Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Kasus HIV/AIDS di kalangan pelajar semakin menjadi perhatian serius, seperti yang terjadi di Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutim telah menegaskan bahwa siswa pengidap HIV tetap berhak mendapatkan pendidikan yang setara tanpa diskriminasi. Namun, di balik komitmen inklusif ini, muncul pertanyaan yang lebih krusial: apakah kita sudah cukup serius dalam mencegah penyebaran HIV, atau justru abai terhadap akar permasalahannya?
Dalam kasus seorang siswa di Kecamatan Muara Ancalong yang mengidap HIV dan anemia aplastik, pihak Disdikbud menegaskan bahwa fokus utama mereka adalah memastikan hak pendidikan tanpa membahas bagaimana anak tersebut tertular. Pernyataan ini menyoroti kecenderungan negara untuk lebih berorientasi pada penanganan dampak dibandingkan dengan pencegahan penyebab. Seolah menormalisasi perzinaan dikalangan remaja dan pelajar.
Liberalisasi pergaulan yang lahir dari sistem kapitalisme sekuler telah membuka celah besar bagi penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja. Pergaulan bebas yang semakin dianggap wajar, kurangnya pengawasan moral, serta eksposur terhadap gaya hidup permisif menjadi faktor utama yang memicu peningkatan kasus ini. Ironisnya, kebijakan negara cenderung hanya fokus pada penyembuhan dan upaya non-stigmatisasi, tanpa menyentuh akar masalah yang berhubungan erat dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja.
Penularan HIV yang umumnya terjadi melalui hubungan seksual di luar pernikahan adalah dampak dari lingkungan sosial yang telah kehilangan pijakan moral yang kuat. Sistem Kapitalistme sekuler memantik gaya hidup hedonis dan pergaulan yang semakin bebas, menjadikan para remaja rentan terhadap perilaku free style. Oleh karena itu, pendekatan komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengobatan, tetapi juga pada pencegahan berbasis moral dan nilai islam, sangat diperlukan. Karena penyebab utama merebaknya perilaku seks bebas adalah pemikiran sekuler liberal itu sendiri.
Dalam perspektif Islam, negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi masyarakat dari berbagai bahaya, termasuk pergaulan bebas. Islam memiliki sistem sosial yang menjaga remaja dari perilaku menyimpang melalui tiga pilar utama:
Pertama, sistem pergaulan Islam. Islam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dengan batasan yang jelas. Larangan terhadap zina, perintah menutup aurat, serta pembinaan akhlak sejak dini adalah langkah preventif yang terbukti efektif dalam membentengi generasi muda dari perilaku menyimpang. Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya jalan untuk pemenuhan kebutuhan biologis.
Kedua, sistem pendidikan berbasis Akidah Islam. Pendidikan dalam Islam berdiri diatas pilar akidah Islam. Dalam kurikulum pendidikan Islam, arah dan tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam yang kuat berdasarkan nilai-nilai tauhid. Sehingga remaja memahami posisinya sebagai hamba Allah SWT dan bagaimana harusnya mereka meletakkan tujuan hidupnya. Remaja diajarkan untuk memahami konsekuensi dari setiap tindakan mereka, termasuk dalam menjaga kehormatan diri.
Ketiga, sanksi hukum yang tegasDalam Islam, ada sanksi tegas bagi perilaku menyimpang seperti zina yang menjadi faktor penyebaran HIV/AIDS. Zina dalam timbangan hukum Islam adalah dosa besar. Perzinaan menimbulkan banyak bencana. Oleh karenanya tepat jika Islam mengharamkan zina. Islam bahkan mengancam pelaku zina dengan sanksi yang keras. Penegakan hukum yang konsisten bukan bertujuan untuk menghukum semata, tetapi juga sebagai bentuk pencegahan yang efektif.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.” (QS. Al-Isra'[17]:32)
Jika pelaku zina adalah ghairu muhshan (belum menikah) maka akan dikenai sanksi jilid seratus kali. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”QS. An-Nur[24]:2
Negara dalam Islam tidak akan hanya diam dan menerima realitas ini sebagai sesuatu yang wajar, melainkan akan menerapkan langkah-langkah preventif yang sistematis. Langkah ini mencakup edukasi berbasis akidah Islam, kontrol sosial yang kuat, serta kebijakan yang mendukung keluarga sebagai benteng utama dalam menjaga generasi dari pengaruh buruk pergaulan bebas.
Jika sistem Islam diterapkan, perilaku seks bebas dapat dihentikan, kasus HIV/AIDS tidak lagi menjadi fenomena gunung es. Islam satu-satunya sistem yang mampu memutus rantai liberalisasi seksual.
Views: 2
Comment here