gagalnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Padahal permasalahan gas melon di negeri ini bukan dikarenakan tidak tepat sasaran atau konsumsi yang meningkat, melainkan pengelolaan migas yang masih berada di bawah sistem Kapitalisme Neoliberal.
Pasalnya berdasarkan data dari Kementerian ESDM Indonesia memiliki cadangan gas alam/gas bumi sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi pada 2021.
Sistem Kapitalisme telah melegalkan liberalisasi migas. Meskipun negeri ini memiliki kekayaan migas, namun rakyat tidak bisa menikmati dengan murah dan gratis. Karena negara menyerahkannya kepada pihak swasta baik pengelolaan hingga penjualannya. Negara hanya sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal. Sehingga kebijakan ekonomi pun tak berpihak kepada kepentingan rakyat. Terbukti dengan adanya elpiji non subsidi di dalam waktu yang bersamaan dengan kelangkaan elpiji.
Inilah fakta pengelolaan migas di bawah sistem Kapitalisme Neoliberal. Apapun kebijakan yang dibuat penguasa tidak bisa membuat rakyat mendapatkan haknya. Padahal sumber daya alam yang sebenarnya itu adalah hak rakyat. Inilah potret buruk sistem Kapitalisme. Hal ini berbeda sekali dengan sistem Islam.
Sistem Islam dalam Pengelolaan Migas
Islam menetapkan negara berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok rakyat tanpa dibayangi kelangkaan dan mahalnya harga bahan pokok sehari-hari. Negara juga harus menjamin setiap individu rakyat dapat terurus dengan baik. Negara harus memudahkan mereka mengakses berbagai kebutuhan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik seperti minyak bumi dan gas.
Sistem Ekonomi Islam meniscayakan ketersediaan migas yang merupakan sumber energi untuk rakyat dengan harga murah dan gratis karena Islam mengharuskan pengelolaan SDA oleh negara.
Minyak bumi dan gas merupakan jenis harta milik umum (rakyat). Di mana pendapatannya menjadi milik seluruh hak kaum muslim dan mereka berserikat di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal yaitu: air, padang rumput dan api” (HR Abu Daud).
Oleh karena itu setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum sekaligus pendapatannya, tidak ada perbedaan apakah individu rakyat laki-laki atau pun perempuan, miskin atau kaya.
Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan dengan langsung. Maka harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan dan sebagainya serta memerlukan usaha keras dan biaya mengeluarkannya, maka negara lah yang mengambil alih eksploitasinya mewakili kaum muslim. Kemudian menyimpan hasil pendapatannya di Baitul Mal kaum muslim. Kepala negara adalah yang memiliki hak dalam pendistribusian hasil pendapatan sesuai ijtihadnya yang dijamin hukum Syara’ dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum muslim.
Demikianlah mekanisme Islam dalam mengelola SDA kepemilikan umum. Negara bertanggung jawab dalam mengatur dan mengurusnya karena hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kemaslahatan umat. Dengan itu, masyarakat akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan mereka karena jaminan kebutuhan yang telah diurus oleh negara. Tidakkah solusi seperti ini yang kita harapkan?
Wallahu ‘alam bisshawab
Views: 28
Comment here