wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Badan Pangan Nasional alias National Food Agency (NFA) sedang mengoptimalkan stok gula dalam negeri serta melakukan percepatan pengadaan gula oleh BUMN pangan. Diklaim bertujuan untuk mengamankan ketersediaan gula konsumsi pada hari besar keagamaan nasional (HBKN) Ramadan dan Idul Fitri. (pontianakpost.com, 27/03/2023).
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyebutkan bahwa berdasar penghitungan kebutuhan, prognosis neraca pangan nasional Januari–Desember 2023, diperkirakan pada tahun ini produksi gula dalam negeri sekitar 2,6 juta ton. Sedangkan, angka kebutuhan gula nasional sekitar 3,4 juta ton. Selisihnya masih harus ditutup oleh impor. Langkah pengadaan dari luar ini dipercepat dari awal untuk mencegah kelangkaan di masyarakat yang mendahului musim giling tebu.
NFA juga melakukan percepatan proses pengadaan oleh BUMN pangan. Dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding Perkebunan, untuk melakukan pengadaan gula konsumsi luar negeri. Prosesnya sudah berjalan dan ditargetkan sudah ada yang masuk pada Maret–April ini. Akan mendatangkan sekitar 215.000 ton gula kristal putih (GKP) secara bertahap. Dia menyebutkan, seluruh proses perizinan dari Kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan sudah dipenuhi. Kedatangan impor gula akan dilakukan secara bertahap. Pada Maret–Mei ini ditargetkan masuk sekitar 99.000 ton GKP. Melalui tiga pelabuhan, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, dan Belawan Medan.
Gula impor lagi-lagi akan membanjiri pasar Indonesia. Sebagaimana data BPS sejak Tahun 2020, Indonesia mengimpor sebagian besar gula dari Thailand, Brazil, Australia dan India. Jika dalam kurun 5 tahun terakhir, kondisi konsumsi gula nasional selalu melebihi angka produksi, maka seharusnya pemerintah mencari peluang produksi tanaman tebu dan pabrik pengolahan dalam negeri lebih luas lagi, bukan malah impor gula. Di lapangan kerap ditemukan kebocoran gula rafinasi impor yang tujuannya untuk industri justru masuk di pasaran umum, ini wajar karena gula dibutuhkan hampir semua jenis usaha kuliner. Ini yang menjadi gejolak dan kekhawatiran bagi para petani karena dampak impor.
Belum kita lihat keseriusan pemerintah dalam menyiapkan kebutuhan rakyat akan gula ini. Malah berdalih dengan angka diabetes nasional yang semakin meningkat termasuk kepada anak-anak. Prevalensi anak penderita diabetes tercatat sebesar 2 per 100.000 penduduk pada Januari 2023 lalu. Angka ini ada hanya untuk dijadikan alat untuk ‘menunduh’ gaya konsumsi rakyat sendiri berada pada posisi yang salah. Sementara pemerintah tidak optimal dalam edukasi kesehatan gula darah.
Ketika mau impor gula, mengabaikan lagi isu ini dan menyalahkan rakyat petani lagi yang tak bisa memenuhi stok nasional. Jelas ini politik ekonomi yang buruk dibawah mindset kapitalisme. Ini sebenarnya menunjukkan pada rakyat atas ketakmampuan negara dalam mewujudkan kedaulatan pangan dalam negeri.
Didalam politik ekonomi Islam, negara (daulah) harus menjaga lahan tebu agar mampu memenuhi produksi, tidak membiarkan adanya laih fungsi lahan oleh swasta bahkan asing. Pemerintah akan memiliki regulasi terkait lahan pertanian hingga sanggup swasembada gula, buah dari adanya penyatuan kepemilikan lahan pertanian dengan produksinya, tidak ada penelantaran lahan. Kemudian konsep produksi gula pun dirancang dengan kolaborasi pemerintah dengan institusi pendidikan untuk peremajaan produksi gula.
Ada mekanisme yang disusun untuk menjaga pasokan bibit tebu berkualitas, di samping menjamin ketersediaan pasokan pupuk, hingga transportasi tebu baik proses produksi maupun distribusi terwujud dengan efisien. Tak lupa edukasi konsumsi gula ditengah masyarakat untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan dapat diwujudkan beriringan.***
Yeni
Pontianak-Kalbar
Views: 7
Comment here