Opini

Hukum Mandul bagi Penista Agama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurhayati, S.S.T.

wacana-edukasi.com– Lagi, penistaan agama kembali terjadi. Bak jamur yang tumbuh subur dimusim hujan, penista agama selalu bermunculan dalam setiap kesempatan. Parahnya penista agama ini selalu muncul dengan wajah-wajah baru.

Tidak diketahui motif apa yang mendasari penistaan tersebut. Seolah sila pertama dalam Pancasila yang memberikan posisi pertama dalam menghargai Tuhan tidak lagi diindahkan. Buktinya, adalah begitu banyak yang menista agama namun tak berujung mendapat sanksi yang tegas agar kejadian tidak lagi berulang.

Sempat viral baru-baru ini M. Kace tersangka penistaan agama dalam video yang beredar dalam kanal youtubenya, M Kace mengatakan ada 5 poin yang diklaim menghina Islam diantaranya, Nabi Muhammad adalah pengikut jin, Kitab Kuning menyesatkan, mengganti salam dengan “Assalamualaikum warrahmatuyesus wabarakatuh”, mengajak untuk meninggalkan ajaran Nabi Muhammad SAW, dan juga mengatakan ajaran Nabi Muhammad sebagai ajaran mitos. Video yang diunggah pada 25 Juli 2020 itulah yang menyeretnya masuk bui dengan dugaan pelanggaran UU ITE Pasal 156a KUHP (jurnalmedan.pikiran-rakyat.com, 25/8/2021).

Juga yang video yang sempat viral, para santri menutup telinga saat mendengarkan musik, dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Akhirnya santri berujung dicap radikal. Sungguh standar radikal sebenarnya ditetapkan dari aspek apa. Definisinya dan standarnya masih abu-abu alias belum ada patokan yang jelas. Imbasnya cap radikal selalu disematkan kepada orang yang taat dan patuh kepada syariat Islam. Benarkah demikian? Atau hanya sebagai alibi, bentuk ungkapan kebencian kepada Islam itu sendiri.

Penistaan Agama Akan Terus Terjadi

Kasus perendahan terhadap ajaran Islam dan pengembannya akan terus terjadi dan sanksi yang diberikan pada pelaku penistaan dipandang publik tak cukup memberi dampak efektif. Sebab sanksi yang diberikan tidak tegas berimbas tidak adanya efek jera.

Absennya agama dalam memberlakukan hukuman tegas bagi para pelaku penista menampakkan akan kegagalan negara dalam menjaga agama. Sehingga agama dianggap sebagai kepentingan yang sifatnya hanya menyentuh ranah pribadi sehingga negara tidak memposisikan dirinya sebagai penjaga kehormatan beragama bagi rakyatnya.

Kasus penistaan agama akan terus berulang dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan melahirkan hukum yang hanya meredam kegaduhan publik, bukan memberi solusi tuntas. Kasus penganiayaan M. Kace bisa jadi sebagai bentuk kemarahan publik akan sikapnya. Dan sikap ini tidaklah akan menjadikan solusi untuk kasus berikut. Sifatnya hanya sementara dan kita membutuhkan hukum yang memberikan sanksi yang serius terhadap penistaan. Begitulah sistem sekuler yang menjamin kebebasan berpendapat sehingga setiap manusia sekalipun bereskpresi dan berpendapat bisa saja melanggar nilai-nilai moral beragama.

Hukum Bagi Penista Agama

Berbeda dengan sistem Islam, khalifah atau pemimpin kaum Muslimin akan mengambil sikap tegas dalam menghukum para penista agama. Tidak ada ruang kompromi atau bahkan bersikap lentur kepada para penista tidak peduli berasal dari kalangan mana. Mulai dari kalangan pemegang kekuasaan ataupun kalangan masyarakat biasa. Ini dilakukan sebagai bentuk menjaga kehormatan agama (hifzul ad-diin). Penistaan agama tidak akan terus berulang jika Islam dijadikan sebagai asas negara dan aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

Bagi yang menghina Nabi secara tidak sengaja atau langsung baik hanya lelucon atau meremehkan maka hukumannya adalah dihukum mati. Berbeda halnya dengan mereka yang dipaksa melakukan penghinaan tapi hatinya tetap beriman maka mereka lepas dari hukuman.

Jika pelakunya orang kafir harby (membenci Islam dan memerangi Islam) bukan hanya terkena hukum bagi penghina Nabi namun lebih dari itu harus ditegakkan hukum perang (jihad), negara Islam harus mengumumkan perang kepada kafir harby penghina Rasulullah saw.

Jika pelakunya kafir dzimmi (kafir yang hidup dalam negara Islam) maka ditegakkan hukum mati karena atas mereka sudah tidak ada lagi dzimah (perlindungan) jadi mereka dibunuh karena kekafiran mereka apalagi status dzimah tidak menghalangi ditegakkannya hadd atas mereka.

Jika pelakunya muslim maka mereka juga dijatuhi hukuman mati, namun para ulama berbeda pendapat apakah karena pelanggaran atas hadd atau karena kukufuran atau murtad. Jika termasuk salah satu pelanggaran hudud Allah maka pertaubatannya tidak diterima (pendapat Malilkiyyah). Namum jika dihukumi murtad (riddah) maka diberlakukannya dihukum mati berbagai murtad dan pertaubatannya diterima (pendapat Syafiiyyah).

Walhasil, Islam akan mulia dan tidak akan seorang pun yang berani menistanya. Dan semua ini akan terwujud apabila hukum Allah Swt ditegakkan dimuka bumi ini di bawah naungan daulah khilafah sesuai dengan manhaj kenabian Rasulullah Muhammad saw. Wallahu a’lam bish shawab[].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 51

Comment here