Oleh Nurmilati
wacana-edukasi.com– Serapat-rapatnya dan sepintar apapun seseorang menyimpan kebohongan, suatu saat Allah yang akan bertindak memperlihatkannya. Kalimat tersebut mungkin sangat tepat diungkapkan untuk kasus yang sempat menghebohkan Tanah Air beberapa bulan terakhir ini.
Ya, kasus rudapaksa yang dilakukan seorang pengampu salah satu boarding school di Bandung, Jawa Barat sejak 2016 hingga 2021 terhadap 13 santriwatinya mencuat kepermukaan ketika sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung pada 7 Desember 2021 lalu. Atas perbuatan kejinya, Herry Wirawan dituntut hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Asep N. Mulyana. “Ini adalah sebagai bentuk komitmen kami untuk memberikan efek jera bagi pelaku,” Tirto.id (13/1/2022).
Selain vonis hukuman mati, pelaku juga dituntut untuk membayar denda Rp500 juta, membayar biaya _restitusi_ kepada para korban Rp331juta, dan sanksi non-material berupa penyebarluasan identitas, dan hukuman kebiri kimia.
Tak ayal, tuntutan Kejati pun menuai polemik, ada yang setuju sekaligus mendukung, harapannya vonis tersebut dapat memberi efek jera bagi pelaku. Namun, ada pula yang menolak dengan dalih kemanusiaan. Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto, berharap hakim menyetujui tuntutan jaksa, dan jaksa patut dipresiasi, sebab tuntutannya dinilai seiring sejalan dengan keinginan masyarakat yang mengutuk keras tindakan bejad tersebut.
Sementara itu, Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual, seperti pada kasus ini, tidak selaras dengan Pasal 67 KUHP. “Apabila seseorang dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim,”. Maka dari itu, jika sudah pidana mati atau penjara seumur hidup, tidak diperbolehkan lagi pidana tambahan lainnya. Hal senada disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi berpendapat, hukuman mati maupun kebiri kimia tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Oleh karena itu, pelaku harus direhabilitasi supaya mampu merubah cara pandang terhadap wanita dan membangun kesadaran bahwa tindakannya merugikan korban dan dirinya. Tirto.id (12/1/2022).
Pernyataan Komnas HAM yang tidak menyetujui hukuman mati terhadap Herry Wirawan, dikritisi oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid. Ia juga menyayangkan sikap pihak lain yang bersikeras agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan untuk melindungi korbannya, tetapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelakunya. HNW juga mengingatkan mereka agar konsisten dengan menghormati dan melaksanakan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NKRI 1945. Sehingga, praktik hukum merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bukan yang berlaku di negara lain. “Sanksi hukuman mati diakui dalam sistem hukum di Indonesia melalui UU Perlindungan Anak yang dikuatkan Presiden Joko Widodo dengan Perpu yang menjadi UU Perlindungan Anak,”.
Tren Kenaikan dan Merajalelanya Kekerasan Seksual
Berbagai permasalahan yang terjadi di negeri ini selama pandemi Covid-19 merebak, kekerasan seksual terhadap anak salah satu di antaranya. Mirisnya, kasus ini mengalami tren kenaikan signifikan. Dalam kurun waktu 2019-2021 KemenPPPA melaporkan, pada 2019 terjadi kekerasan pada anak sebanyak 11.057, di tahun 2020 ada 11.279 kasus, dan hingga November 2021 terdapat 12.566 kasus. Dari data yang dihimpun, kekerasan seksual adalah yang paling banyak terjadi, yaitu sebesar 45 persen, jauh lebih besar ketimbang kekerasan psikis 19 persen, dan fisik 18 persen.
Dilansir dari Suara.com (19/1/2022)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyebut, sepanjang 2021 terjadi 14.517 kekerasan anak dan hampir setengahnya merupakan kekerasan seksual.
Selain itu, kekerasan seksual pun kian merajalela dan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri, bahkan tempat yang dianggap aman sekalipun seperti sekolah, pesantren, tempat olahraga, tempat beribadah, perguruan tinggi, dan banyak lagi. Korbannya pun dari berbagai kalangan, mulai dari siswa sekolah, santriwati, mahasiswi, karyawan di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, istri tahanan, hingga difabel tak luput menjadi korbannya. Sedangkan pelakunya, rerata orang terdekat, sebut saja bapak kandung atau tiri, kakek, paman, sepupu, kakak, dan orang lain yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Bisa dibayangkan bagaimana buruknya dampak psikologis yang harus ditanggung para korban. Sungguh, memprihatinkan.
Polemik Hukuman Mati
Adanya fenomena tersebut, tak lepas dari sistem demokrasi, sekularisme, liberalisme yang digunakan negara, di mana ideologi tersebut adalah hasil pemikiran manusia bukan ideologi yang berasal dari Allah SWT. Sehingga, urusan negara dan masyarakat pun diatur berdasarkan undang-undang buatan manusia, sementara manusia adalah makhluk lemah dan mempunyai keterbatasan dalam mengatur hidupnya. Maka, lemah dan terbatas pula dalam mengambil keputusan, termasuk menentukan hukum dalam kejahatan berat. Dengan demikian, jika hukum sudah diserahkan kepada manusia, tentu tidak akan pernah diperoleh keadilan, Sebab sejatinya aturan manusia bertentangan dengan hukum Allah Azza wa Jalla.
Padahal, sudah begitu terang benderang bahwa hukum yang dibuat manusia tidak pernah memberikan penyelesaian dengan tuntas, dan memberi efek jera bagi para pelakunya. Sehingga beragam kejahatan, baik yang ringan maupun berat, seperti kasus kekerasan seksual terhadap anak selalu berulang, sulit diberantas, bahkan tiap tahun terus mengalami tren kenaikan kasus.
Setali tiga uang dengan tuntutan mati pelaku rudapaksa, tuntutan hukuman mati pun dijatuhkan terhadap Heru Hidayat atas kasus ASABRI. Namun, Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashari Wicaksana menilai, hukuman tersebut tidak relevan lantaran tidak memberikan efek jera pada pelakunya. Sedangkan yang dirugikan atas perbuatannya adalah negara. Sehingga, hukuman mati tidak akan menyelesaikan masalah. Jawa pos (16/1/2022).
Dengan demikian bisa disimpulkan, pemberlakuan hukuman mati terhadap tindak kejahatan berat seperti kekerasan seksual dan korupsi, telah menunjukkan bahwa hukum dalam demokrasi tidak mampu menyolusi permasalahan negara maupun rakyat. Selain itu, demokrasi juga tidak mampu menghadirkan lingkungan aman bagi tempat tinggal manusia.
Hukum Kejahatan Berat dalam Islam
Dalam Islam, pelaku rudapaksa dihukum seperti berzina. Apabila keduanya sudah pernah menikah, hukumannya adalah rajam, sedangkan jika keduanya belum pernah menikah, maka hukumannya 100 kali cambuk dan diasingkan selama satu tahun. Demikian pula sanksi bagi pelaku tindak korupsi, Islam memberikan hukuman berat baginya. Sebab dalam pandangan Islam, korupsi merupakan perbuatan yang sangatu tercela, bahkan tergolong dosa besar karena termasuk ke dalam kategori pengkhianatan terhadap amanat umat. Sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam Islam, sanksi kepada koruptor adalah ta’zir yakni jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksinya mulai dari yang ringan, seperti ditegur dan dinasehati, sampai sanksi berat yaitu hukuman mati sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Islam Solusi Tuntas
Maka dari itu, dengan diberlakukannya hukuman mati, tentu dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku dan peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Walhasil,
beragam kejahatan berat, termasuk kekerasan seksual dan korupsi dapat diberantas hingga tuntas. Akan tetapi, hukuman mati yang diserukan dalam Al-Qur’an, hanya bisa direalisasikan dalam sebuah negara yang menerapkan hukum Islam sebagai aturan dalam bernegara dan mengurus rakyatnya, yakni institusi Daulah Khilafah Islamiyyah.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ideologi yang benar-benar mampu memberikan keadilan, keamanan, dan ketentraman bagi manusia, kecuali ideologi Islam. Sebab sistem Islam selaras dengan keyakinan manusia yang mampu menjaga ketenangan hidupnya selama di dunia.
Wallahu a’lam bishshowwab.
Views: 14
Comment here