Penulis : Yuliana Hazalni (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Melalui Badan Hukum Pangan Nasional (Bapanas), pemerintah menetapkan secara permanen relaksasi Harga Ecer Tertinggi (HET) beras yang akan berlaku 31 mei 2024. Adapun HET beras premium yang untuk sementara diberlakukan pada delapan wilayah diantaranya, wilayah Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi, Kalimantan, dan terakhir Maluku. Adapan di Sumatera Selatan, pemberlakukan relaksasi HET beras premium mencapai Rp14.900 per kilogram dari HET sebelumnya Rp13.900 per kilogram. Harga tersebut tidak tidak sama tergantung dari masing-masing wilayah (kontan.co.id, 20/3/2024).
Selain menaikkan HET beras, pemerintah juga sebelumnya menaikkan HPP gabah kering Panen (GPK) ditingkat petani sebesar Rp6.000 per kilogram, dari harga sebelumnya Rp5.000 per kilogram. Sementara gabah kering giling di gudang perum Bulog ditetapkan menjadi Rp7.400 per kilogram dari sebelumnya Rp6.300 per kilogram (Bisnis.com, 24/5/24). Meski cenderung meningkat, hal ini tidak lantas mengurangi beban para petani.
Bagi masyarakat Indonesia, beras merupakan makanan pokok yang wajib tersedia di rumah, baik kaya maupun miskin, dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Kenaikan harga beras yang kian melambung tinggi bersamaan tuntutan kebutuhan komoditas lainnya turut naik, ditambah krisis ekonomi, banyaknya pengangguran dan tingginya angka kemiskinan membuat rakyat makin menjerit.
Adapun penyebab kenaikan harga beras yaitu stok beras yang terbatas karena produktivitas pangan cenderung menurun. Adanya alih fungsi lahan secara besar-besaran yang disulap menjadi lahan pemukiman atau industri membuat luas lahan pertanian semakin berkurang. Ditambah adanya kebijakan pengurangan subsidi pada pupuk, benih, menyebabkan ongkos produksi makin mahal. Sementara itu, kenaikan harga jual gabah tidak sebanding dengan naiknya harga beras. Hal ini makin membuat para petani kehilangan semangat untuk meningkatkan produksi pangan. Mereka lebih banyak menjual lahan karena pemasukan dari lahan pertanian tersebut tidak lagi menjanjikan.
Sejatinya, kenaikan harga beras yang terjadi di setiap tahunnya, bukanlah sekedar persoalan dari tataran regulasi teknis, melainkan adalah dampak dari penerapan sistem politik kapitalisme liberalisme. Sistem yang diadopsi dari Barat ini memisahkan aturan agama dalam urusan politik. Kebijakan yang di ambil berasaskan pada keuntungan materi. Berbagai kebijakan yang ditetapkan dianggap tidak pro rakyat. Kalau pun ada bantuan sosial, penyalurannya pun dilakukan tidak secara adil dan merata, bahkan tidak memenuhi kebutuhan yang layak.
Dalam sistem kapitalisme, peran negara beralih fungsi menjadi pebisnis bukan sebagai pengurus rakyat. Kenaikan harga barang menjadi bukti pemerintah cenderung berlepas tangan dari kewajiban mengurusi rakyat. Walhasil, pengadaan kebutuhan pokok rakyat diambil alih oleh pengusaha besar yang mengejar keuntungan pribadi.
Penguasaan terhadap rantai penjualan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi kerap menimbulkan praktek oligopoli yang membuka celah untuk melakukan kartel. Adapun, penegakan sanksi yang lemah membuat para pelaku kejahatan pangan makin marak beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak memberi efek jera dan cenderung tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, sementara para kartel dan mafia kelas atas sangat sulit di berantas.
Selama negara tidak menerapkan aturan Islam dalam politik pangan, maka dominasi kapitalisme akan terus terjadi di negeri ini. Rakyat akan makin berada dalam kehidupan yang sempit. Allah ta’alla berfirman, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Allah akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Taha: 124).
Pandangan Islam
Di dalam Islam, segala kebijakan dan hukum harus terikat dengan standar syariat Islam. Dengan dorongan iman, pemerintah akan memahami bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Islam memiliki cara untuk mengoptimalkan pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan rakyat dapat terpenuhi secara merata. Selain mengupayakan ketersediaan, negara juga akan memastikan distribusi beras berada dalam kendali negara bukan pengusaha, sehingga stok pangan tetap tersedia di pasaran dengan harga yang mudah dijangkau masyarakat.
Islam melarang adanya praktek penimbunan barang dan monopoli harga. Apabila ada yang melanggar, negara akan menindak tegas mafia pangan tersebut. Dengan begitu, stabilitas harga pangan akan terus terjaga. Di sektor pangan, negara akan mendukung penuh para petani, dengan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Beberapa hal teknis yang bisa dilakukan adalah pembukaan lahan baru, menghidupkan tanah mati, serta meningkatkan teknologi budidaya untuk para petani, seperti alat-alat canggih, benih unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya.
Demikianlah, politik Islam dalam mengatur ketahanan dan stabilitas pangan. Maka, untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut negara harus kembali menerapkan sistem Islam. Asas dasar kepemimpinan dan pengurusan rakyat berlandaskan Al-Quran dan Sunnah. Maka, secara otomatis akan melahirkan pemimpin yang amanah, bertanggung jawab terhadap rakyatnya, sehingga negara mampu mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan tanpa bergantung pada korporasi.
Views: 18
Comment here