Opini

Gurita Korupsi Sampai di Lembaga Peradilan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Dwi R Djohan (Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam satu dekade terakhir terdapat 21 orang hakim yang terjerat kasus korupsi. Jumlah ini belum semua hakim yang terlibat perkara di Mahkamah Agung (MA) dalam dugaan suap pengurusan perkara.

Kabar terbaru pada hari Senin, 19 Desember 2022, KPK menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung dan langsung menahannya. Banyaknya tersangka yang terlibat menunjukkan dugaan suap perkara ini sebagai tindakan menggurita di MA, yang disebut pengamat korupsi karena “penegak hukum memiliki kewenangan besar, dengan kontrol yang sangat kecil”.

Dalam kasus ini, KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp 2 miliar dalam bentuk mata uang asing untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Sebelumnya dua hakim agung dan dua hakim yustisial lainnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Mantan Hakim Agung, Profesor Gayus Lumbuun, berpendapat terkait perkembangan terbaru kasus di MA dengan menggambarkannya sebagai “Indonesia darurat peradaban hukum”. Karena beranggapan bahwa hakim adalah ujung tombak dari peradilan.

Sebagai mantan ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang Mahkamah Agung, Prof Gayus juga menilai bahwa ini juga ada kaitannya dengan kinerja Tim Promosi dan Mutasi (TPM) di badan MA yang memiliki kewenangan untuk meloloskan hakim yustisial atau hakim yang berperan sebagai ketua pengadilan tinggi atau negeri di suatu wilayah. Dengan munculnya kasus ini maka hendaknya TPM melibatkan pihak ekstenal yang independen untuk melakukan proses penyeleksian yang ketat.

Penilaian lainnya terkait kabar ini yaitu berasal dari peneliti PUKAT-UGM, Zaenur Rohman, bahwa korupsi peradilan ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 98. Dan praktik ini belum bisa terputus, salah satunya karena penegak hukum itu memiliki wewenang yang sangat besar, dengan kontrol yang sangat kecil. Ini kemudian menyebabkan potensi pelanggaran semakin besar.

Ada hal yang lebih mencengangkan adalah reaksi dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan terkait upaya yang telah dilakukan KPK itu. Luhut menilai KPK tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sebab OTT itu merusak citra negara Indonesia. Oleh karena itu, Luhut meminta KPK untuk memperbaiki kinerjanya dengan tidak sering melakukan OTT dan berupaya toleran. Pejabat negara meminta penegak hukum untuk mentoleransi atau memaklumi atau bisa jadi membiarkan adanya upaya perampokan uang rakyat secara besar-besaran di depan mata.

Mantan Menkopolhukam ini, ingin KPK untuk mengubah cara kinerjanya menjadi digital life. Yaitu memanfaatkan teknologi dalam bekerja. Lebih tepatnya berupaya mencegah adanya korupsi melalui jejak-jejak digital. Jadi tidak perlu kinerja fisik seperti OTT, cukup memantau, mengawasi dan mengabarkan hasil kinerjanya melalui website, media sosial atau plartform berita yang telah ada. Sebab digitalisasi merupakan indikator kemajuan bangsa.

Reaksi Menkopolhukam, Mahfud MD, Eks Ketua Mahkamah Konstitusi dan juga calon wakil presiden dari masa pemilihan umum di tahun kedua Jokowi menjabat yang tidak terpilih ini, mengiyakan apa yang disampaikan oleh Luhut. Mahfud menilai digitalisasi lebih baik daripada pelaksanaan OTT yang kerap menghebohkan publik. Mahfud juga mengakui bahwa arah pemerintah memang digitalisasi. Oleh karena itu, pemerintah mengajukan RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai agar tidak memberi celah pada korupsi.

Di saat setiap lini kehidupan masyarakat negeri ini dituntut untuk digital, mulai dari penyampaian informasi, transaksi jual beli, peribadatan bahkan perlengkapan administrasi kependudukan sekalipun, ternyata itu dinilai menjadi upaya pencegahan terhadap korupsi ole pejabat negeri ini. Padahal dengan konsep digitalisasi, informasi fakta yang terjadi menjadi kabur karena banyak alibi yang memungkinkan untuk diajukan. Menutupi kebenaran dengan dalih apapun. Seperti transfer fee karena telah melancarkan urusan, dengan dalih transaksi e-commerce.

Namun, dengan fakta yang terjadi yaitu keterlibatan penegak hukum dalam tindak korupsi menunjukkan bahwa gurita korupsi telah sampai di lembaga peradilan dan sebagai pertanda rusaknya sistem hukum di negeri ini. Terlebih lagi adanya anggapan OTT merusak citra bangsa maka ibarat mimpi di siang bolong bahwa akan ada pemberantasan korupsi, tetapi yang sedang terjadi adalah berbagai upaya pembelaan terhadap pelaku korupsi itu sendiri

Berbeda dengan cara pandang Islam. Korupsi adalah kejahatan. Apa pun itu alibinya. Islam memiliki sistem hukum yang kuat, yang akan mencegah terjadinya korupsi dan memberikan hukuman yang membuat jera. Selain itu, kinerja para penegak hukum dan partisipasi masyarakat yang didasarkan pada ketakutannya kepada Allah serta mempercayai hari pembalasan, maka akan membekuk semua tindakan yang mengarah kepadanya sebelum itu terjadi.
Wallahu a’lam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here