Oleh: Khana Saputri, S.M., M.M. (Aktivis Dakwah dan Dosen)
wacana-edukasi.com, OPINI–-Kritik secara terbuka atas kondisi demokrasi di Indonesia dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilayangkan oleh sejumlah civitas akademika di beberapa kampus tanah air. Petisi mengandung kritik tegas kepada Jokowi. Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Islam Indonesia (UII) telah menyerukan kritiknya. Apa sebenarnya yang mereka sampaikan kepada Jokowi?
Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali’ merupakan tema deklarasi yang diserukan civitas akademika UI. UI fokus pada 4 poin sikap sivitas UI, yakni mengutuk segala bentuk tindakan yang melenyapkan kebebasan berekspresi, menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dijalankan tanpa intimidasi, tanpa ketakutan, berlangsung secara jujur dan adil, menuntut agar semua ASN, pejabat pemerintah, TNI dan Polri bebas dari paksaan untuk memenangkan salah satu paslon, menyerukan agar semua perguruan tinggi di seluruh tanah air mengawasi dan mengawal dengan ketat pelaksanaan pemungutan suara serta penghitungannya di wilayah masing-masing, serta mengajak menjaga bersama demokrasi dan negara kesatuan Republik Indonesia yang dicintai dan dibanggakan. (news.detik.com, 03 Februari 2024)
UGM dengan nama Petisi Bulaksumur berisi kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Unpad dengan Petisi Seruan Padjadjaran meninjau banyaknya pelanggaran etika dan cedera nilai demokrasi menyambut pesta politik tahun ini. Dan petisi dengan tema Indonesia Darurat Kenegarawan disampaikan oleh civitas akademika UII.
Wajar
Suatu hal yang wajar munculnya pernyataan sikap atas nama civitas academica dari beberapa kampus terhadap pemerintahan Jokowi. Namun, tindakan intelektual kampus sangat lamban dalam memainkan perannya sebagai agent of control. Pasalnya, pemerintahan Jokowi telah menunjukkan praktik buruk pelanggaran konstitusi dan tidak mampu menjalankan etika publik merawat demokrasi dan pemerintahan yang bebas KKN. Hal ini terbukti dengan kecenderungan Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negeri ini berpihak terhadap salah satu paslon di Pilpres 2024.
Jokowi juga ditemukan menggunakan fasilitas negara maupun aparat negara demi kepentingan politik partisan elektoral. Fakta ini menambah kerusakan demokrasi sekuler yang dijalankan saat ini bahwa kebijakan dilaksanakan sesuai keinginan pihak yang berkuasa. Begitu pula menjadi suatu hal yang wajar dalam sistem Kapitalisme bahwa aturan berubah sesuai dengan keinginan penguasa. Adanya penyalahgunaan kekuasaan sering kali terjadi dan tidak dapat dihindari karena dalam sistem Kapitalis para kapitalis lah yang dapat menambah dan mengurangi aturan yang sebelumnya disepakati sesuai kepentingan yang hendak diraih.
Genetik Sistem
Apa yang terjadi saat ini, bukan semata karena aspek person. Melainkan, sistem yang diterapkan saat ini telah berperan dalam menghasilkan karakter politisi bermuka dua. Dengan kata lain, di balik permasalahan-permasalahan negeri ini, ada tabiat sistemis yang lahir dari sebuah pemikiran mendasar. Sehingga, siapa pun yang jujur pada fakta, akan merasakan ketimpangan aturan di negeri ini.
Secara genetik, sistem demokrasi telah melindungi kebebasan rakyat untuk menyampaikan kritik. Oleh karena itu, suatu hal yang normal untuk rakyat, termasuk para intelektual bersuara. Menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara. Namun, untuk menerapkan sejumlah konsep yang lahir dari sistem kapitalisme, digunakanlah demokrasi sebagai kelangsungannya. Hingga dikenal dengan sistem demokrasi kapitalistik.
Jargon “kebebasan” yang selama ini disebarkan seolah menjadi jebakan untuk mengamankan posisi para oligarki. Lahirlah berbagai kebijakan liberal dan tidak populis atas dasar kebebasan. Kebebasan berpendapat bahkan menjadi harapan praktik politik yang sangat manipulatif. Wajar jika banyak pihak yang menjelaskan era kapitalistik hari ini adalah era yang penuh dengan kebohongan.
Berharaplah pada Sistem Islam
Di tengah maraknya isu Islam adalah ideologi radikal, memungkinkah para intelektual alergi membicarakan Islam sebagai sistem politik. Hal ini telah menciptakan paham fobia untuk menekuni pemikiran-pemikiran Islam baik dari aspek ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, dll. Alhasil, masyarakat semakin menjauh untuk mendiskusikan Islam.
Padahal Islam sesungguhnya merupakan ideologi yang terangkum konsep-konsep pengaturan kehidupan di dalamnya dari tatanan kenegaraan hingga individu. Ibadah ritual contohnya, termasuk perkara yang dapat dilakukan secara personal dalam kehidupan bernegara. Namun, syariat hanya bisa terwujud dengan adanya sebuah pemerintahan, seperti pelaksanaan hukum-hukum hudud, jinayat, dan lainnya, membutuhkan adanya kepemimpinan. Inilah bukti bahwa Islam memiliki konsep khas mengenai pemerintahan.
Islam memiliki konsep yang terdiri atas dua hal, yakni perkara akidah dan syariat. Untuk perkara akidah, Islam jelas tidak memaksa kafir untuk menganut akidah Islam.
Akan tetapi, dalam perkara syariat, hukum-hukum Islam bersifat universal dan berasaskan dari pemahaman terhadap hal-hal yang manusia butuhkan. Sebab pada dasarnya manusia ingin perlindungan atas jiwa, agama, harta, akal, dan keturunannya. Dengan demikian, imbauan-imbauan perbaikan negeri akan sangat baik jika di perluas dalam tataran sistemis.
Perubahan Hakiki
Para intelektual harus menyadari bahwa akar permasalahan negara ini adalah akibat dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme, sehingga perubahan yang harusnya disampaikan adalah perubahan hakiki, bukan perubahan semu yang ditawarkan sistem politik demokrasi.
Pergantian rezim setiap lima tahunan tidak cukup untuk mencapai perubahan hakiki, melainkan harus mengarah pada perubahan sistem hidup yang diterapkan, yakni perubahan dari sistem sekuler demokrasi yang rusak dan merusak menuju sistem yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah yaitu Islam.
Maka, sudah saatnya intelektual menawarkan solusi perubahan itu dengan tegaknya syariat Islam, yakni menerapkan hukum-hukum Allah yang dipastikan akan membawa keberkahan. Secara empiris, sistem Islam atau khilafah pernah menaungi umat Islam, bahkan nonmuslim selama belasan abad. Sepanjang masa itu pula kesejahteraan dan persatuan hakiki terwujud dalam kekuatan yang tidak pernah ada bandingannya. Sehingga, umat Islam pun mampu tampil sebagai umat terbaik yang memimpin peradaban cemerlang, sekaligus menebar rahmat ke seluruh alam.
Kemudian, Islam mampu melahirkan para pemimpin yang bertakwa, sehingga mereka memimpin suatu negara dengan didasarkan pada ketakwaan hanya kepada Allah. Kekuasaan dijadikan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga, kekuasaan benar-benar dilakukan untuk mengurusi rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan inilah yang harus dipahami setiap muslim agar tidak terjebak dengan praktik politik pragmatis ala demokrasi.
Views: 4
Comment here