Opini

Hutan Lindung Tak Terlindungi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nur Khalifah (Komunitas Smart Muslimah Ketapang)

Wacana-edukasi.com, OPINI— Kondisi hutan di negeri Zamrud Khatulistiwa sedang memprihatinkan. Hutan yang seharusnya dijaga dan menjadi tempat tinggalnya para makhluk hidup, kini justru dirusak oleh manusia. Mirisnya, kian hari kian marak, manusia tamak mengubah eksistensi dan fungsi hutan sekehendak hatinya. Seperti mengubah hutan lindung menjadi lahan untuk mengambil keuntungan. Mulai dari perubahan hutan lindung, ditanami sawit oleh oknum, hingga maraknya PETI terkhusus di Ketapang Kalimantan Barat.

Mengutip dari jurnalborneo.com pada 22/08/2024, seluas 121 hektar hutan lindung Gunung Tarak Ketapang ditanami serta diperjualbelikan oleh oknum. Tak cukup sampai disitu ternyata, aktivitas PETI juga marak di lokasi hutan lindung, yang menandakan kondisi lingkungan sedang tidak baik-baik saja. Berdasarkan analisis SIAR, pada tahun 2000 tutupan hutan di Kalimantan Barat seluas 13.021.344 hektar. Sedangkan, pada tahun 2022 angka tutupan hutan tersisa 4.930.717 hektar. Hal ini menandakan dalam waktu 22 tahun, Kalimantan Barat kehilangan tutupan hutan sebanyak 8.090.627 (siar.or.id). Salah satu akibatnya adalah maraknya tren deforestasi di wilayah Kalimantan Barat.

Untuk aktivitas PETI, ironisnya tidak ada indikasi masalah tersebut akan dituntaskan oleh negara. Sudah banyak sekali lembaga yang menyerukan solusi untuk mengatasi masalah ini. Sangat disayangkan ketika hutan yang harusnya di lindungi, tapi malah dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan berbuat tanpa memikirkan dampak yang sangat besar yang ditimbulkan. Ditambah negara seakan acuh dengan keadaan ini.

Semua fakta ini berpangkal pada penerapan sistem kapitalisme yang sudah rusak dari akarnya. Penguasa dalam kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator, yaitu pembuat regulasi, lalu hilang dan lepas tangan dengan urusan itu. Yang paling miris adalah regulasi yang mereka tetapkan memihak para penguasa dan para oligarki, bukan pada rakyat. Membuat kebijakan yang memihak para pemilik modal. PETI adalah masalah yang harus segera diatasi karna ini menyangkut dengan kehidupan umat manusia yang akan dirasakan pada generasi selanjutnya.

Pengelolaan dalam sistem kapitalisme sangat tumpang tindih. Bagi para penguasanya, yang penting dapat untung meski rakyatnya buntung. Penguasa dan pemilik modal yang memiliki kekuasaan, para kapitalis melakukan berbagai cara untuk memuaskan segala nafsunya. Pertanyaannya sampai kapan rakyat akan terus selalu terzalimi? Apakah tidak cukup sadar atas segala hal yang telah terjadi? Ini membuktikan bobroknya sistem kapitalisme dalam menyejahterakan rakyat!

Peneliti Malaysia, Abdul Basir Mohamad, dalam suatu makalah di Asian Journal of Environment, History, and Heritage yang terbit pada 2018, mengungkapkan bahwa konsep dan amalan hima sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Kemudian, Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam memperbaiki konsepnya.

Nabi shallahu alaihi wa sallam menyebut dalam haditsnya : “Tidak ada hima dibenarkan, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.” Abdul berpendapat, hadits ini masih menjelaskan bahwa hima sebagai konservasi. Masih punya konsep yang sama, yakni suatu lingkungan alam tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan perseorangan.

“(Hima) tanah milik umum untuk kepentingan nasional harus dikukuhkan dan disebut sebagai milik umum,” Abdul berpendapat. “Hal ini untuk memastikan bahwa kawasan penting tetap terjaga dan lingkungan sekitarnya terlindungi, sekaligus menjamin keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia dan habitat lainnya.”

Allah sang khaliq menciptakan hutan untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia. Bukan hanya segelintir saja. Di dalam Islam, hutan sendiri adalah fasilitas yang Allah berikan untuk dimiliki umum/ seluruh umat manusia, bukan hanya untuk oligarki.

Islam memposisikan hutan sebagaimana sabda Rasulullah shallahu alahi wa sallam : “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal, yakni air, padang gembalaan dan api” (HR. Ahmad).

Hadits diatas memang tidak menyebutkan secara spesifik, tapi maknanya mencangkup kekayaan sumber daya alam, termasuk hutan di dalamnya. Islam mengatur hutan tidak boleh di kelola oleh individu manusia, tapi wajib di serahkan kepada Negara. Bukan untuk oligarki, hingga hasil dari pengeloaannya dikembalikan kepada kemashalatan umat sebagai pemiliknya. Negara juga di larang memberikan kebijakan dan wewenang pengelolaan kepada invidu dan swasta untuk kepentingan pribadi segelintir orang, ini haram hukumnya di dalam Islam.

Negara dalam naungan khilafah Islamiyyah akan menjaga kelestarian hutan dengan baik, khilafah akan memproteksikan hutan sehingga terkategori sebagai kepemilikan Negara yang tidak boleh ada yang mengambil hasil yang ada di dalam hutan. Agar tidak ada yang semena-mena dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan dan kebutuhan pribadi, hal ini juga agar menjaga kelestarian ekosistem yang ada di dalam hutan.

Tidak hanya itu, khilafah juga akan bertindak tegas, jika ada individu atau perusahaan yang ketahuan melakukan perusakan dan memanfaatkan hutan demi kepentingan pribadi. Khilafah akan memberikan sanksi dengan tegas dan memberikan efek jera bagi para pelaku bahkan kepada oknum-oknum aparat yang terbukti dengan jelas memberikan akses pada perusakan dan pemanfaatan hutan tersebut.

Begitulah Islam menjaga hutan dengan menerapkan aturan sesuai Al-Qur’an dan As-sunnah, bukan aturan yang menuruti hawa nafsu semata. Hanya dengan Islam sumber daya alam, ekosistem hutan tetap terjaga kelestariannya.

Wallahu Alam Bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here