Opini

Harga BBM Naik, Adakah Solusi Hakiki?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Asyifa’un Nisa (Mahasiswa Pascasarjana dan Pegiat literasi)

wacana-edukasi.com– Belum genap 2 pekan pasca kenaikan BBM yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi dalam pidato resmi di Istana negara (03/09/2022), namun nyatanya kebijakan ini begitu menjerat berbagai lapisan masyarakat. Berbagai elemen masyarakat dari mulai buruh hingga mahasiswa berbondong-bondong turun ke jalan, baik di Ibu kota maupun di berbagai wilayah lainnya. Bahkan disaat yang sama para wakil rakyat sedang asik merayakan ulang tahun ketua DPR, yakni Puan Maharani ditengah ricuhnya aksi demostrasi para buruh diluar gedung DPR (cnnindonesia.com, 07/09). Seolah tak bergeming dengan protes dan demonstrasi yang dilakukan masyarakat, pemerintah tetap bersikukuh memepertahankan kebijakan ini dengan beribu dalih. Pemerintah berdalih ketidakpastian kondisi perekonomian dunia yang juga berimbas pada kondisi nasional menjadi alasan utama untuk melakukan pengalihan subsidi BBM.

Memanasnya kondisi politik global memberikan tekanan besar terhadap fluktuasi harga BBM dunia, sehingga pemerintah menganggap hal ini mendatangkan beban tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 1,4 juta bph (barel per hari). Sedangkan produksi Indonesia per tahun ini hanya sebesar 703.000 bph, sehingga hampir 50% pemenuhan kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui Impor. Parahnya lagi salah satu negara pengimpor BBM terbesar di Indonesia adalah Singapura, dimana negara tersebut secara kekayaan alam sangat jauh dibanding Indonesia. Data impor produk minyak olahan berupa BBM terbesar Indonesia berasal dari Singapura yang mencapai 10,25 juta ton, kemudian Malaysia 5,1 juta ton dan India 1,3 juta ton.

Disisi lain dikutip dari cnbcindonesia.com, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak mentah ke Singapura sebagai bahan baku pembuatan BBM, dimana natinya BBM tersebut akan diimpor kembali ke Indonesia. Berdasarkan rangkuman data BPS, dalam tiga tahun kebelakang total ekspor Indonesia ke Singapura yakni 2019 sebesar US$ 12,916 miliar, 2020 sebesar US$ 10,661 miliar, dan tahun 2021 sebesar US$ 11,634 miliar. Sebaliknya nilai impor Indonesia dari Singapura pada tahun 2019 sebesar US$ 17,589 miliar, tahun 2020 sebesar US$ 12,341 miliar dan pada tahun 2021 sebesar US$ 15,415 miliar. Dengan demikian, selama 3 tahun telah terjadi defisit perdagangan lebih dari US$ 10 miliar atau sekitar Rp. 148 triliun, angka ini tentunya yang menjadi keuntungan bagi Singapura.

Kondisi ini tentu semakin memperjelas lemahnya ketahanan ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam yang begitu berlimpah masih senantiasa bergantung pada pasokan negara lain, seolah kemandirian yang senantiasa digaungkan pemerintah hanyalah isapan jempol belaka. Ketahanan ekonomi merupakan dinamika kehidupan finansial suatu negara yang tangguh dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman, rintangan, hambatan, serta tantangan yang berasal dari luar negeri dan dari dalam negeri demi menjamin kemakmuran negaranya. Tentunya ketahanan ekonomi tidak hanya berpangku pada bidang ekonomi semata, melainkan mengharuskan adanya sinergi dari segala bidang, yakni politik luar negeri yang mandiri, pertahanan dan keamanan yang unggul, hingga moneter yang kuat. Namun faktanya itu semua tidak akan mampu dicapai oleh Indonesia dengan penerapan sistem sekuler kapitalis sebagaimana hari ini.

Sistem kapitalis meniscayakan adanya kemandirian suatu negara dalam mengelola segala asset negara guna mensejahterakan rakyat. Negara-negara barat sebagai biang dari sistem ini akan senantiasa menjerat dengan kebijakan neo-imperialis mereka. Pada akhirnya, sistem inilah yang membuka lebar jalan ketergantungan melalui ketundukan negara pada berbagai perjanjian internasional, termasuk sistem moneter berbasis dolar dan liberalisasi perdagangan yang sejatinya merupakan alat penjajahan mereka. Belum lagi soal kewajiban meratifikasi berbagai kebijakan global dalam pembuatan kebijakan dalam negeri di berbagai aspek, tentunya semakin memperjelas jeratan kapitalis. Tidak heran jika situasi politik ekonomi nasional senantiasa mendapat imbas dari berbagai pergolakan kondisi global. Sehingga ketahanan ekonomi dalam sistem kapitalis sekuler hanyalah ilusi semata. Negara bukan lagi bertindak sebagai penjamin kesejahteraan rakyat, tapi hanya bertindak sebagai regulator dan berpihak pada para pemilik modal.

Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan yang berdiri atas dasar syariat Islam. Sistem Islam tegak diatas keyakinan dan keimanan yang kuat bahwa Allah Swt. adalah Al khalik (Maha Menciptakan) dan Al Mudabbir (Maha Pengatur), maka penerapan seluruh syariat Islam menjadi satu-satunya tujuan. Hal ini pula yang mendasari kemandirian dan kedaulatan negara yang menerapkan sistem Islam tidak lagi tunduk pada berbagai intervensi asing. Syariat Islam secara tegas mengatur kepemilikan sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas sebagai kepemilikan umum, dimana pengelolaan dan pengembangan SDA seutuhnya menjadi kewajiban pemerintah. Selanjutnya seluruh hasil pengelolaan tersebut akan dialokasikan kembali untuk kesejahteraan masyarakat, bukan korporasi maupun pihak asing. Sehingga tidak ada lagi monopoli kekayaan yang hari ini banyak terjadi dalam sistem kapitalis. Lebih dari itu sistem ekonomi Islam tidak hanya fokus pada produksi dan pertumbuhan, tetapi juga distribusi dan pemerataan. Hal ini untuk mencegah adanya kesenjangan ekonomi.

Beragamnnya sumber pemasukan bagi kas negara seperti ganimah, fai, kharza, rikaz, jizyah, dan yang lainnya juga menjadi penopang terwujudnya ketahanan ekonomi dalam sistem Islam. Dalam Islam pemberlakuan subsidi atau bahkan pembiayaan oleh negara pada aspek kebutuhan bersama seperti pendidikan maupun kesehatan tidak akan dipandang sebagai beban negara, melaikan sebagai pemenuhan tanggungjawab negara dalam melakukan periayahan terhadap rakyat. Lain halnya dengan hari ini, dimana setiap subsidi atau bantuan yang diberikan negara kepada masyarakat dinilai sebagai beban yang memberatkan perekonomian negara. Sungguh paradigma mendasar dalam Islam sangat berlainan dengan paradigma kapitalis hari ini.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki aturan terbaik yang mampu menjadi solusi hakiki bagi seluruh problematika kehidupan hari ini. Namun sangat disayangkan hari ini ditengah peliknya permasalahan kehidupan, masyarakat juga diserang dengan berbagai perang pemikiran yang disusupkan secara massif oleh para pengemban kapitalis. Perang pemikiran ini telah mengaburkan pandangan umat dari kegemilangan dan kebaikan sistem pemerintahan Islam. Maka sudah saatnya seluruh kaum muslim tergerak untuk tidak terbawa arus mainstream perang pemikiran tersebut. Disisi lain sudah saatnya kaum muslim turut andil dan mengambil peran dalam memperjuangkan kebangkitan kehidupan Islam.
Hadanallah waiyyakum, Wallahu a’lam bishawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 23

Comment here