Opini

Gebrakan Baru Kementrian Keuangan, Pulihkan Ekonomi Nasional?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Yosi Eka Purwanti, S.E. (Aktivis Muslimah)

Terkait rencana kenaikan tarif PPN para pelaku usaha memberikan respons negatif. Semuanya sepakat bahwa menaikkan tarif PPN dikhawatirkan akan memengaruhi kenaikan harga atau inflasi dan daya beli masyarakat semakin menurun.

Wacana-edukasi.comKementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan dari yang awalnya 10% menjadi 12% melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 4A RUU KUP diketahui bahwa pemerintah mengganti status barang tidak kena pajak di antaranya adalah barang hasil pertambangan serta barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat. Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula.

Dalam draf RUU KUP tersebut, pemerintah juga memutuskan untuk menambahkan jenis jasa yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN, di antaranya adalah jasa pelayanan medis, jasa pelayanan sosial, jasa tenaga kerja, jasa asuransi, jasa iklan, jasa keuangan, dan jasa angkutan umum.

Kini memicu polemik di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memandang bahwa pemerintah saat ini harusnya terfokus pada penanganan Covid-19 dan bukan lantas berusaha memalak rakyat dengan kebijakan yang tidak pro rakyat.

Kepala BKF Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu juga menjelaskan bahwa, kebijakan reformasi perpajakan sudah dikaji secara mendalam oleh pemerintah termasuk melihat dampak terhadap perekonomian. Febrio mengatakan hal ini merupakan reformasi berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dalam upaya pemulihan perekonomian akibat dampak pandemi Covid-19. Alih-alih memulihkan perekonomian nasional banyak pihak yang mengkritisi rencana baru Kemenkeu tersebut.

Terkait rencana kenaikan tarif PPN para pelaku usaha memberikan respons negatif. Semuanya sepakat bahwa menaikkan tarif PPN dikhawatirkan akan memengaruhi kenaikan harga atau inflasi dan daya beli masyarakat semakin menurun.

“Kenaikan PPN akan menimbulkan effect price inflation dan menurun lebih lagi daya beli masyarakat dan akan berdampak kepada sisi produksi,” jelas Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mande menjelaskan bahwa dunia usaha sedang mencoba bangkit dari pandemi jika kebijakan ini diambil maka akan merusak laju pemulihan ekonomi. Hal tersebut juga dikhawatirkan akan memperburuk kondisi perekonomian. Ekonom Dradjad Wibowo memandang rencana kenaikan tarif PPN salah strategi. Dikhawatirkan hal tersebut akan berdampak pada tertekannya konsumsi rumah tangga.

Pemerintah berdalih bahwa saat ini negara tidak lagi mengandalkan utang untuk membiayai belanja negara. Sehingga negara berusaha menggenjot penerimaan atas pajak untuk membiayai belanja negara.

Pemerintah juga mengklaim bahwa kenaikan PPN tahun depan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Diperkirakan perekonomian indonesia akan mulai pulih sejak akhir tahun ini. Sehingga diharapkan berdampak meningkatnya pendapatan masyarakat.

Aroma Ketidakadilan Kapitalistik Vs Keadilan Islam

Aroma ketidakadilan sangat dirasakan masyarakat atas kebijakan tax amnesty jilid II ini. Alih-alih memotivasi wajib pajak untuk patuh, hal tersebut malah menjadikan celah bagi pengusaha untuk tidak taat pajak. Tentunya kondisi tersebut semakin membuat masyarakat yakin bahwa negara saat ini telah berlepas tangan dari aktivitas mengurusi urusan rakyat. Berbeda dengan sistem Islam, dalam hal pajak Islam memandang bahwa tidak diperbolehkan bagi khalifah untuk mengambil pajak dari masyarakat kaya secara paksa. Namun pungutan pajak diperbolehkan atas kaidah a’dalah dan dharurah, yakni bahwa pungutan tersebut adalah bagi orang yang kaya/ mampu. pembiayaan tersebut dilakukan saat kondisi benar-benar dibutuhkan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.

Terkait dengan sektor pemasukan, maka dalam sistem Islam sumber penerimaan negara bukanlah pajak, tetapi ada tiga sumber utama.

Pertama, dari kepemilikan individu seperti zakat, infak, dan sedekah.

Kedua, dari kepemilikan umum seperti pertambangan emas, perak, tembaga, nikel, minyak, gas, batubara, hutan, dan lain sebagainya.

Ketiga dari kepemilikan negara seperti ganimah, fa’i, jizyah, kharaj, khumus, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sumber penerimaan yang kedua, yaitu kepemilikan umum, maka indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah ruah. Terlebih lagi, dengan dukungan dari SDM yang ada, tentu SDA tersebut dapat diolah lagi dan ditingkatkan nilai tambahnya sehingga akan menjadi sumber penerimaan yang sangat besar bagi indonesia. Kondisi tersebut hanya bisa diraih jika kita menggunakan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here