Oleh: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Wacana-edukasi.com — Pesta Pilkada memang telah usai. Tepat di tanggal 9 Desember 2020, masyarakat dihimbau untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih kepala daerah. Namun sayang himbauan tersebut nampaknya tak berarti apa-apa. Pasalnya, jumlah warga yang tidak mencoblos atau golput meningkat mencapai 41 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) setempat. (SuaraKaltim.id)
Fenomena golput dengan persentase besar bukan kali ini saja kita temui. Bahkan ketika Pilpres periode 2019-2024 pun demikian. Tentu ini menjadi catatan hitam bagi sistem demokrasi Indonesia. Apalagi ditahun 2019 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di klaim naik menjadi 74,92 atau mengalami peningkatan sebesar 2,53 poin dibanding capaian IDI tahun 2018 (72,39). Angka ini merupakan capaian indeks tertinggi pengukuran IDI sejak tahun 2009. Namun sepertinya ini hanyalah sekedar capaian angka-angka tanpa ada implikasi di lapangan.
Golput atau tidak menggunakan hak suara ketika pemilu sebenarnya telah diatur dalam undang-undang. Dalam keterangannya golput bukanlah pelanggaran hukum karena merupakan hak setiap warga negara. Namun besarnya angka golput tentu menjadi sebuah PR besar yang harus diselesaikan. Mengapa dan ada apa?
Belakangan memang terjadi penurunan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Inilah yang menjadi pemicunya. Terlebih ketika di hadapkan pada kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang serba amburadul. Belum lagi kebijakan lain yang dilahirkan di saat pandemi yang terbilang tidak urgen bahkan aji mumpung yang malah menambah beban hidup masyarakat. Maka wajar saja, rakyat jengah dengan tindak tanduk jajaran penguasa. Gambaran meraih perubahan yang lebih baik seusai Pemilu hanyalah mimpi. Sebagian besar masyarakat sudah sadar pemilu tidak akan memberi perubahan apapun.
Pemilihan umum sebagai wujud eksistensi demokrasi di negeri ini meniscayakan calon yang berada di panggung politik adalah orang-orang yang harus memiliki modal lebih. Untuk maju bersama partai politik sekalipun membutuhkan biaya mahal apalagi independen. Proses memperkenalkan calon kepada publik dengan spanduk dan kampanye mutlak memerlukan biaya yang tidak sedikit. Maka akan sangat wajar jika parpol akan dikelilingi oleh para kapital atau pengusaha sebagai penyokong modal. Politik transaksional menjadi jembatan antara si calon dan pengusaha dalam meraih kepentingan masing-masing. Si calon dengan kekuasaaan dan pengusaha dengan kebijakan yang menguntungkan usahanya.
Akhirnya dari sini jelas bahwa hilanglah asas “ dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Yang ada semua untuk kepentingan para kapital.
Demokrasi tak ubahnya hanya sebagai wadah suburnya politik transaksional. Pemimpin yang dihasilkan oleh demokrasi tidak akan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas karena yang didahulukan haruslah pemilik modal sebagai balas budi. Kebijakan yang selama ini dikeluarkan, bahkan terbaru UU Omnibuslaw Ciptaker nyata mencederai hak buruh dan masyarakat. Lalu masih pantaskah mendamba pada sosok pemimpin dari hasil sistem demokrasi?
Tak Hanya Sadar Namun Harus Di arahkan
Kesadaran masyarakat akan rusaknya demokrasi yang tak akan mampu memberi perubahan harus di sikapi dengan perubahan fundamental dan sistemik. Tidak hanya sekedar bersikap apatis dengan pesta demokrasi pemilu namun harus bergerak menuju perubahan hakiki. Perubahan tersebut adalah perubahan sistem yang melatar belakangi segala pengurusan terhadap rakyat. Ialah sistem Islam.
Islam menjadikan segala pengurusan urusan umat sebagai tanggung jawab mutlak oleh penguasa/khalifah. Syariat Islam menjadi pedoman dan aturan yang melingkupi seluruh aktivitas dan sektor kehidupan masyarakat. Semua di tegakkan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
Pemimpin yang lahir dari sistem Islam merupakan pribadi yang paham akan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga tidak akan lalai dalam mengurus masyarakat. Ia tahu pertanggungjawaban yang akan dipikul kelak di akhirat. Kehati-hatian dalam bersikap dan mengambil keputusan merupakan perkara yang akan sangat diperhatikan oleh khalifah. Karena berkaitan langsung dengan implikasinya terhadap umat.
Kisah khalifah Umar bin Khattab yang memanggul dan memasakkan gandum untuk sebuah keluarga miskin di tengah malam. Atau bagaimana kepemimpinan khalifah Al Mu’tashim Billah yang menjaga kehormatan seorang perempuan dengan mengirimkan beribu pasukan untuk menolong dan menegakkan keadilan atasnya. Kisah-kisah kepemimpinan seperti itu tidak akan kita temui dalam sistem demokrasi yang lapar akan kekuasaan dan kepentingan.
Hanya sistem Islamlah yang akan mampu membentuk pemimpin yang bertakwa, penuh tanggung jawab, takut akan segala tindak tanduk yang akan merugikan umat, hanya berdiri untuk yang haq. Semua itu sebagai buah penerapan syariat Islam secara total, hingga melahirkan sosok pemimpin ideal yang hanya mengharap ridho Allah semata. Maka salah besar jika masih menaruh harapan perubahan pada demokrasi atau hanya bersikap apatis tanpa mau bergerak kearah perubahan hakiki. Sejatinya umat akan terangkat kesejahteraannya hanya dengan kepemimpinan dari seorang khalifah yang dibentuk oleh syariat
Allah. Wallahu alam bishawab
Views: 3
Comment here