Opini

Halal City ala Kapitalisme versus Islam 

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummu Syakira

Umat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Maka musholla, kuliner halal, akomodasi menjadi kebutuhan saat seorang muslim berwisata.

Wacana-edukasi.comIndonesia telah masuk dalam kategori Top 5 Destinasi Pariwisata Halal Dunia (UNWTO Highlights, 2016). Sejak tahun 2016 Malang yang dikenal sebagai kota pendidikan, bisnis, dan pariwisata terus berbenah menuju kota wisata halal, sesuai predikat yang didapatkan kota ini dari Kementrian Pariwisata RI (merdeka.com, Juni 2016)

Akan tetapi, nampaknya istilah kota wisata halal berubah jadi Malang halal city dan menjadi trending topik di 2022, setelah Walikota Malang Bapak Drs. Sutiaji menyatakan di acara Pelantikan Pengurus Majelis Dewan KAHMI Kota Malang akhir Januari 2022 bahwa beliau akan menggandeng KAHMI dalam mewujudkan Malang Halal City (DetikJatim.com, Januari 2022).

Tidak lama setelah pernyataan walikota tersebut pada 16 Februari 2022 muncul spanduk di depan Balai Kota Malang, Gedung DPRD Kota Malang dan bundaran Alun-alun Tugu kota Malang bertuliskan Malang Tolerant City Not Halal City. Dikutip dari laman web Kronologi.id, Habib Syakur menyatakan kekhawatirannya akan timbul sentimen karena pemaknaan halal dan lebih lanjut juga beliau menyatakan “Jangan menjadikan Malang menjadi kota berbelakang. Malang harus maju, harus jadi kota yang moderat, harus mewujudkan kota paling toleransi di seluruh Indonesia”. Dari momen tersebut mulai ramai komentar netizen menanggapi istilah “Malang Halal City”.
Hal yang aneh sebenarnya jika ada yang mengatakan konsep “Malang Halal City” ini mencederai moderasi beragama. Ide moderasi beragama pun sudah salah karena konsepnya adalah harus toleran terhadap ide-ide sesat barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, sinkretisme serta menolak penerapan Islam kaffah karena dianggap penerapan Islam kaffah itu tidak moderat. Penolakan istilah halal city ini nampaknya bentuk Islamophobia umat ditambah lagi ide moderasi beragama yang terus digaungkan.

Halal City ala Kapitalisme

Istilah wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim di negara-negara non-OKI, seperti penyediaan tempat ibadah (mushola) dan restoran halal (republika.co.id,Juli 2021). Bapak Sutiaji telah meminta agar jangan salah dalam mengartikan Malang halal. Karena konsep tersebut diwujudkan melalui Center Of Halal Tourism (detik.com, Februari 2022). Saat ini Malang sudah menyiapkan cukup banyak sarana dan prasarana untuk mendukung konsep wisata halal yang ingin diterapkan oleh pemerintah, seperti masjid dan hotel syariah (inews.id, Desember 2019). Khusus area kota Malang yang unggul kulinernya maka proyek halal city akan memastikan kuliner yang dijual pun layak berpredikat halal.

Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Area I Jakarta-Banten Kemenpar, Wastutik mengungkapkan Malang sudah mempunyai laboratorium sertifikasi halal di lima perguruan tinggi dan inilah yang menjadi tolak ukur untuk menilai kesiapan dari Pemkot Malang dalam mengembangkan wisata halal (liputan6.com, April 2019).

Bazar wisata halal dan sertifikasi halal juga diadakan terhadap oleh-oleh khas Malang. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni menyatakan Pemkot Malang juga telah mengajukan legalitas halal bagi 30 dapur hotel dan restaurant di Kota Malang ke LPPOM Provinsi Jatim (medcom.id, Oktober 2019).

Selain itu, Pemerintah Kota Malang menjadikan Juru sembelih halal (Juleha) yang kompeten dan bersertifikat sebagai andalan mendukung terwujudnya Malang Halal Center. Pemkot menggandeng banyak pihak untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi para Juleha tersebut (liputan6.com, mei 2021).

Terlepas sesuai syariah atau tidaknya konsep wisata halal yang dicanangkan, memang seharusnya menjadi opini bawah sadar umat Islam bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan wajib mempertimbangkan halal atau haram, bukan hanya dalam berwisata tetapi juga dalam kesehariannya. Namun, dari sini kita juga bisa melihat bahwa konsep halal city ala kapitalisme saat ini semata hanya bertujuan untuk memberi rasa aman wisatawan muslim dalam hal tertentu saja. Tidak mencegah terjadinya kemungkaran dan kemaksiatan yang masih terjadi di sebuah kota atau obyek yang menjadi destinasi wisata.

Umat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Maka musholla, kuliner halal, akomodasi menjadi kebutuhan saat seorang muslim berwisata. Jadi konsep wisata halal itu sebenarnya mengambil peluang bisnis dari kebutuhan spesifik umat muslim itu. Negara-negara seperti Thailand, Singapura, Jepang, Australia, Inggris, dan banyak negara lainnya telah lebih dulu mengambil konsep ini. Istilah wisata halal malah lebih dulu digunakan oleh negara-negara yang mayoritas nonmuslim. Yang tujuannya untuk mendatangkan wisatawan dari negeri-negeri muslim. Inilah gambaran kehidupan kita yang serba materialistis. Syariat Islam akan dilaksanakan jika itu mendatangkan cuan, akan tetapi jika belum terlihat ada cuan-nya tak akan dilirik.

Halal City ala Islam 

Di era kapitalisme ini, liberalisasi ekonomi membuat negara dan rakyat tak berdaya secara finansial. Harta milik rakyat seperti emas dan batubara yang melimpah ruah di negeri ini yang harusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat masih dikuasai asing dan swasta. Akhirnya negara dan rakyat mencari receh agar dapur tetap ngebul. Salah satunya dengan menyelenggarakan beraneka wisata untuk menambah pemasukan.

Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Pariwisata bukanlah sumber devisa utama. Sumber pemasukan negara sudah ditegaskan dalam Islam mulai dari ghanimah sampai beraneka harta milik umum seperti sumber daya alam. Ekonomi pun tegak dan ditopang oleh industri, pertanian, perdagangan dan jasa. Pariwisata pun diatur. Obyek wisata yang dibolehkan adalah yang tidak menyelisihi syariat dan tidak bertentangan dengan peradaban Islam. Karena Islam menempatkan tujuan utama pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan syiar keagungan peradaban Islam. Bukan wisata yang malah menginspirasi orang untuk bermaksiat.

Obyek wisata yang menyelisihi syariat dan bertentangan dengan peradaban Islam misalnya;1) patung-patung menyerupai makhluk hidup yang biasa didirikan di obyek-obyek wisata, 2) obyek wisata yang menampilkan eksploitasi terhadap tubuh atau menampilkan aurat perempuan maupun laki-laki (penari laki-laki maupun perempuan yang menampakkan aurat, penjaga obyek wisata yang tabarruj- seksi full make up), spa dan pijat plus-plus, 3) bangunan bekas tempat ibadah non muslim yang sudah tak dipakai lagi dan 4) tempat wisata kuliner yang menyajikan makanan/minuman haram.

Selain itu, dalam negara yang menerapkan Islam kaffah tidak perlu ada istilah halal city maupun tolerant city karena sistem Islam sudah menjamin pelaksanaan seluruh syariat Islam tanpa tebang pilih. Pelaksanaan Islam di segenap lini kehidupan ini lah yang akhirnya menghidupkan suasana halal dan menenangkan hati, baik muslim maupun nonmuslim. Adapun untuk nonmuslim yang ingin memiliki patung, berpakaian tabarruj, makan dan minum yang haram seperti babi dan miras tentu tetap boleh saja asal di wilayah yang khas untuk mereka. Bukan di ranah publik.

Inilah sesungguhnya bentuk betapa tolerannya ajaran islam. Jadi, konsep wisata halal yang banyak diambil negara-negara sekuler saat ini hanyalah menyentuh kulit ari dari konsep wisata halal yang sesuai syariah. Muslim sejati tentunya lebih memilih halal city ala Islam kaffah.

Wallohualam Bishowab 

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 30

Comment here