Oleh: Nana Juwita, S.Si
Wacana-edukasi.com, OPINI–Korupsi sudah semakin menjadi-jadi di negeri ini, korupsi sudah seperti penyakit yang kronis, tidak lagi bisa diobati. Bahkan, adanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), merupakan salah satu lembaga yang berfungsi menangani kasus pidana korupsi di Indonesia, ternyata tidak mampu menghilangkan budaya korupsi. Karena sekularisme memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk melakukan korupsi.
Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan pada forum internasional World Governments Summit 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab, yang dihadiri secara virtual, pada Kamis (13/2/2025) bahwa tingkat korupsi di Indonesia mengkhawatirkan. Ia menegaskan bakal membasmi koruptor yang merugikan negara (kompas.com/read/13/02/25).
Apa yang disampaikan oleh Presiden RI tersebut menunjukkan bahwa negara belum mampu membasmi kasus korupsi di negeri ini, karena masalah korupsi seperti sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Sistem kapitalisme sekuler memberikan peluang yang besar terjadinya kasus korupsi secara sistematik, pada berbagai bidang dan level jabatan serta para kapital yang mendapat proyek dari negara.
Sistem demokrasi membuka peluang bagi para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat, sehingga siapa pun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal. Hal ini dikarenakan politik demokrasi yang meniscayakan uang sebagai satu-satunya cara untuk dapat menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Hubungan mutualisme pun terjadi antara pemilik modal dengan penguasa yang pada akhirnya pemimpin, pejabat dan wakil rakyat membuat aturan yang akan makin menguntungkan pemilik modal.
Akhirnya negara lemah dihadapan oligarki. Rakyat pun jadi korban.
Belum hilang diingatan rakyat Indonesia tentang skandal PT Timah yang merugikan negara Rp 271 triliun belum pun tuntas, kini muncul kasus di Pertamina dengan kerugian mencapai Rp 193,7 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk kerugian yang harus ditanggung masyarakat pengguna BBM jenis Pertamax yang dimanipulasi. Kasus-kasus ini menegaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan (nasional.kompas.com, 2025/02/26).
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2023 tercatat bahwa dari 1.649 putusan perkara korupsi dengan 1.718 terdakwa, mayoritas hanya dijerat Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukuman minimum untuk Pasal 2 hanya 4 tahun penjara, sedangkan Pasal 3 lebih ringan lagi, yaitu 1 tahun. ICW bahkan mengategorikan hukuman ini sangat ringan jika di bawah 4 tahun, sedang jika 4–10 tahun, dan berat di atas 10 tahun. Sebagai contoh, dalam kasus korupsi PT Timah, salah satu pelaku utama awalnya hanya divonis 6,5 tahun, sebelum akhirnya diperberat menjadi 20 tahun di tingkat banding. Namun, dengan ancaman hukuman yang ringan, korupsi menjadi kejahatan yang berisiko rendah, tetapi memiliki keuntungan luar biasa besar. Bahkan jika tertangkap, seorang koruptor tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman.
Adapun faktor utama penyebab manusia melakukan korupsi adalah pengaruh yang kuat dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme yang menganggap bahwa kebahagiaan adalah ketika manusia memiliki materi/kekayaan yang berlimpah, tanpa mempertimbangkan lagi halal dan haram. Sehingga manusia yang hidup di bawah tuntunan kapitalisme sekuler menjadi manusia yang lupa akan hari akhir di mana manusia akan mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya. Sistem yang sekuler ini membuat manusia tidak takut dengan semua itu. Kapitalisme sekularisme juga gagal membentuk manusia-manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun berhasil menghasilkan manusia yang serakah dan tamak hanya mementingkan urusan dunia semata.
Selain itu penerapan hukum yang tidak menjerakan bagi para pelaku korupsi juga semakin memberikan peluang bagi orang lain untuk melakukan hal tersebut, lemahnya pengawasan bagi para pejabat ataupun mereka yang berstatus sebagai abdi negara memberikan celah bagi para pelaku koruptor. Lemahnya integritas pemimpin dengan budaya permisif makin membuat korupsi tumbuh subur di negeri ini.
Berbeda dengan Islam yang memiliki mekanisme tersendiri dalam hal mencegah lahirnya para koruptor. Islam akan memastikan terciptanya manusia-manusia yang takwa dengan sistem pendidikan yang menghasilkan manusia yang memiliki kepribadian Islam. Setiap pejabat negara akan di audit secara ketat tentang harta yang dimilikinya, sehingga jika ada kelebihan harta yang tidak wajar maka negara akan segera memastikan dari mana sumber harta kekayaan yang di dapat. Hal ini membuat peluang terjadi kasus korupsi di dalam sistem Islam sangat kecil, atau bahkan tidak ada. Karena setiap individu telah dijamin kesejahteraannya oleh negara dengan gaji yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.
Terkait pelaku korupsi yang telah terbukti bersalah maka negara akan memberikan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu. Berupa potong tangan, dibunuh, atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang, atau diasingkan ke negeri lain dan dipenjara di sana. dalam hal ini Negara lah yang memiliki hak untuk menerapkan sanksi tersebut dan di bantu oleh para Qodhi yang akan menangani kasus korupsi yang terjadi, sehingga mampu memberikan efek jera bagi masyarakat.
Oleh karena itu harus ada upaya perubahan terhadap regulasi yang ada, selama sekularisme kapitalisme masih dijadikan sebagai satu-satunya asas dalam mengatur persoalan korupsi, maka korupsi akan terus terjadi. Masihkan umat dan penguasa negeri ini berharap pada kapitalisme sekuler, yang terbukti gagal menghapus budaya korupsi di negeri ini? [WE/IK].
Views: 9
Comment here