wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Bulan Ramadan adalah momentum meraih pahala sebanyak-banyaknya dengan amal-amal kebaikan. Ironisnya, di bulan yang mulia ini kita dikejutkan dengan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh kalangan remaja, hingga merenggut nyawa.
Dilansir dari detikNews, Jum’at (24/03/2023), polisi menangkap 3 ABG diduga pelaku pembacokan siswa SMP berinisial ARSS (14) hingga tewas di Sukabumi. Kasus lain dengan modus tawuran sarung, marak terjadi akhir-akhir ini. Kapolsek Purworejo, AKP Bruyi telah berhasil mengamankan 13 anak muda yang hendak tawuran. Hal serupa juga terjadi di Jakarta Selatan. Sebanyak 15 remaja telah diamankan Kapolsek Jagakarsa, Kompol Multazam Lisendra, Sabtu (25/03/2023). 15 remaja itu dibawa ke Mapolsek Jagakarsa. Pihak kepolisian juga telah menyita sejumlah barang bukti, salah satunya sangkur.
Tawuran antar pelajar sebenarnya bukan hal yang baru di negeri kita. Seolah tawuran pelajar merupakan tradisi turun-temurun yang diwariskan untuk generasi muda. Parahnya, tradisi ini tidak bisa dihentikan bahkan oleh pemerintah pusat sekalipun. Anehnya, kasus ini tidak membuat pemerintah pusing, sebagaimana pemerintah dipusingkan oleh trifting, hingga membuat Presiden Joko Widodo geram akan hal tersebut.
Padahal, tawuran pelajar merupakan tindakan yang lebih membutuhkan penanganan segera. Sebab, hal tersebut menyebabkan kerugian besar, karena mengganggu ketentraman warga sekitar yang bermukim di wilayah tempat tawuran.
Sebetulnya, aksi kekerasan yang dilakukan remaja sudah terjadi berkali-kali. Fenomena tersebut bukan lagi kebetulan atau kesalahan individu, melainkan kesalahan sistem yang harus kita temukan akar masalahnya.
Untuk meminimalisir aksi kekerasan remaja, pemerintah telah menetapkan peraturan dalam pasal 71 UU No.11 Tahun 2012. Selain itu, diberikan sanksi pada pelaku, dan dikeluarkan larangan aktivitas di jalan. Namun, upaya-upaya tersebut tidak cukup mampu menangkal kekerasan remaja yang kian meresahkan.
Tidak ada akibat tanpa sebab. Tawuran atau aksi kekerasan lainnya hanyalah akibat dari suatu sebab. Penyebabnya ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah hilangnya identitas hakiki dari remaja. Saat ini kita hidup pada arus sistem sekuler yang menjauhkan umat Muslim dari agamanya. Adanya sistem ini telah mampu mengikis identitas dan jati diri remaja sebagai hamba Allah. Mereka memandang kehidupan seakan sekedar tempat bersenang-senang. Akidah sekuler yang menjauhkan remaja dari aturan agama, menjadikan mereka terombang-ambing dan terbawa arus. Jadilah remaja kita nihil akhlak, gemar bermaksiat, dan berperangai buruk.
Adapun faktor eksternal terbagi menjadi 3 aspek, yaitu keluarga, lingkungan, dan negara. Faktor keluarga berkaitan dengan paradigma kedua orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika paradigmanya sekuler kapitalis, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi sekuler yang hanya berorientasi pada kesuksesan duniawi.
Memang, masa remaja adalah masa yang paling krusial. Mereka mengalami transisi dari fase anak-anak menuju dewasa. Pada fase inilah peran orang tua sangat mereka butuhkan untuk membimbing dan membina mereka menjadi pribadi yang mulia.
Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian remaja. Rumah dan sekolah merupakan lingkungan tempat remaja menjalani kehidupan sosial mereka. Jika kedua lingkungan ini tidak mendukung, akan berakibat negatif pada perkembangan anak.
Lingkungan adalah tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Jika masyarakat hidup dalam lingkungan sekuler, agama tidak lagi menjadi pedoman hidup secara mutlak. Islam tidak lagi menjadi standar dalam menilai perbuatan. Akibatnya pergaulan remaja semakin bebas. Gaya hidup liberal dan hedonis seperti zina, hamil diluar nikah, hingga aborsi telah merusak kehidupan remaja, bahkan bisa merenggut masa depan mereka.
Sedangkan faktor negara berkaitan dengan penerapan kurikulum dan sistem pendidikan. Tugas negara adalah menciptakan suasana takwa pada setiap individu. Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi sekuler kapitalisme yang merusak kepribadian mereka.
Negara juga berkewajiban menyaring dan mencegah tontonan yang tidak mendidik. Sebab, salah satu penyebab remaja mengalami krisis moral, adalah karena tontonan yang tidak mendidik, seperti konten-konten kekerasan dan tayangan yang mengajarkan nilai-nilai liberal.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan generasi unggul, cerdas, dan bertakwa, tidak cukup dengan hanya mengurai masalah cabang saja. Sementara akar masalahnya, yakni kapitalisme, masih terus diterapkan.
Sudah selayaknya kapitalisme ini diganti dengan sistem Islam, yang telah mampu mencetak generasi tangguh, berakhlak mulia, serta berkontribusi untuk kemaslahatan umat dan negara. Salah satu potret pemuda Islam terdahulu yang namanya begitu terngiang hingga saat ini, yaitu Sang Penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Beliau diangkat menjadi sultan di usianya yang masih belia. Begitu pula kisah Zaid bin Tsabit. Di usianya yang baru 13 tahun, sudah mampu berjihad dengan gagah berani. Beliau juga diperintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an di usia 21 tahun.
Demikianlah, hanya sistem Islam yang akan mengantarkan generasi pada gerbang kemuliaan di dunia maupun di akhirat. Maka, sudah sangat mendesak untuk mengganti sistem kehidupan kapitalisme yang diterapkan saat ini dengan sistem Islam. Untuk itu, perjuangan menyadarkan dan memahamkan umat terhadap Islam kaffah tak boleh diabaikan.
Wallahu a’lam bish-shawab
Carminih, S.E.
Views: 10
Comment here