Opini

Hanya Khilafah yang Mampu Mewujudkan Keadilan Hukum

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummu Haneem

(Pemerhati Kebijakan Publik)

Buruknya penegakan hukum yang lemah tersebut semakin membuka tabir wajah asli demokrasi, buah dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Wacana-edukasi.com Jaksa DR. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH. (Pinangki) kini tengah menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak? Terlepas dari gaya hidupnya yang hedonis, jaksa berparas ayu tersebut telah mengakui keterlibatannya dalam kasus penyuapan senilai 500 ribu dollar AS atau jika dirupiahkan adalah sekitar Rp7,3 miliar (kurs Rp14.633). Adapun uang tersebut diperolehnya dari buronan Bank Bali Djoko Tjandra. Akibatnya, jaksa kelahiran Yogyakarta, 21 April 1981 itu dijerat Pasal 5 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Sungguh sangat disayangkan! Vonis hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp600 juta untuk jaksa Pinangki dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 4 tahun saja. Penyunatan hukuman tersebut dilakukan dengan dalih yang bersangkutan telah mengatakan menyesali perbuatannya dan bersedia dipecat dari profesinya. Ditambah lagi, alasan lainnya dikarenakan terdakwa adalah Ibu dari balita berusia 4 (empat) tahun, sehingga layak diberikan kesempatan untuk mengasuh sang buah hati. Hal ini sebagaimana dikutip dari detikNews pada Kamis, 17 Juni 2021.
Diketahui bahwa penyunat vonis Pinangki dilakukan oleh lima hakim tinggi secara bulat. Mereka adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik. Dalam catatan detikcom, Minggu (20/6/2021).

Nama-nama hakim tinggi itu tercatat kerap menyunat hukuman para terdakwa korupsi. Salah satunya pembobol Jiwasraya, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan. Majelis Pinangki yang menyunat hukuman Syahmirwan dari seumur hidup menjadi 18 tahun penjara yakni Haryono, Lafat Akbar, dan Reny Helida Ilham Malik. Hakim tinggi Haryono juga menganulir hukuman penjara seumur hidup pembobol Jiwasraya, Joko Hartono Tirto menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, menganulir hukuman mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Rupanya, aksi sunat menyunat hukuman sudah kerap terjadi dan mirisnya hal tersebut dilakukan oleh para aparat penegak hukum.

Menyikapi penyunatan hukuman untuk Jaksa Pinangki, lebih dari 15.000 orang telah meneken petisi daring. Petisi yang digalang oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut menuntut supaya hukuman terhadap Jaksa Pinangki diperberat, minimal 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup (change.org, 18/6/2021).

Ironis! Jika hukum bisa disunat dan para penegak hukumnya bisa disuap, maka jelas hal tersebut berdampak negatif terhadap penegakan hukum. Penegakan hukum yang lemah, tentu mencederai kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegaknya. Terkait hal ini, Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 50, sebagai berikut:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”

Menurut Al-Baidhawi, makna jahiliah dalam ayat di atas adalah millah jahiliah atau millah pengikut hawa nafsu. Kemudian, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa ayat tersebut berisi pengingkaran manusia atas hukum-hukum Allah yang mampu memberikan keadilan serta mencakup segala kebaikan dan pencegahan terhadap segala keburukan. Sayangnya, manusia justru tunduk pada pemikiran, hawa nafsu, dan tradisi yang tidak berasal dari syariat Allah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum jahiliah, dalam hal ini hukum buatan manusia adalah hukum yang tidak mengikuti syariat Allah dan hanya mengikuti pemikiran serta hawa nafsu manusia belaka. Hukum tersebut tidak berstandar pada halal dan haram. Asasnya manfaat untuk kepentingan individu dan golongan.

Menelisik lebih jauh, buruknya penegakan hukum yang lemah tersebut semakin membuka tabir wajah asli demokrasi, buah dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Demokrasi yang digadang-gadang menjanjikan keadilan, ternyata cacat, mulai dari asas hingga penerapannya.
Sekiranya Surat Al Maidah ayat 49 pun dapat menjadi pengingat untuk memutuskan segala perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menurut apa yang telah Allah turunkan dan tidak mengikuti hawa nafsu manusia:

“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan), ketahuilah bahwa sungguh Allah berkehendak untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

Berbeda dengan sistem Islam. Suatu jabatan, apa pun itu merupakan amanah. Namanya amanah, kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Maka dari itu, dalam sistem Islam sangat kecil kemungkinan para penegak hukum akan berani menyeleweng dari amanahnya. Justru, mereka akan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, yang bersumber pada syariat Allah.
Rasulullah SAW pernah berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis tersebut, dapat dilihat bahwa keadilan dalam Islam itu sangat dijunjung tinggi, bahkan ditekankan jika Fatimah putri Rasulullah pun melakukan tindakan yang melanggar syariat, maka Rasulullah pun akan menghukumnya.

Betapa indahnya bersyariat Islam dalam sebuah tatanan sistem yang sahih sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Keadilan hukum akan tegak. Semua masyarakat dengan berbagai macam status memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Lihat saja penegakkan hukum Islam pada Abdurrahman bin Umar! Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr Bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar). Saat itu Amr bin Al-Ash menduduki jabatan sebagai gubernur Mesir.

Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam itu diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota dengan tujuan agar penerapan sanksi tersebut memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun. Amr bin al-Ash justru melaksanakan hukuman tersebut di dalam sebuah rumah. Pada saat Khalifah Umar bin al-Khattab mendengar perihal tersebut, maka beliau langsung melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-Ash untuk tetap melaksanakan hukuman di hadapan publik.

Demikian contoh sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar. Dengan berpegang pada syariat Islam, beliau mengimplementasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai persamaan di hadapan hukum Islam. Tidak peduli apakah dia putra Khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan, maka hukum Islam ditegakkan dan dilaksanakan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 57

Comment here