Opini

Hilirisasi Berbuah Korupsi, Negara Jadi Merugi

blank
Bagikan di media sosialmu

Pembukaan perusahaan smelter nikel ini ternyata juga tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri. Pekerja dari Cina mereka datangkan dan diberikan gaji yang besar. Sehingga pengangguran di negeri semakin bertambah banyak.

Oleh : Azizah S.Pd (Pemerhati Kebijakan Publik)

wacana-edukasi.com, OPINI– Sampai saat ini pihak Kejaksaan Agung telah menetapkan sepuluh orang tersangka yang berasal dari PT Antam, PT Lawu Agung Mining, PT Kabaena Kromit Pratama dan Kementerian ESDM. Dari sepuluh tersangka tersebut, empat diantaranya adalah pejabat Kementerian ESDM yaitu eks Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin, Sub Koordinator RKAB berinisial HJ, Kepala Geologi Kementerian ESDM berinisial SM, serta EVT selaku evaluator RKAB. Ketut Sumedana Juru bicara Kejaksaan Agung mengatakan, bahwa Ridwan berperan memimpin rapat terbatas pada tanggal 14 Desember 2021. Rapat digelar dalam rangka menyederhanakan persyaratan dokumen RKAB untuk perusahaan pertambangan.
Kasus ini berawal ketika PT Antam dan Perumda Sultra menyetujui adanya KSO. Kemudian Perumda menunjuk dua KSO (Kerja Sama Operasi). Lalu, sebelas perusahaan ditunjuk oleh KSO. Ketika penjualan ore nikel, pihak penambang tidak menjualnya ke PT Antam malah di jual ke smelter yang lain dengan memakai dokumen terbang milik PT KKP dan PT Lawu. Padahal jika ore nikel itu dijual ke PT Antam,maka hasil penjualannya masuk sebagai pendapatan BUMN tersebut. Karena kasus tersebut maka sebagian kecil saja uang penjualan itu masuk ke PT Antam dan sebagian besarnya masuk ke pihak lain.

Indonesia Pemilik Tambang Nikel Terbesar

Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia. United States Geological Survey (USGS) AS pada tahun 2021 merilis data bahwa produksi nikel Indonesia mencapai angka sejuta metrik ton sehingga 37,04% nikel dunia berada di Indonesia. Sedangkan cadangan nikel yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia sebanyak 90%(sindonews.com, 22/04/2022).

Sayangnya, mayoritas perusahaan tambang nikel dikuasai oleh asing. Misalnya, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang menguasai 50% produksi hilir nikel. Perusahaan milik Indonesia sendiri hanya menguasai kurang dari 30%. PT INCO hanya mampu menguasai 22% dan PT ANTAM 7%. Artinya, perusahaan Cina hampir 70% menguasai penambangan nikel.

Seiring dengan perkembangan mobil listrik secara global, sebagai penghasil terbesar bahan baku baterai (nikel), mestinya Indonesia bisa menjadi pemain utama. Sayangnya, hal ini hanya mimpi belaka, karena asinglah yang semakin mengeksploitasi SDA kita.
Demikian juga penguasaan tambang nikel di tanah air yang terus bergeser turun, PT ANTAM, misalnya, pada 2014 menguasai 19% tambang nikel, pada 2021 menyusut menjadi hanya 7%, sedangkan penguasaan perusahaan asing semakin membesar.

Hilirisasi Membuat Rugi

Menyadari betapa besar prospek tambang nikel ini maka pemerintah membuat kebijakan hilirisasi.Hilirisasi diharapkan akan menambah pendapatan negara. Benarkah demikian?
Pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020. Pemerintah juga melakukan pelarangan ekspor bijih bauksit pada 10 Juni 2023. Hal ini berdasarkan UU 3/2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Sayangnya hilirisasi ini jauh panggang dari api. Kenyataannya, target kebijakan itu bagaikan mimpi. Keuntungan yang diinginkan tidaklah tercapai, padahal kebijakan itu sudah berjalan hampir tiga tahunan.

Sebenarnya pihak yang mendapatkan untung justru para investor, yaitu Cina sebagai penanam modal yang mendirikan perusahaan smelter di Indonesia. Cina mendapat untung besar dari bisnis ini. Tidak perlu keluar banyak biaya untuk mendapatkan bijih nikel. Perusahaan yang dekat dengan wilayah tambang juga akan mengurangi ongkos transportasi.
Investor Cina memang cerdik, mereka tidak perlu membuka tambang nikel dan mengurus perizinan. Cukup dengan membeli bijih nikel dari penambang lokal dengan harga yang murah, mereka akan terbebas dari beberapa kewajiban.
Sebenarnya penjualan nikel setengah jadi ini tidaklah memberi dampak pendapatan yang tinggi karena harga nikel akan sangat tinggi bila dijual dalam bentuk sudah jadi. Perusahaan Cina mengelola bahan setengah jadi itu di negaranya sehingga merekalah yang nantinya mendapat untung yang berkali lipat.

Pembukaan perusahaan smelter nikel ini ternyata juga tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri. Pekerja dari Cina mereka datangkan dan diberikan gaji yang besar. Sehingga pengangguran di negeri semakin bertambah banyak.

Keuntungan yang diharapkan pihak Indonesia saat ini tidaklah ada. Pasalnya, perusahaan-perusahaan smelter tadi mendapatkan “fasilitas wah” dari pemerintah. Berupa bebas bayar bea masuk, bebas bayar royalti, tax holiday, bebas PPN, bebas pajak ekspor, serta bebas bayar PPH-21 dan iuran izin tinggal terbatas juga dana kompensasi penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA Cina menggunakan visa kunjungan 211.
Selain menguntungkan pihak asing,kasus korupsi juga mewarnai tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara.Kasus ini telah menyeret sejumlah pengusaha hingga pejabat negara, ini menunjukkan masih terbukanya celah kongkalikong seputar tambang .Semakin jelas bahwa tata kelola industri nikel di negeri ini makin semrawut.

Melky Nahar selaku Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) meminta pemerintah untuk mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di Indonesia.
Kasus Mandiodo menurut Melky hanyalah puncak gunung es yang sudah lama terjadi, namun tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas. Harusnya kasus Mandiodo ini menjadi pintu masuk untuk mengusut praktik korupsi serupa di sektor tambang nikel.

Solusi Hakiki

Sejatinya, SDA adalah harta kepemilikan umum. Peran negara hanyalah mengelolanya kemudian dikembalikan pada pemiliknya yakni rakyat. Sangat tidak pantas negara mengambil keuntungan walau hanya sedikit, apalagi ada pejabat yang mengorupsinya. Hal ini bukanlah menyalahi amanah pengelolaan itu sendiri, namun sungguh telah mengkhianati rakyat.

Barang tambang tidaklah boleh dimiliki/dikelola atas nama individu, apalagi oleh oligarki maupun swasta lokal/asing. Negara hanya diperkenankan mengelola tambang untuk dikembalikan dalam kemanfaatan yang besar bagi rakyat, bukan melalui prinsip bisnis demi keuntungan semata. Peran negara semata-mata demi menjalankan mandat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Berdasarkan hadis ini berarti Islam menutup ruang bagi adanya privatisasi tambang, maupun SDA lain yang semuanya berstatus kepemilikan sebagai umum. Para pejabat tulus mengurusi urusan umat, bukan untuk kemanfaatan diri sendiri. Harusnya mereka sadar bahwa menjabat adalah memegang amanah besar dan akan dimintai pertanggung jawaban di Akhirat kelak.

Selain itu, hukuman bagi koruptor dalam sistem sekuler juga tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Bahkan, hukumannya berpeluang untuk dikompromikan demi mengurangi masa hukuman, bahkan bisa juga pelakunya bebas dari jerat hukum. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi dalam Islam.
Islam tegas dalam memberantas korupsi. Ini tentu tidak lepas dari sifat sistem sanksi dalam Islam yang berfungsi sebagai jawazir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah dari melakukan tindak kriminal yang sama, dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum akan dapat menebus dosanya. Demikianlah pemberantasan korupsi yang di dalam Islam. Semua itu telah terbukti efektif pada saat hukum Islam diterapkan secara sempurna.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here