Opini

Hapus Sekularisme dan Kejahatan Seksual dengan Sistem Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Umi Kalsum (Muslimah Musi Banyuasin)

wacana-edukasi.com, OPINI– Lagi. Kasus pemerkosaan kembali terjadi lagi. Kali ini menimpa seorang gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Tak ayal, jumlah pelaku pemerkosaan ada 11 orang. Dua diantaranya berstatus oknum anggota Brimob dan kepala desa (kades)

Awal kejadian, bermula saat korban yang berinisial R membawa bantuan logistik dari kampungnya di Poso untuk korban banjir di Desa Toroe, Parimo. Setelah menyalurkan bantuan, R memilih tidak pulang dan menginap di salah satu penginapan di Parimo karena pelaku menjanjikan sebuah pekerjaan di rumah makan. Namun, janji tinggallah janji. R justru mendapatkan pelecehan. Bahkan, pelaku pertama mengajak pelaku lainnya untuk melecehkan R.

Kapolres Palimo AKBP Yudy Arto Wiyono mengatakan bahwa pemerkosaan ini terjadi di beberapa lokasi di Parimo sejak April 2022 sampai Januari 2023. Para pelaku memberikan iming-iming sejumlah uang, pakaian, dan handphone kepada korban. Menurut Yudy, terkuaknya kasus ini yaitu disaat orang tua korban melaporkan anaknya R kepada pihak kepolisian yang mengatakan bahwa anaknya mengalami rasa sakit pada organ reproduksinya.

Pihak kepolisian telah menetapkan 10 dari 11 orang terduga sebagai tersangka. Mereka adalah NT, ARH, AR, AK, FA, DU, AK, AS, AW, dan kades HR. Namun begitu, polisi baru menahan 5 orang tersangka di Mako Polres dan 5 tersangka lainnya masih dalam pengejaran alias buron. Adapun oknum Brimob berinisial HST belum ditetapkan sebagai tersangka karena tim penyidik masih akan melakukan pendalaman.

Dari pihak Polda Sulawesi yang diwakili oleh juru bicaranya, Djoko Wienarto mengatakan bahwa belum diketahui secara jelas motif para pelaku. Termasuk dugaan apakah korban anak benar dicekoki dengan narkoba. Hal ini dikarenakan para pelaku yang saling mengenal, diduga membarter korban dengan narkoba jenis sabu. Bahkan korban diancam dengan senjata tajam.

Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan tindak pidana prostitusi anak dalam kasus ini. Pasalnya, para pelaku menjalankan aksi liciknya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan sejumlah uang (BBC News, Indonesia 30/5/2023).
Kemudian pendamping korban, Salma Masri menceritakan psikis korban saat ini masih terguncang lantaran kondisi kesehatan terus memburuk diakibatkan alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat.

Yang menarik dari kasus ini adalah pernyataan dari Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho. Agus menyebutkan bahwa kasus anak usia 15 tahun yang diperkosa oleh 11 orang pria tersebut bukan pemerkosaan, tapi persetubuhan di bawah umur. Menurut Agus, tidak ada unsur paksaan disini. Korban diiming-imingi, dibujuk, dan dirayu oleh para tersangka.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar tidak sepakat dengan pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah diatas. Fickar menekankan kasus tersebut tetap pemerkosaan dan secara tegas bahwasanya pemaksaan tidak mesti melalui fisik, tapi bisa lewat psikis. Apalagi dilakukan oleh banyak orang yang salah satunya anggota polisi. Jika menggunakan terminologi persetubuhan, maka tidak ada pelanggaran hukum pidana, sepanjang dilakukan oleh orang dewasa. Namun, berbeda jika wanita itu belum dewasa. Maka apapun alasannya, itu merupakan pemaksaan atau perkosaan karena terjadi pola relasi yang tidak seimbang (Kompas.com, Jumat 02/06/2023).

Kasus demi kasus kekerasan seksual pada anak terus menghantui. Tak tanggung-tanggung, jika melihat jumlah para pelaku yang ada membuat hati nurani kita sebagai manusia tercabik-cabik. Duka dan amarah bercampur tatkala kita menyaksikan korban yang masih belia, dirusak masa depannya. Sungguh, negeri kita sedang menghadapi situasi yang tidak bisa ditoleransi lagi. Indonesia darurat kekerasan seksual! Generasi taruhannya.
Mengapa persoalan kekerasan seksual tidak berhenti? Setidaknya hal ini bisa kita lihat dari berbagai sisi.

Pertama, terkait hukuman yang tidak memberikan efek jera. Di dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, bagi siapapun yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, maka hanya dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta membayar denda paling banyak Rp.5 miliar (Kompas,6/1/2022).

Kedua, adanya perbedaan definisi dalam kasus kekerasan seksual. Antara satu definisi dengan definisi yang lain, akan menjadi penentu apakah pelaku bisa dijerat hukuman atau dibebaskan dari tindak pidana. Hal ini tentu saja melahirkan ketimpangan hukum dan keadilan akan sangat sulit ditegakkan. Sehingga kasus-kasus yang ada hanya akan berakhir melalui jalur damai dan akan berulang di waktu yang lain.

Ketiga, buruknya media hari ini. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, kebebasan mengakses internet pun menjadi sangat mudah. Tontonan yang berbau pornografi dan pornoaksi membanjiri kanal-kanal media sosial. Alhasil, konten porno dan cabul dapat dengan mudahnya dikonsumsi oleh masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak. Hasrat seksual pun muncul dan pada akhirnya mencari mangsa untuk melampiaskan nafsu setan yang telah merasukinya.

Keempat, buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang selama ini digunakan di Indonesia adalah pendidikan yang tidak bersandar pada kurikulum Islam (sekuler). Para pejabat negara yg diberi wewenang untuk menyusun kurikulum pendidikan, hanya memasukkan nilai-nilai positif dan moderat serta hanya bersifat teoritis saja dan jauh dari pemahaman tentang kehidupan. Output sistem pendidikan sekuler akan mengabaikan rambu-rambu agama, melanggar yang haram, serta tidak takut dosa dan azab di hari akhir kelak. Pada akhirnya, terbentuklah masyarakat sekuler dan liberal serta perilaku kriminal yang bermacam-macam jenisnya.

Telah jamak diketahui, bahwa Indonesia menerapkan aturan bernegara yang tidak bersandar pada syariat Islam. Asas dalam kehidupan sehari-hari adalah sekulerisme. Maka individu rakyatnya bebas berbuat apapun yang disukainya. Sedangkan masyarakat bersikap apatis, tak peduli dan individualis. Negara sekuler melahirkan kebijakan pragmatis, tidak mampu memberikan solusi tuntas bagi masalah bangsa, lalu berpaling dari aturan Ilahi, seakan-akan benar mengandalkan kecerdasan semata.

Sedangkan Islam berasal dari Allah swt telah sempurna mengatasi problematika kehidupan umat manusia, tak terkecuali persoalan kekerasan seksual. Islam memandang bahwa setiap hubungan seksual diluar pernikahan adalah haram karena terkategori perbuatan zina, baik itu dilakukan suka sama suka atau melalui paksaan. Baik dengan definisi persetubuhan, pemerkosaan, rudapaksa atau definisi yang sejenisnya.

Bagi pelaku zina atas dasar suka sama suka, maka berlaku sangsi tegas yaitu jilid bagi yang belum menikah (berstatus bujang/gadis) atau rajam bagi yang sudah pernah menikah (memiliki pasangan atau berstatus duda/janda).
Bagi pelaku zina atas dasar paksaan (perkosaan), maka hanya pihak yang memperkosa akan mendapatkan hukuman (jilid atau rajam).

Terkait kurikulum, akidah Islam akan menjadi asasnya. Peserta didik akan ditanamkan keimanan terlebih dahulu kepada Allah swt sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia. Menanamkan rasa takut apabila melanggar syariat Islam. Mereka akan dipahamkan tentang perbuatan halal dan cara untuk meraihnya serta perbuatan haram dan cara menghindarinya. Maka dari itu, terbentuk pada setiap individu pola kepribadian yang unik yang sesuai dengan hakikat penciptaannya, membangun peradaban mulia serta mewujudkan kehidupan yang membawa kebaikan, bukan menimbulkan kemudaratan.

Adapun media massa dan media sosial di dalam sistem Islam akan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mensyiarkan agama Islam. Selain itu, busa menjadi alat bagi seluruh rakyat untuk mengakses kemudahan hidup dan mendapatkan informasi positif yang mampu menunjang kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari.

Tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat dan merusak akan dilarang. Situs-situs pornografi dan pornoaksi akan ditutup. Negara di dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh atas terjaminnya akses teknologi yang nihil dari tontonan rusak dan merusak.

Begitu juga dengan kebutuhan setiap individu sudah dijamin oleh negara melalui mekanisme ekonomi syariah. Tak ada alasan bagi perempuan khususnya mengambil resiko demi mendapatkan sebuah pekerjaan dan menempatkan diri pada situasi yang membahayakan keselamatan nyawa dan kehormatannya.

Tak ada keraguan lagi untuk meninggalkan sistem sekuler hari ini. Kerusakannya sudah sangat meluas. Permasalahan bermunculan tak terselesaikan. Hanya kembali pada sistem Islam sajalah, umat akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan di sepanjang hidupnya.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here