Oleh : Nurlela
wacana-edukasi.com– Kasus korupsi di negeri ini kian menghawatirkan. Sepanjang tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan para pejabat kepala daerah yang meliputi Gubernur, walikota dan Bupati, mulai dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan, mantan Bupati Nganjuk, mantan Bupati Probolinggo, mantan Bupati Banyuasin, dan masih banyak lagi para pejabat pemerintah yang terjerat kasus korupsi. (Suara.com, 25/12/2021)
Korupsi adalah permasalahan yang dihadapi hampir seluruh negara di dunia ini. Korupsi merupakan tindakan yang tidak hanya merugikan negara namun juga membawa kesengsaraan kepada masyarakat. Lembaga swadaya masyarakat anti korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), menyebutkan kerugian negara akibat tindakan korupsi pada semester 1 tahun 2020 sebesar Rp 18,137 triliun, sementara di semester 1 tahun 2021 kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp 26,83 triliun, artinya terjadi kenaikan kerugian negara akibat tindakan korupsi sebesar 46,7 persen dalam waktu tidak lebih dari satu tahun. (Tempo.com, 14/09/2021)
Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi tindak pidana korupsi di negeri ini. Namun sepertinya upaya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah pelaku korupsi dan kasusnya pun terus bermunculan bak jamur di musim hujan, semakin banyak bahkan fenomena ini tidak lagi menjadi kasuistik melainkan dilakukan secara sistematis dan berkelompok, dan pelakunya melibatkan para pejabat pemerintah.
Adalah wajar apabila upaya pemberantasan korupsi dalam sistem kapitalisme demokrasi terus mengalami kegagalan. Tertangkapnya para pejabat pemerintah dalam kasus korupsi semakin menunjukkan penerapan sistem kapitalisme demokrasi menjadi biang keladi atas segala permasalahan yang mendera bangsa ini termasuk korupsi. Kapitalisme dengan asasnya pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) telah menafikan peran agama dari kehidupan dan juga dari pemerintahan. agama hanya dipahami sebatas ibadah ritual semata menyebabkan hilangnya nilai-nilai ketakwaan pada diri pejabat pemerintah.
Tidak hanya itu sistem demokrasi yang mahal nyata-nyata mendorong para pejabat pemerintah melakukan tindakan korupsi. Tidak dipungkiri jalan menuju kursi kekuasaan membutuhkan dana yang relatif tinggi. Tingginya biaya yang diperlukan untuk ongkos ‘berkompetisi’ menjadikan para penguasa dan pengusaha saling bekerjasama, melakukan huhubungan yang saling menguntungkan. Penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu, sementara pengusaha memerlukan kekuasaan untuk ajang bisnis. Pada akhirnya kursi kekuasaan hanya dijadikan sarana untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan. Selain itu penerapan hukum yang terkesan berbelit-belit, tebang pilih, dan tidak memberikan efek jera menjadikan tindakan korupsi terus berulang dan terus mengalami peningkatan.
Alhasil selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, maka pemberantasan korupsi akan terus menemui jalan buntu, dan berbagai upaya yang di lakukan pun akan terus mengalami kegagalan. Karenanya diperlukan sistem lain yang mampu memberantas korupsi hingga ke akarnya. Sistem tersebut adalah sistem Islam.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan khianat. Khianat tidak sama dengan perbuatan mengambil harta orang lain (mencuri), melainkan tindakan menggelapkan harta yang diamanahkan kepadanya. Karena itu sanksi untuk perbuatan khianat tidak sama seperti mencuri yang diberikan sanksi potong tangan. Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan penghianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.”
(HR Abu Dawud)
Perbuatan khianat didalam Islam termasuk perbuatan yang diberikan sanksi ta’zir yakni sanksi yang kadar dan jenisnya ditentukan oleh Khalifah atau Qadhi sesuai dengan berat ringannya tindakan korupsi yang dilakukan. Mulai dari yang paling ringan seperti sekedar nasehat atau teguran, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman di media cetak, cambuk, hingga pemberian sanksi yang berat yakni hukuman mati.
Selain itu Islam memiliki mekanisme tersendiri untuk mencegah tindakan korupsi diantaranya :
Pertama, perekrutan sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi pejabat pemerintah bukan berdasarkan koneksi atau nepotisme, melainkan berdasarkan profesionalitas dan integritas. Kedua, negara akan melakukan pembinaan kepada seluruh pegawai pemerintah. Ketiga, negara akan memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada setiap pejabat pemerintah. Keempat, Islam melarang tindakan menerima suap dan hadiah bagi para pejabat pemerintah.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji maka apa yang diambil di luar itu adalah harta yang curang.”
(HR Abu Daud)
Dan sabda Rasulullah :
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah Suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.”
(HR Ahmad)
Kelima, sistem Islam akan melakukan audit untuk memeriksa kekayaan para pejabat pemerintah mulai dari awal jabatan hingga akhir masa jabatannya. Keenam, negara dan masyarakat akan senantiasa mengawasi dan melakukan koreksi para pejabat pemerintah dalam menjalankan jabatannya.
Inilah mekanisme Islam dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi. Penerapan Islam yang Kaffah akan membentuk ketaqwaan dalam diri masyarakat termasuk para pejabat pemerintah, mereka akan memahami bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Penerapan sanksi yang tegas bagi para pelaku kemaksiatan, akan mencegah terjadinya tindakan korupsi.
Karena itu sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem kapitalis demokrasi yang jelas jelas menjadi sebab utama segala permasalahan yang mendera bangsa ini termasuk maraknya tindakan korupsi, dan menerapkan Islam secara Kaffah dalam bingkai Khilafah.
Wallahu’alam
Views: 61
Comment here