Opini

Hilirisasi Nikel : Reindustrialisasi atau Deindusrialisasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Alfiah, S.Si.

wacana-edukasi.com, OPINI– Kebijakan hilirisasi nikel yang digencarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak disorot. Pasalnya nilai tambah yang diklaim didapatkan Indonesia dari kebijakan hilirisasi nyatanya hanya ilusi. Hilirisasi nikel justru hanya menguntungkan China.

Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Senior Faisal Basri dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Menurutnya kebijakan hilirisasi nikel sangat ugal-ugalan dan hanya mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia. Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur nyatanya terus menurun.

Peranan sektor manufaktur dalam satu dasawarsa ternyata turun dari 21,1% pada 2014 menjadi 18,3% pada 2022. Bahkan, peranan sektor manufaktur berada di titik terendah sejak 33 tahun terakhir. Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional . Produk smelter dalam bentuk besi dan baja tidak semuanya bisa langsung dipakai di dalam negeri. Misalnya untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau kecil sekalipun (Laporan Indef 2023).

Faisal Basri juga mengungkapkan bahwa hampir separuh ekspor produk turunan nikel besi dan baja berkode HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Produk-produk itu kebanyakan tidak diolah lebih lanjut di dalam negeri, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

Ditambah lagi sejauh ini tidak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products seperti yang sering dikatakan pemerintah. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.
.
Faisal Basri menilai nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%. Pasalnya, hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air. Belum lagi, hampir 100% modal berasal dari perbankan China, dengan begitu pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.

Fakta di lapangan juga menunjukkan banyak pekerja smelter nikel yang bukan tenaga ahli. Bahkan, di antaranya ada juru masak, satpam, tenaga statistik, hingga sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Belum lagi gaji yang dibayarkan kepada pekerja China antara Rp 17-54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$ 100 per pekerja per bulan.

Hilirisasi nyatanya hanya mendukung industrialisasi di China. Apalagi nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena perusahaan smelter China membeli bijih nikel dengan harga super murah. Nilai tambah yangll dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.

Sebelumnya, Presiden Jokowi membantah pernyataan Faisal Basri soal hilirisasi nikel yang hanya menguntungkan China. Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar, Jokowi pun mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal dalam menyatakan hilirisasi menguntungkan China dan ngeara lain.

Presiden memberikan contoh, misalnya nikel saat diekspor mentahan dalam setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Menurutnya, angka tersebut saja sudah jelas dimana negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel. Karena dari situ negara akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Namun lagi-lagi pernyataan Jokowi dibantah Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri. Ia membeberkan bahwa keuntungan yang diklaim oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dari hasil hilirisasi nikel di Indonesia senilai Rp510 triliun nyatanya bukan milik Indonesia. Faisal mengatakan bahwa sebesar 90% hasil hilirisasi nikel dalam negeri justru lari ke China sedangkan Indonesia hanya mendapatkan 10%. Hal itu dijelaskan oleh Faisal lantaran perusahaan hilirisasi nikel yang berdiri di Indonesia sebagian besar merupakan perusahaan China.
Mudahnya perusahaan asing mengelola kekayaan alam dalam negeri dan mengeruknya untuk diekspor ke luar negeri jelas merugikan rakyat dan haram hukumnya di dalam Islam. Nikel adalah termasuk bahan tambang yang diqiyaskan(dianalogikan) dengan api sesuai hadist Rasulullah SAW. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Kaum muslimin bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, padang dan api”. (HR Abu Dawud)

Maksud hadist tersebut bahwa air (termasuk sungai, danau, laut), padang (Padang rumput, hutan), api (tambang) adalah milik umum (rakyat). Individu atau negara tidak boleh memilikinya. Namun negara boleh mengelolanya yang hasilnya diserahkan untuk kemaslahatan umat, seperti membangun jalan, rumah sakit, sekolah dan fasilitas umum lain.

Realitas hari ini banyak kekayaan milik rakyat yang justru dikelola oleh perusahaan swasta bahkan asing. Negara justru hanya bertindak sebagai pemberi stempel legalitas terhadap pengerukan kekayaan alam yang hanya menguntungkan korporat. Tidak ada strategi jitu dari pemerintah untuk mewujudkan industri pro rakyat yang mampu menjadikan negeri ini berdaya

Yang terjadi kini bukan industrialisasi tetapi hilirisasi. Negara yang memiliki kebijakan industrialisasi yang jelas akan mampu meningkatkan perekonomian dari sisi strukur industri lokal serta meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Sementara, hilirisasi yang berjalan kini untuk nikel misalnya nyatanya bukan diolah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi. Kebijakan hilirisasi jelas harus dikoreksi karena negara tidak mendapatkan banyak (hasilnya).

Hilirisasi justru mengakibatkan deindustrialisasi bukan industrialisasi. Akibat dari deindustrialisasi yang dialami negeri ini, yang terjadi sektor jasa justru lebih mendominasi. Padahal dengan potensi alam yang luar biasa, Indonesia harusnya bisa menjadi negara industri, atau negara agraris. Namun ternyata lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa.

Hasil Kajian Tengah Tahun Indef juga mengungkapkan deindustrialisasi telah menjadi fenomena yang tak bisa ditutupi di Indonesia. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan saat ini hanya 18,25 persen. Apalagi peranan sektor industri pengolahan semakin menyusut dari waktu ke waktu. Ini menandakan terjadinya fenomena deindustrialisasi di Indonesia.

Seharusnya negara mendorong industrialisasi yang pro rakyat sehingga dapat membuat negeri ini berdaya saing dan mampu mengembangkan budaya industri, tidak sekedar membangun pabrik. Industrialisasi pun dapat memperbanyak porsi pekerja formal, membangun kelas menengah yang mumpuni, mempercepat transformasi perekonomian, serta mengurangi ketimpangan berbagai dimensi.

Kebijakan hilirisasi jelas tak akan berhasil membuat pertumbuhan ekonomi suatu negara mencapai target atau menjadikan suatu negara menjadi negara maju. Sesungguhnya untuk menjadi negara industri yang maju, politik perindustrian harus berpijak pada politik perang.

Dalam sistem Islam, Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik industri berat seperti industri mesin dan peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi, industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan industri ringan;baik industri itu berupa pabrik -pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang berhubungan dengan industri-industri militer.

Dengan demikian negara akan memiliki kontrol atas semua masalah perang dan militer serta jauh dari pengaruh negara lain. Negara harus mendirikan industri-industri yang mendukung persenjataan militer negara. Sehingga negara mampu menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling kuat. Inilah yang pada akhirnya bisa menggentarkan musuh-musuh negara, baik musuh yang nyata maupun musuh laten.

Hilirisasi nikel hari ini hanya akan mendukung industrialisasi China. Sementara deindustrialisasi dan dehumanisasi tenaga kerja dalam negeri justru terjadi di depan mata. Hanya sistem Khilafah yang akan menjadikan Indonesia berdaya dan memiliki politik perindustrian yang jelas. Wallahu a’lam bi ash shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here