Oleh: Ummu Kahfi
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Isu mafia peradilan, kini menjadi buah bibir ditengah masyarakat. Terungkapnya kasus dugaan suap dalam penanganan perkara Ronald Tannur terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, menjadi penguat akan keresahan masyarakat terhadap menjamurnya mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman. Parahnya, keresahan ini semakin menguat dengan tertangkapnya eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, dengan temuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di rumahnya.
Tertangkapnya eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, telah menyadarkan masyarakat tentang minimnya integritas sistem peradilan di Indonesia. Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar, memberikan dukungan penuh terhadap operasi tangkap tangan (OTT) kepada tiga hakim yang terlibat dalam kasus penyuapan. Termasuk eks pejabat MA, Zarof Ricar. Dia menilai dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung, dimana telah diamankan uang tunai hingga Rp20 miliar, termasuk segepok lembaran uang dolar AS dalam bungkusan yang dilabeli ‘untuk kasasi’. Menjadikan temuan tersebut, sebagai barang bukti atas praktik korupsi yang telah mencoreng pondasi hukum di tanah air. (www.hukumonline.com, 29/10).
Jaksa Agung ST Burhanuddin telah mengakui bahwa, masih ada jaksa-jaksa yang nakal di lembaganya. Namun demikian, ia menegaskan jumlah tersebut mengalami penurunan setelah dilakukan langkah bersih-bersih di Kejaksaan. Ia menyatakan bahwa upaya bersih-bersih tersebut telah dimulai sejak lima tahun lalu, saat ia baru bergabung dengan kabinet pemerintahan. Ia juga menegaskan akan pentingnya integritas seorang pemimpin dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih. Menurutnya, seorang pemimpin yang bersih, maka bawahannya tidak akan melakukan hal yang tercela. Sebaliknya, jika pemimpinnya korup, maka bawahannya pun akan menjadi korup.(www.nasional.kompas.com,07/11).
Demokrasi adalah Sistem Kufur yang Rusak dan Merusak
Berharap pada demokrasi untuk menuntaskan mafia peradilan, bak mimpi disiang bolong. Berharap akan lahirnya orang-orang yang memiliki integritas dan salih secara kepribadian dalam sistem demokrasi, hampir-hampir menjadi sebuah ilusi yang sangat sulit untuk diwujudkan. Mengingat bahwa kehadiran demokrasi-lah, yang justru menjadi akar masalah dari buruknya penerapan sistem peradilan di negeri ini.
Demokrasi adalah sistem kufur. Ia adalah sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demkorasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Demokrasi adalah sistem kufur, sebab demokrasi berasal dari ideologi Kapitalisme yang berakidah sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Dengan sebuah pandangan bahwa manusialah yang berhak membuat aturan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu. rakyat adalah sumber kekuasaan, dan rakyatlah yang membuat sistem-sistemnya.
Demokrasi adalah sistem kufur yang rusak dan merusak. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, tentang fakta menjamurnya mafia peradilan dan lingkaran setan atas kasus korupsi, tak bisa dilepaskan dari sistem yang diterapkan kini hari. Semakin bertambahnya pelaku tindakan nakal para hakim, menunjukan rusaknya sistem demokrasi hingga bisa merusak orang-orang yang ada didalamnya. Hakim yang seharusnya berpegang pada prinsip integritas diri untuk menegakkan keadilan, kini telah menjelma menjadi hakim-hakim penjilat penerima suap dari para pelaku kriminal. Sungguh, demokrasi telah benar-benar merusak hati nurani para hakim.
Islam Solusi
Mafia peradilan sesungguhnya hanya bisa diberantas dengan Islam. Alasan kuatnya antara lain:
Pertama, Islam mewajibkan adanya iman dan takwa sebagai integritas bagi aparat penegak hukum. Integritas aparat penegak hukum dalam bertugas menjadi penentu, status keberadaan mereka kelak di surga atau di neraka.
Abu Buraidah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Hakim itu ada 3 macam: dua di neraka dan satu masuk surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan keputusan dengan benar, ia berada di surga. Seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, maka ia di neraka. Seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, ia pun berada di neraka.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, asas yang kuat bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya agar ia bisa amanah dan adil adalah iman dan takwa. Sebab, penghasilan yang besar atau fasilitas yang mewah bisa kalah oleh suap yang nilainya jauh lebih besar nan menggiurkan. Tanpa iman dan takwa, hakim juga bisa tunduk oleh kekuasaan atau ancaman.
Karenanya, para hakim harus ingat posisi jabatan mereka. Bahwa kedudukan hakim, bukanlah untuk mencari kekayaan, akan tetapi untuk menegakkan hukum Allah SWT. Jabatan yang mereka miliki, justru bisa mengancam dirinya di akhirat kelak, jika ia tidak bisa menegakkan keadilan.
Kedua, para hakim akan diberikan gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka berhak atas fasilitas gaji, rumah, kendaraan bahkan pembantu jika memang dibutuhkan dalam menegakkan hukum Allah. Dengan itu peluang untuk menerima suap dapat terhindarkan.
Ketiga, vonis hakim dalam satu pengadilan, bersifat mutlak. Tidak ada proses naik banding, kasasi, atau Peninjauan Kasus (PK), remisi, grasi, dll. Maka, peluang terjadinya suap atau mafia peradilan semakin berkurang dan dapat diminimalisasi. Allah SWT berfirman:
“Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(TQS. al-Ahzab: 36)
Keempat, Khalifah akan menjatuhkan sanksi keras bagi aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan lainnya yang mendapatkan suap untuk mencurangi keputusan pengadilan. Terlebih, para pelaku suap, sesungguhnya diancam dengan laknat yang sangat keras dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:
“Laknat Allah atas pemberi suap dan penerimanya.”
(HR. Ahmad)
Seperti dahulu yang telah tercatat oleh sejarah, Qadhi Syuraikh memutuskan perkara dengan adil. Karena keadilannya, seorang penguasa sekalipun, seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., kalah dalam sengketa melawan orang Yahudi di pengadilan. Sebab, menurut Qadhi Syuraikh, Khalifah Ali tidak punya saksi dan bukti kuat untuk menuduh orang Yahudi mencuri baju besi miliknya. Walaupun sesungguhnya Qadhi Syuraikh mengetahui, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak mungkin berbohong. Hanya saja, dalam sistem hukum Islam seseorang baru bisa diproses, ketika ia memiliki saksi, bukti dan atau pengakuan dari sang pelaku.
Begitulah potret kehidupan sistem peradilan dalam naungan Islam. Jika kaum Muslim merindukan dan menginginkan pengadilan yang bersih dan mampu menciptakan keadilan hakiki, maka itu hanya ada pada sistem pengadilan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.
Wallahu ‘alam bi shawwab
Views: 2
Comment here