Oleh: Ummu Zhafran (Pegiat Literasi)
Siapa sangka petahana bisa kalah dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS). Hasilnya, pasangan Joe Biden dan Kamala Harris resmi diumumkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Dengan bergantinya tongkat kepemimpinan Amerika di tangan Joe Biden, dunia pun menaruh harapan baru.
Sebagian kalangan muslim dunia tak ketinggalan turut memandang positif naiknya Joe Biden mengganti Donald Trump. Sosok yang dikenal ramah, religius dan santun ini diharapkan mampu mengubah wajah Paman Sam yang di era petahana yang dikenal rasialis dan terang-terangan menyatakan kebencian terhadap Islam di dalam negerinya khususnya dan dunia pada umumnya.
Tak dapat disangkal, Joe Biden memang mengundang simpati umat. Bagaimana tidak, dalam sebuah postingan di media sosialnya selagi kampanye, ia mengutip sebuah hadits dari Baginda Nabi saw. yang mulia,
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Setelahnya, Joe Biden pun mengumbar janji. Antara lain, akan bersungguh-sungguh memperlakukan Islam dengan baik dan mengakui hak-hak warga muslim setara dengan yang lainnya. Publik pun menilai menangnya Joe Biden bisa membawa angin segar bagi konstelasi muslim dan negeri-negeri umat Islam di dunia. Asa pun dilambungkan. Berharap posisi tawar umat bisa meningkat di hadapan dunia umumnya dan warga Amerika pada khususnya.
Hal ini menarik. Tetapi tersisa satu tanda tanya. Mungkinkah harapan itu dapat terwujud mengingat banyaknya figur-figur presiden sebelumnya, Biden tak lain hanya aktor yang menjalankan peran dari sang sutradara. Yaitu ideologi kapitalisme. Politik yang diemban AS sejak awal hingga kini sejatinya tak bergeser sedikit pun. Tabiat imperialis dan kolonialis sebagai metode satu-satunya untuk mencapai tujuan kapitalistik.
Negeri Indonesia negeri dengan mayoritas muslim, kisahnya bakalan tak jauh beda. Lazim diketahui, walau Presiden negara tersebut silih berganti namun selalu menetapkan kebijakan yang sama. Yaitu mendorong terjadinya investasi di segala sektor. Berdalih untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan membuka lapangan kerja baru, perjanjian investasi pun ditanda tangani. Namun alih-alih kesejahteraan rakyat meningkat, yang ada malah bangkrut. Dengan nilai tanam modal dari AS mencapai US$ 480,1 juta yang ditanam di 1024 proyek jauh sebelum Covid menyerang, (katadata.co.id, 11/9/2020).
Faktanya, justru angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia terus meningkat. BPS mencatat total penganggur sebelum Corona tepatnya per Februari 2020 adalah 6,88 juta orang. Dipastikan setelah pandemi naik lagi. Kini tembus di angka lebih dari 10 juta orang. (tirto.id, 3/8/2020)
Andai pun ada pihak yang untung dari penggelontoran dana tersebut, bisa dipastikan hanya segelintir orang yang notabene kalangan pengusaha maupun korporat raksasa. Tampak jelas, kapitalisme nyatanya gagal mengantarkan rakyat hidup sejahtera. Sumber Daya Alam berlimpah yang dimiliki Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya di dunia idealnya jadi potensi untuk memakmurkan segenap rakyat. Tetapi justru dijadikan bancakan alias hidangan makan bersama oleh negara-negara kapitalis yang didominasi Amerika. Otomatis dalam menentukan strategi politik dalam dan luar negeri pun tentu akan berkiblat pada kepentingan para kapitalis tersebut.
Untuk itu ke depan, bisa diprediksi kebijakan AS tak akan banyak berubah dengan terpilihnya Joe Biden yang simpatik. Selama ideologinya tetap seperti yang dulu.
Alangkah berbeda kondisinya di masa Islam diterapkan kaffah. Negara akan
berasaskan akidah Islam dan bukannya sekularisme seperti yang ada pada kapitalisme. Seperti yang pernah berlaku sejak wafatnya Rasulullah saw., di masa khulafaurrasyidin hingga kekhilafahan Utsmaniyyah.
Dalam menyusun strategi politik luar negerinya, Islam mewajibkan negara bertumpu pada dakwah dan jihad. Bukan untuk mencari kekayaan melainkan semata meraih keridhoan Allah swt. Selain itu negara akan sekuatnya mengupayakan kemandirian penuh atas dirinya sendiri tanpa sudi didikte asing. Sehingga pada gilirannya negara dapat maju dan berdiri sejajar bahkan lebih tinggi di atas negara lain baik di level bilateral, regional maupun multilateral.
Penting untuk dicatat bahwa tidak pernah terekam dalam sejarah bukti ketundukan khalifah terhadap pihak lain. Sebagaimana negeri ini dikendalikan baik oleh para pemilik modal hingga negara kapitalis seperti Amerika.
Apa yang dilakukan khalifah semata agar umat tetap dalam kemuliaannya sebagai umat yang terbaik. Dengan tak menyelisihi firman Allah swt,
“….dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (An-Nisaa’ ayat 141)
Adapun kesejahteraan, maka negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang bebas dari penjajahan dan penjarahan asing. Seluruh potensi kekayaan alam yang meruah dikembalikan pada pemilik aslinya, yaitu rakyat. Disaat yang sama negara wajib mengelolanya demi kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Bukan malah diobral pada korporat kapitalis asing.
Alhasil umat muslim akan kembali hidup sejahtera dan mulia. Bebas dari segala tekanan, intimidasi, kemelaratan serta penghinaan. Keberkahan pun tercurah sebagaimana janji Allah swt.,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al A’raaf: 96).
Views: 3
Comment here