Opini

Ilusi Pemilu Jurdil dalam Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novianti

wacana-edukasi.com, OPINI– Praktik kecurangan selalu menyertai dalam setiap pemilu. Demikian juga pada pemilu tahun ini. Menguar kabar tak sedap adanya aliran dana dari pihak asing kepada beberapa parpol peserta pemilu.

Sebagaimana dirilis kompas.com (10/01/2024), Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik (parpol). Tidak hanya itu, sejumlah Daftar Calon Tetap (DCT) atau calon legislatif (caleg) pun diduga melakukan transaksi mencurigakan dengan total transaksi mencapai Rp 51,47 triliun yang melibatkan 100 DCT.

Angka fantastis bahkan bisa jadi jumlahnya meningkat. Terutama diperkirakan biaya kampanye tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. “Harga nasi pada 2019 dengan 2024, kan, beda,” ujar Habiburokhman ketua umum Partai Gerindra. (kompas.com, 08/12/2023).

-Sikat Saja, Memang Bisa?-
Berbagai kalangan langsung merespon terhadap penemuan PPATK ini. Mahfud MD mengatakan KPK, kepolisian, dan kejaksaan diharapkan segera bertindak jika terbukti ada pelanggaran tersebut. “Kalau memang ada, sikat saja.” tegas Mahfud.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni meminta PPATK melakukan pendalaman lebih lanjut agar tidak memunculkan spekulasi di tengah-tengah publik. Jangan sampai ini menjadi bola panas yang membuat kegaduhan tetapi tanpa penyelesaian.

Demikian pula Bareskrim Polri mengaku akan berkoordinasi dengan PPATK terkait adanya temuan transaksi ini. Sementara KPK menyatakan tidak memiliki wewenang untuk mendalami temuan tersebut tetapi tetap mendorong prinsip keterbukaan dari semua peserta pemilu.

Nampaknya, sulit berharap kasus akan dibawa ke meja hijau apalagi melibatkan parpol dan caleg. Realitasnya di negara ini hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Aturan bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan. Hukum dikangkangi demi kepentingan politik. Terlebih dalam tubuh penegak hukum sendiri memiliki banyak persoalan yang membuat integritas lembaga diragukan.

-Realitas Demokrasi-
Sistem demokrasi memang berbiaya mahal. Hal ini sudah disampaikan para ahli bahkan diakui para politikus. Inilah yang menjadi benang merah mengapa sering terjadi praktik korupsi atau pelanggaran oleh parpol. Sulit dihindari pada akhirnya parpol berselingkuh dengan pihak lain karena memerlukan kucuran dana untuk mendanai biaya pemilu. Tentunya tidak ada makan siang yang gratis.

Padahal, sudah jelas ada larangan bagi parpol menerima sumbangan dana dari sumber lain yang diatur dalam Pasal 339 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dana sumbangan yang tak boleh diterima oleh parpol di antaranya adalah dari pihak luar negeri. Bagi yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi penjara dan denda.

Pihak yang paling memungkinkan bisa memberikan dana dalam jumlah besar adalah para kapital atau kelompok oligarki. Ini berbahaya karena mereka meski jumlahnya kecil, bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah yang dimenangkan oleh calon yang diusungnya.

Apalagi jika bantuan tersebut dari pihak asing. Ini mengancam kedaulatan negara. Pada akhirnya politik transaksional membela yang bayar lah yang menang. Rakyat sebatas dibutuhkan suaranya seolah dianggap penting, padahal semua sudah diatur sedemikian rupa agar kedaulatan tetap pada tangan penguasa dan oligarki.

Nasib rakyat dalam sistem demokrasi sangat mengenaskan. Meski yang didukung jadi pemenang pemilu, tetap harus menerima kebijakan yang merugikan. Terbukti meski banyak masyarakat menolak kebijakan kenaikan BBM, pencabutan subsidi, UU Cipta Kerja, atau UU Kesehatan, pemerintah dan parlemen tetap bergeming dengan kebijakan tersebut.

-Pencalonan Pemimpin dalam Islam-
Islam sudah mengatur tentang pergantian kepemimpinan yang disebut khalifah. Mulai dari syarat, proses pencalonan dan pemilihannya. Sederhana dan tidak berbiaya mahal.

Orang yang dicalonkan sebagai khalifah harus memenuhi syarat in’iqad yaitu muslim, baligh, merdeka, laki-laki, adil, berakal, mampu, dan adil. Jumlah yang dicalonkan maksimal 6 orang dan harus memenuhi syarat in’iqad. Penyeleksian dilakukan oleh mahkamah madzalim. Kemudian ahlul halli wal aqdy atau tokoh-tokoh representatif masyarakat yang menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah. Tidak perlu melibatkan semua masyarakat karena tidak semua orang memiliki kapasitas memilih pemimpin.

Proses dari awal pemilihan sampai akhirnya terpilih seorang khalifah hanya tiga hari. Tidak boleh lebih dari batas yang ditentukan. Karena itu, tidak ada kesempatan bagi calon khalifah melakukan upaya pencitraan, blusukan mengobral janji dari satu panggung ke panggung lainnya. Semua calon sudah memiliki track record dari sisi ketaatan, interaksi dengan masyarakat serta tingkat intelektualitasnya. Bukan karena pandai bernarasi atau joget-joget tetapi minim gagasan.

Fungsi khalifah adalah menerapkan syariat Islam. Setelah terpilih, khalifah memiliki hak prerogratif menentukan para pembantunya seperti para wali yang setingkat gubernur. Tidak perlu pemilihan kepala daerah seperti dalam sistem demokrasi. Tidak otomatis semua pejabat diganti saat pergantian kepemimpinan. Asal mampu melayani rakyat dalam penilaian khalifah, masih bisa memegang amanah

Masa kerja khalifah adalah selama masih bisa melaksanakan tugasnya. Tidak ada ketentuan batasan tahun sehingga bisa fokus bekerja melayani rakyat dan memastikan penerapan seluruh syariat Islam. Sebagai pemimpin seluruh umat Islam tentunya memiliki agenda besar termasuk mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Agenda yang memerlukan persiapan matang dan pengerahan berbagai sumber daya. Tidak bisa dipatok jangka waktu tertentu karena agenda tersebut berkelanjutan dan berkesinambungan.

-Dari Mana Harus Memulai-
Ketika seorang khalifah belum ada di tengah-tengah masyarakat seperti sekarang lantas bagaimana menghadirkannya? Mustahil lewat sistem demokrasi, ibarat kolam kotor penuh dengan kebatilan sejak awal. Sesuai dengan metode Rasulullah, melalui thulabun nushrah. Yaitu penyerahan kekuasaan kepada seorang khalifah harus ada dukungan ahlul quwwah atau kelompok yang memiliki kekuatan.

Berikutnya, sebagai bentuk legitimasi bahwa khalifah sah melalui baiat yang menunjukkan sikap ketaatan rakyat pada pemimpinnya.

Dari Ubadah ibn Shamit, “Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat, baik dalam suka maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah. (HR. Bukhari & Muslim)

-Khatimah-
Kebobrokan demokrasi sudah sangat terang benderang karena dicederai oleh para punggawanya sendiri. Mereka yang berjanji tetapi mereka juga yang melanggar dan mengingkari. Tidak ada harapan perubahan hakiki kecuali rakyat akan terus dikecewakan dan akhirnya hanya bisa gigit jari.

Sudah saatnya kaum muslimin meninggalkan sistem demokrasi dan berjuang untuk menghadirkan khalifah sebagai satu-satunya pemimpin. Tidak hanya kebaikan di dunia tetapi juga meraih kebaikan di akhirat. Perjuangan tidak bisa ditunda karena kekecewaan rakyat sudah bertumpuk sedemikan rupa. Harapan hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam kaffah di bawah kepemimpinan seorang khalifah.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here