Oleh: Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)
wacana-edukasi.com– Beberapa waktu lalu tagar #SAVENOVIAWIDYASARI sempat tranding di jagad maya. Hal itu dilandasi dari berita memilukan yang menimpa mahasiswi Malang Novia Widyasari yang mati bunuh diri di dekat makam ayahnya lantaran diduga mengalami tekanan mental atau depresi setelah dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya.
Hal itu sebagaimana dikutip dari Okezone.com (5/12/2021), Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo mengungkapkan bahwa mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Novia Widyasari telah melakukan aborsi sebanyak dua kali hingga akhirnya nekat melakukan bunuh diri. Hal itu terungkap setelah pihaknya melakukan pemeriksaan kepada mantan kekasihnya yang merupakan oknum polisi yang bertugas di Polres Pasuruan.
Slamet menerangkan, keduanya melakukan hubungan layaknya suami istri yang terjadi mulai tahun 2020 hingga 2021, yang dilakukan di wilayah Malang di kos maupun hotel. “Selain itu ditemukan juga bukti lain bahwa korban selama pacaran, yang terhitung mulai bulan Oktober 2019 sampai bulan Desember 2021 melalukan tindakan aborsi bersama yang mana dilakukan pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021,” kata Slamet.
Melihat peristiwa ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga turut angkat bicara. Dikutip dari DetikNews.com (5/12/2021) MenPPPA, Bintang Puspayoga menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Ia menerangkan kekerasan dalam berpacaran dapat menimbulkan penderitaan secara fisik maupun seksual.
Atas kasus tersebut, Bripda Randy Bagus selaku tersangka akan dijerat sesuai pasal 348 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara. Selain itu, secara internal Ia juga akan dijerat dengan Pasal 7 dan 11, Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik.
Amat disayangkan memang, seorang mahasiswi yang harusnya menjadi harapan bangsa dalam menciptakan suatu perubahan, malah terjebak dengan kesenangan semu hingga berakhir dengan tragis. Seorang petugas keamanan yang harusnya menciptakan kedamaianpun justru dirinya sendirilah yang menciptakan permasalahan tersebut.
Tak heran jika kasus ini mengundang banyak perhatian dari masyarakat. Desakan agar pelaku dijerat hukum yang tegaspun akhirnya ramai bermunculan.
Sayangnya dalam menanggapi kejadian seperti ini masyarakat hanya melihat dari sudut pandang permukaan saja. Desakan yang dilakukan oleh masyarakat beserta beberapa kalangan elit politik hanya berfokus pada pemberian sanksi tegas pada pelaku dan memberikan pembelaan penuh terhadap pihak perempuan yang disebut sebagai korban.
Padahal sejatinya, tak ada asap jika tidak ada api, tidak ada akibat jika tak ada sebab. Maka tentu peristiwa malang yang dialami oleh mahasiswi Malang tersebut tak mungkin terjadi jika tidak diawali oleh hubungan terlarang yang dilakukkannya bersama pacarnya. Sehingga, untuk menuntaskan peristiwa semacam ini, perlu penyelesaian dari akar persoalan bukan dari permukaannya saja.
Mengungkap Akar Permasalahan
Pada dasarnya fenomena pacaran adalah hal lumrah yang banyak terjadi di zaman sekarang. Pacaran dipandang sebagai hal yang umum dilakukan bahkan menjadi tren di kalangan anak muda khususnya. Hal inilah yang menjadi sebab awal terjadinya hubungan terlarang yang dilakukan Noviawidyasari bersama pacarnya hingga berujung pada tindakan bunuh diri.
Memang benar, Akhir dari sebuah aktivitas pacaran tidak selamanya berujung pada aktivitas perzinahan, tetapi perzinahan sebagian besar diawali dengan aktivitas pacaran.
Pacaran sendiri merupakan life style Barat yang diadopsi oleh kebanyakan pemuda saat ini. Liberalisme (paham kebebasan) memang telah lekat dalam gaya hidup Barat. Kebebasan dipandang sebagai hak asasi bagi setiap manusia. Akibatnya, bergaul atau berhubungan dengan siapa saja dipandang sebagai hal yang biasa.
Nahasnya, karena negeri ini juga mengemban paham sekularisme yang berarti memisahkan peran agama dari kehidupan. Budaya bebas dari Barat tersebut menjadi sangat mudah masuk dan meracuni pemikiran dan gaya hidup pemuda-pemuda di negeri ini.
Dalam paham sekularisme, agama dipandang sebagai aktivitas kerohanian belaka. Hubungan manusia dengan sang pencipta terbatas pada tempat-tempat ibadah saja. Sedangkan dalam kehidupan umumnya, agama tak boleh ikut campur. Alhasil, yang menjadi standar kehidupan bukan diukur berdasarkan halal/haram dalam agama, tetapi berdasar pada kesenangan jasmaniyah.
Aktivitas pacaran atau perbuatan zina yang telah jelas keharamannya dalam agama Islam berusaha diframingkan sebagai hal yang boleh selama dalam aktivitas tersebut terdapat persetujuan dari kedua belah pihak yang terlibat. Dan baru akan dikenai sanksi jika mengandung kekerasan atau pemaksaan. Hal tersebut dapat dianalisa dari Permendikbud 30/2021 yang saat ini tengah dicanangkan oleh Pemerintah.
Maka telah diketahui jelas bahwa sejatinya akar permasalahan dari kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh Noviawidyasari tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai buah dari pengapdosian paham liberalisme dari barat serta paham sekularisme yang menjadi asas perbuatan yang diemban oleh negara saat ini.
Saatnya Mencabut Akar Permasalahan
Telah jelas bahwa liberalisme dan sekularisme memang menjadi biang keladi dari permasalahan yang menimpa Noviawidyasari serta permasalahan-permasalahan lainnya.
Untuk itu, pemberlakuan undang-undang perlindungan terhadap perempuan yang berpotensi justru melegalkan perzinahan bukanlah solusi fundamental atas permasalahan yang banyak menimpa kaum perempuan hari ini.
Tetapi, membutuhkan perubahan sistem kehidupan dengan berlandaskan pada akidah (mabda) yang shahih yang telah terjamin kesempurnaannya. Sistem tersebut tiada lain adalah sistem yang berlandaskan pada mabda Islam.
Dalam Islam segala bentuk perzinahan serta segala yang mendekatinya adalah hal yang telah pasti keharamannya meski itu dilandasi suka sama suka sekalipun. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT. “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan mungkar.” (QS. Al-Isra: 32)
Meski begitu Islam juga tidak mengharamkan perasaan suka antar sesama lawan jenis. Sebab manusia memiliki potensi berupa naluri meneruskan keturunan (gharisah nau’) yang telah ada sejak manusia lahir.
Hanya saja dalam bentuk pemenuhannya, Islam menetapkan standar yang telah ditetapkan yaitu dengan jalan pernikahan. Jika belum mampu menikah, Islam juga telah menetapkan solusi agar manusia tidak terjerumus dalam tindakan maksiat seperti pacaran dan perzinahan.
Solusi tersebut terdapat dalam dua bentuk upaya yaitu upaya preventif (pencegahan) dan kuratif (penyelesaian).
Dalam upaya preventif, setiap individu akan ditanamkan ketakwaan kepada Allah SWT. melalui sistem pendidikan yang berlandaskan pada akidah Islam. Disamping itu, berbagai tayangan-tayangan yang dapat memancing syahwat akan dihapuskan. Termasuk segala bentuk pornografi maupun pornoaksi. Setiap muslimah juga diwajibkan menutup auratnya secara syar’i sehingga kemuliaannya dapat terjaga dan terhindar dari berbagai bentuk pelecehan.
Adapun dalam bentuk upaya kuratif, Islam telah menetapkan sanksi tegas yang diberlakulan bagi pelaku zina. Yaitu cambuk 100 kali bagi ghairu muhson (perempuan dan laki-laki yang belum menikah) dan rajam hingga mati bagi pelaku muhson yaitu perempuan dan laki-laki yang telah menikah.
Dengan upaya solutif seperti ini tentu kejadian malang yang dialami oleh mahasiswi Malang, Noviawidyasari tidak akan terjadi dan tidak akan berulang pada perempuan-perempuan lainnya. Namun, penerapan sistem solutif ini hanya dapat tert erapkan jika diwadahi oleh sebuah institusi negara yang disebut sebagai Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam Bisshawab
Views: 18
Comment here