Oleh : Ari Nurainun , SE. (Pemerhati Kebijakan ekonomi dan Politik)
wacana-edukasi.com– Pandemi kini telah memasuki tahun kedua. Ketidakpastian ekonomi masih membayangi negeri. Namun hal itu tidak lantas menyurutkan tekad pemerintahan Jokowi untuk melanjutkan mega proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Saat ini, pembangunan ibu kota baru sedang dalam tahap pembangunan infrastruktur. Karena menurut Jokowi, pembangunan IKN harus didahului infrastruktur. Infrastruktur sangat dibutuhkan untuk mempermudah mobilisasi logistik.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengungkapkan pembangunan Ibu Kota Negara tidak akan terjadi pada waktu singkat. Berdasarkan Masterplan yang dibuat oleh Bappenas, dibutuhkan waktu 15-20 tahun. Dan pasti membutuhkan anggaran yang besar. Hal ini sudah tertuang dalam lampiran Perpres Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2022. Bahwa Alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk Pembangunan IKN sebesar Rp 510, 79 Triliun
Di tengah tekanan finansial, keputusan untuk tetap melanjutkan proyek ambisius ini tentu saja memancing reaksi dari berbagai kalangan. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Emil Salim, mempertanyakan sikap pemerintah yang merencanakan aggaran besar untuk proyek ini. Seolah pemerintah tidak dibelit persoalan keuangan. Padahal kondisi keuangan negara sedang mengalami tekanan. Ambisi Pemerintah mengeluarkan anggaran besar untuk IKN justru semakin mempersulit pengelolaan keuangan negara.
Sementara itu pengamat Ekonomi INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menilai untuk saat ini seharusnya pemerintah fokus pada pemulihan ekonomi. Agar ekonomi negara kembali optimal. Hal yang sama juga diungkapkan Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama. Ia mengingatkan pemerintah, bahwa angka yang diperkirakan dalam rangka membangun IKN berpotensi untuk melonjak berkali-kali lipat dari prediksi awal. Terlebih saat ini kondisi perekonomian Indonesia belum stabil akibat dampak pendemi Covid-19.
Minim Fulus
Pemerintah menyiapkan empat skema pembiayaan untuk membangun Ibu Kota Baru yang berasal dari empat sumber yaitu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni. Berdasarkan data Bappenas, sumber pembiayaan paling banyak dilakukan melalui skema KPBU. Dari total estimasi ongkos pemindahan Ibu Kota Negara sebesar Rp 466 Triliun, sebanyak Rp 340 Triliun di antaranya direncanakan ditutup dari skema KPBU. Adapun dana yang tersedia di APBN Rp 30,6 Triliun. Sementara dana yang ada di swasta diestimasikan mencapai 95 triliun.
Dengan kebutuhan dana yang rencananya ditutup dengan skema KPBU, publik berhak khawatir. Pasalnya, KPBU sama artinya dengan PPP. Kependekan dari Public Private Partnership. Artinya KPBU adalah bentuk perjanjian antara sektor Private atau pemerintah dangan sektor private alias swasta. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk menekan biaya pembangunan infrastruktur dari APBN. Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu menambah utang untuk membangun infrastruktur.
Dalam public private partenership, pemerintah maupun swasta berbagi tanggung jawab dalam proyek pembangunan yang disepakati. Pihak pemerintah sebagai perencana pembangunan, sedangkan pihak swasta sebagai penyedia dana juga berhak mengelola infrastruktur tersebut dalam jangka waktu yang telah disepakati. Sehingga penggunaan skema pembiayaan KPBU atau PPP ini mengalihkan pengelolaan barang milik negara ke tangan swasta.
Inilah buah pemikiran liberalis. Sejak awal, konsep tata kelola pemerintah selalu diarahkan pada komersialiasi kebutuhan publik. Meningkatkan efisiesi operasional , maknanya adalah melimpahkan beban opresional kepada rakyat. Alias ada uang, ada layanan. Sehingga wajar, pembangunan infrastruktur tidak berpengaruh pada kesejahteraaan dan kemudahan akses bagi masyarakat. Apalagi di tengah buruknya pandemi. Pembangunan mega proyek IKN hanyalah ambisi penguasa tanpa mengindahkan kondisi masyarakat.
Mengapa dana yang ada tidak maksimal digunakan untuk menangani pandemi? Mengapa rakyat dipaksa berjibaku dengan kesulitan ekonomi? Yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan harian saja, sudah begitu beratnya. Dimana nurani penguasa?
Dan jika penguasa tak punya dana untuk membangun IKN, mengapa harus memaksakan diri. Rakyat lebih memerlukan uluran tangan penguasa untuk kebutuhan menyambung hidup. Bukan istana dan bangunan megah lain yang hanya sedap dipadang mata.
Sebuah Pelajaran
Islam tidak anti modernitas. Keberadaan infrasturktur yang menunjang kegiatan ekonomi dan memudahkan mobilitas tentu sangat memudahkan kehidupan kita hari ini. Sebagaimana dulu, pada zaman keemasan Islam. Sultan Abdul Hamid II membangun rel kereta Api hijaz. Hejaz Railway ini membentang sejauh 1320 km dari damaskus ke madinah, dengan jalur cabang ke Haifa di laut mediterania. Infrastruktur ini selain bertujuan membangun hubungan antara Istambul , Ibu kota Kesultanan Ustmaniyah dan pusat sejarah kekhilahfahan Islam pertama di arab, juga bertujuan memudahkan jamaah haji dan umroh.
Hejaz Railway diperkirakan menelan biaya 4 juta lira Turki. Pada saat itu, porsi anggaran ini cukup besar. Namun semuanya murni tanpa investasi asing. Bankasi Zirat , bank negara yang melayani kepentingan pertanian di Negara Ustmani, memberikan pinjaman awal 100.000 lira pada tahun 1900. Inilah modal awal pembangunan proyek yang berlangsung di tahun yang sama. Kemudian Sultan Abdul Hamid II meminta kepada seluruh kaum Muslim di dunia untuk ikut berpatrisipasi. Dan ternyata sambutan umat sangat luar biasa. Sejarah mencatat, salah satu penyumbang terbesar proyek ini adalah Editor Surat Kabar punjabi yang kaya raya, bernama Muhammad Inshaullah. Hejaz Railway bukan proyek transportasi semata, melainkan sarat dengan inspirasi dan spirit agama.
Kesanalah semestinya kaum muslim berpijak dan berkiblat. Menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi. Menjadikan sejarah panjang Umat islam sebagai spirit dalam membangun umat dan negara ini. Bukan terjerat pada ambisi sehingga terjebak pada hutang yang merugikan anak negeri.
Wallahu’alam bi showab.
Views: 36
Comment here