Oleh Nurmilati
wacana-edukasi.com– Apa yang ada di benak anda ketika mendengar Kota Bogor? Kota Hujan, surga kuliner atau tempat wisata? Jika yang pertama terlintas tempat wisata, mungkin Kebun Raya Bogor adalah salah satunya. Ya, cagar budaya yang berada di tengah kota Bogor ini bukan sekadar tempat Instagramable namun juga merupakan tempat konservasi dan edukasi. Maka tak heran jika setiap akhir pekan maupun hari libur selalu banyak dikunjungi wisatawan lokal dan luar daerah bahkan mancanegara.
Perlu diketahui, Kebun Raya Bogor merupakan hutan buatan atau samida dengan luas mencapai 87 hektar dan memiliki 15 ribu jenis koleksi tumbuhan dan pohon. Menurut sejarah, sebagaimana tertulis dalam prasasti batu tulis, hutan buatan tersebut sudah ada saat pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) pada 1474-1513.
Sejarah mencatat, ketika kolonial Belanda memegang kendali pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia pada 1811-1816, Letnan Gubernur Jenderal yang ditempatkan di Indonesia pada waktu itu adalah Thomas Stanford Raffles. Adapun ide pendirian Kebun Raya muncul dari seorang ahli biologi bernama Abner yang menulis surat kepada Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Van der Capellen, isinya menyampaikan keinginannya meminta sebidang tanah yang akan dijadikan kebun tumbuhan dan akan dimanfaatkan untuk tempat pendidikan guru dan koleksi tumbuhan, kemudian sang gubernur menyetujui dan mendirikan Kebun Raya Bogor dengan nama Lands Plantentuin te Buitenzorg pada 18 Mei 1817.
Selain itu, KRB dimanfaatkan sebagai kawasan aklimatisasi tumbuhan ekonomi untuk tujuan bisnis cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa, saat itu dimasukkan berbagai jenis tumbuhan asing yang bernilai ekonomi seperti kopi, teh, kina, kelapa sawit dll yang kini ikut menopang perekonomian nasional dan menjadi sumber devisa negara.
Seiring berjalannya waktu, setelah kemerdekaan dan dikelola oleh putra bangsa, KRB lebih mengedepankan pendidikan, penelitian dan kegiatan _eksplorasi_ serta konservasi, menyelamatkan tumbuhan dengan tidak memperhitungkan nilai bisnis.
Seiring dengan kehadiran pandemi, hadir pula pihak swasta di KRB. Diam-diam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPPI) alihkan pengelolaannya ke swasta. Presiden Mitra Natuna Raya Hendra Noor Saleh, selaku mitra pengelola mengatakan, kehadiran pihak swasta diharapkan dapat mengoptimalkan potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki ikon Kota Hujan ini.
Dengan demikian, Kebun Raya Bogor (KRB) berencana untuk membuat wisata malam bertajuk GLOW yaitu atraksi sinar lampu yang dilekatkan ke bangunan dan pepohonan, menurut pihak KRB, tur ini bisa menjadi daya tarik wisatawan sebagaimana di Singapura yang memanfaatkan lumina tenaga laser yang mampu menyedot pengunjung mencapai jutaan orang.
Tak ayal, wisata malam ini menuai penolakan di jejaring sosial, masyarakat meminta presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan kawasan konservasi dan cagar budaya ini. Petisi juga ditembuskan ke Wali Kota Bogor Bima Arya dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, hingga Senin (27/9/2021) sore, petisi ini telah ditandatangani sebanyak 8.714 dari target 10.000 sejak di-posting kurang dari 24 jam. Beberapa mantan kepala Kebun Raya Indonesia melayangkan rilis resmi terkait penyelewengan tugas pokok dan fungsi Kebun Raya yang dianggap sudah melenceng jauh dari marwahnya sebagai tempat edukasi dan konservasi.
“Berdasarkan pengamatan, masukan dan keluhan melalui sosial media dari berbagai lapisan masyarakat, kami berkewajiban untuk meneruskannya kepada pimpinan yang secara struktur erat dengan tata kelola KRB saat ini,” Liputan6.com (27/9/2021).
Komersialisasi Kebun Raya Bogor
Sungguh disayangkan, KRB yang sudah berumur 2 abad dan kini sebagai lembaga ilmiah yang berperan menahan laju kepunahan jenis tumbuhan, yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011 terkait penjualan tiket murah agar terjangkau oleh masyarakat luas, kini harus berpindah kepemilikan pada swasta.
Apabila menilik ke belakang, dampak krisis moneter pada 1997, perekonomian Indonesia mengalami guncangan hebat, salah satu upaya untuk memperbaiki perekonomian negara adalah dengan meminjam dana bantuan kepada Bank Dunia dan IMF. Kedua badan keuangan dunia tersebut mensyaratkan untuk menjalankan kebijakan program penyesuaian struktural, salah satu tujuannya untuk mendorong pengalihan kegiatan ekonomi yang semula dikelola negara kemudian dimiliki swasta. Hal ini sesuai dengan kecenderungan ekonomi global yang menginginkan minimnya peran negara dalam perekonomian dan kemudian peran ini digantikan oleh mekanisme pasar. Dan kini, kebijakan tersebut terjadi pada Kebun Raya Bogor. Akibatnya masyarakat tidak dapat memanfaatkan dengan lebih leluasa sebab harga tiket bisa mahal dan tidak semua kalangan bisa menikmati sarana umum tersebut. Sementara dalam Islam sarana umum merupakan milik bersama dikelola oleh negara dan manfaatnya dikembalikan kepada masyarakat.
Swastanisasi Haram dalam Islam
Dalam pandangan ekonomi Islam, sumber daya alam adalah potensi sumber daya yang terkandung di dalam bumi, air maupun udara yang digunakan sebagai sarana untuk menunjang kehidupan manusia di dunia sekaligus menjadi sumber penghidupannya. Syariat Islam menetapkan sumber daya alam merupakan salah satu jenis harta kepemilikan umum yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah Swt bagi umat manusia. Mereka diperbolehkan mengambil manfaat dari kekayaan itu tetapi dilarang memilikinya secara pribadi.
Pengelolaannya di bawah kendali negara, Islam menetapkan kawasan tertentu dari sebagian milik umum untuk dilindungi negara misalkan hutan, taman industri seperti Kebun Raya dilindungi untuk kemaslahatan rakyat, baik fungsi lingkungan ataupun untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi bagi negara. Seperti Kebun Raya, seluruh hasil pengelolaannya akan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal yang akan digunakan dan didistribusikan untuk kemaslahatan umat. Maka dari itu, sumber daya alam seperti hutan, padang rumput, laut, sungai, danau dan barang tambang merupakan milik umum yang dilarang diserahkan kepada perorangan ataupun swasta, namun dikelola pemerintah untuk kemaslahatan umat.
Ada tiga jenis kepemilikan pertama kepemilikan individu yaitu harta yang boleh dimiliki dan dikuasai individu, kedua kepemilikan umum yakni kekayaan itu boleh dimiliki dan dikuasai umum atau rakyat, ketiga kepemilikan negara artinya kekayaan yang dimiliki dan dikuasai negara.
Demikianlah sarana umum dalam pandangan Islam. Namun, karena negara ini berdiri atas asas ideologi kapitalisme liberalisme maka kepentingan swasta diduga kuat akan menjadi prioritas pemangku kebijakan daripada kepentingan rakyat, jelas ini akan merugikan rakyat bahkan membahayakan negara, sebab pemerintah bisa berada di bawah kendali pihak swasta. Dalam negara dengan asas tersebut, penguasa tak ubahnya seperti perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan sementara abai terhadap kebutuhan rakyat. Itulah negara demokrasi yang meniscayakan menimbulkan kerugian bagi rakyat dan negara itu sendiri.
Harus Merubah Sistem
Maka dari itu, selama negara ini berpijak pada sistem rusak dan merusak, bukan tidak mungkin akan banyak kekayaan negara yang berpindah kepemilikan kepada swasta. Maka dari itu, supaya hal tersebut tidak terjadi seperti pada GLOW Kebun Raya Bogor, maka tidak hanya sebatas melakukan petisi untuk menghentikan komersialisasi namun harus mengubah sistem kehidupan yang kapitalistik menjadi kehidupan yang islami yakni dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah melalui penegakkan khilafah.
Views: 13
Comment here