Oleh: Ummu Haneem
Jealous
Wacana-edukasi.com — “Alex, thanks a lot. Kajian ekonomi Islamnya begitu spektakuler. Aku baru tahu ternyata telah banyak pengusaha muslim yang menjalankan bisnisnya tanpa riba. Pasti mereka telah melewati hari-hari berat saat hendak berlepas diri dari riba. Keren. Aku akan nulis tentang hal ini. Bagaimana menurutmu, Alex? Bukankah itu sebuah ide yang bagus?”
“…” Hening. Tak ada respons.
“Alex?” Sherly memanggil nama Alex kembali, tetapi lelaki bertubuh tinggi itu belum merespons sama sekali. Sherly menjadi heran karena sang suami yang sedang berdiri di balkon mengacuhkannya. Sedari tadi Alex fokus menatap layar ponselnya. Pikirannya rekreasi entah ke mana. Yang jelas, dia tidak mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh Sherly.
“Kembalikan!” teriak Alex saat Sherly merebut ponsel miliknya.
“Tidak! Aku ingin tahu apa yang sedang kaupikirkan.” Sherly berlari ke dalam kamar dan menatap ponsel tersebut. “Wait! Bukankah ini wanita yang berpapasan dengan kita saat di parkiran? Namanya Andini. Yach, benar Andini. Aku telah berkenalan dengannya. Dia bertanya namaku dan alasan mengapa aku bisa berangkat bareng sama kamu.”
“Kemarikan ponsel itu!” Alex merebut ponselnya kembali.
“Kamu tidurlah! Aku mau ke ruang kerjaku.”
“Siapa dia? Apa hubunganmu dengannya? Sepertinya ada sesuatu yang kausembunyikan dariku. Kenapa kamu jadi salah tingkah seperti itu?” Saat Alex hendak melangkah ke luar kamar, Sherly memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.
“Bukan siapa-siapa, tidurlah!” Alex membuka pintu kamar dan langsung melenggang ke luar.
“Siapa wanita itu? Apakah dia masa lalunya Alex? Wanita itu begitu manis dan lemah lembut. Jika benar dia adalah masa lalu Alex, lalu apa yang menjadi alasan perpisahan mereka? Argh, pusing! Kenapa juga aku harus memikirkannya.” Sherly bergumam seorang diri. Tetiba ada rasa sakit yang menjalar di dadanya.
*
Alex menyibukkan diri di ruang kerjanya. Tiga puluh menit berlalu, tetapi belum ada satu pun kata yang tertulis di layar monitor. Pikirannya kalut. Alex berdiri dan berjalan ke luar ruangan. Dari arah dapur dia mendengarkan sebuah suara. “Oh, mungkin itu suara Bi Ijah. Kebetulan sekali.” gumam Alex. “Bi, tolong buatkan kopi untuk saya,” pinta Alex.
Bukan Bi Ijah. Yang sedang berdiri di dapur itu adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan piyama berwarna biru muda dan rambut tergurai hingga sepinggang. Alex terkesima. Sejak menikahi perempuan itu, baru kali ini dia mendapati pemandangan seindah itu. Saat berbalik, si empunya terkesiap. Tak menyangka Alex akan ke dapur dan mendapatinya dalam keadaan tidak mengenakan hijab.
“Aku harus bagaimana? Kenapa aku seperti maling yang tertangkap basah? Aku jadi salah tingkah. Duh, betapa bodohnya aku! Kenapa juga tadi aku tidak mengenakan hijabku lagi pasca mandi? Aku pikir dia akan berlama-lama di ruang kerjanya,” batin Sherly.
“Kamu mau ke mana?” tanya Alex saat Sherly buru-buru melangkahkan kakinya hendak meninggalkannya.
“Ke kamar,” jawab Sherly singkat, tapi dengan nada sedikit jutek.
“Apakah kamu akan membiarkan suamimu sendirian di dapur? Tidakkah kamu mendengar permintaanku barusan?” Alex memegang lengan kiri Sherly.
“Apa?” Sherly menoleh ke arah Alex.
“Kopi,” jawab Alex singkat.
“Aku yakin pendengaranku masih baik-baik saja. Aku dengar kamu meminta bibi untuk membuatkan kopi.” Sherly melepaskan diri dari tangan Alex. “Atau kaubisa meminta Andini untuk membuatkannya untukmu.” Sherly kemudian berlalu meninggalkan suaminya.
“Baunya harum sekali.” Alex tersenyum. “Yach, sudah nasib. Punya istri manja. Huft, butuh sejuta kesabaran untuk menghadapinya.” Alex menghela nafas.
“Apakah Tuan Muda memanggil saya?” Bi Ijah berlari-lari kecil ke arahnya.
“Oh, iya Bi. Tolong buatkan saya kopi! Tolong, panggilkan Pak Wingky sekalian untuk menemani saya bermain catur di ruang keluarga!”
“B-baik, Tuan,” jawab Bi Ijah. “Ada apa dengan Tuan Muda? Tumben-tumbennya Tuan minta dibuatkan kopi. Apa Tuan sedang banyak pikiran?” Bi Ijah menggelengkan kepalanya. Merasa iba dengan sang majikan.
Beberapa menit kemudian, Alex dan sopir pribadinya telah terlibat dalam permainan yang memeras otak. Mereka berdua begitu asyik dan larut dalam permainan. “Haha … Pak Wingky, Bapak pasti kalah lagi dari saya.”
“Tuan Muda jangan terlalu percaya diri. Kali ini pasti ganti saya yang menang.” Pak Wingky berkelakar. Tak maukalah dengan sang tuan.
“Yes, saya menang, Pak. Bapak kalah.”
“Ya Allah, kalah lagi.” Pak Wingky memegangi sisi kanan-kiri kepalanya dengan kedua tangannya. “Astaghfirllah, sudah jam sebelah malam Tuan. Lebih baik kita segera tidur. Takut bangun kesiangan.”
“Bapak takut saya ajak bermain lagi karena takut kalah lagi?” Alex terkekeh melihat tingkah sopirnya yang lucu.
“Tentu saja bukan Tuan. Saya takut Tuan bangun kesiangan. Bukankah besok jam 8 pagi Tuan Muda ada rapat di kantor?”
“Oh, Pak Wingky benar. Terima kasih sudah mengingatkan jadwal saya.”
“Sama-sama, Tuan.”
“Pak Wingky boleh kembali ke kamar. Saya habiskan kopi saya dulu.”
“Baik, Tuan. Selamat malam.”
“Selamat malam, Pak.” Alex menyesap kopinya yang terhidang di atas meja.
*
Alex memasuki kamarnya. Tidak seperti biasanya. Saat ini kamar itu gelap tanpa pencahayaan. Alex berjalan perlahan menuju ke atas ranjang tempat tidur.
“Kenapa gelap seperti ini?” pikirnya. Alex merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. Kemudian, merubah posisinya menghadap ke tubuh Sherly yang sedang tidur dengan posisi miring pula. “Eh, kenapa dia mengenakan khimarnya lagi? Atau aku salah lihat?” Alex berdiri menghidupkan sakelar.
“Tolong, matikan lampu itu! Aku mau tidur.”
“Kenapa harus dimatikan?”
Sherly tidak menjawab. Dia menaikkan selimutnya kembali.
“Kenapa kamu mengenakan khimar lagi? Sampai kapan kamu tidak akan mengizinkan suamimu ini untuk menikmati rambut indahmu itu?” Alex menghela napas. “Baiklah, perlu sedikit bantuan rupanya. Akan kulakukan. Siapa takut!”
Alex mematikan sakelarnya kembali. Kemudian, berjalan ke tempat tidurnya. Dia sengaja menghempaskan tubuhnya dengan kasar sehingga Sherly terkaget karenanya.
“Kamu?” Sherly bangun dari posisi tidurnya.”
“Sudah malam, tidurlah!”
“Dari tadi kamu meminta kutidur, tapi tidakkah …. “
Cup! Sebuah kecupan mendapat di keningnya.
“Kalau kamu masih mengoceh terus, aku akan melakukan aksi berikutnya. Oh ya, kenapa khimarmu tidak kaulepas? Kamu nampak semakin anggun dengan rambut tergurai. Apa kautakut aku akan melakukan serangan padamu? Dengar, Nyonya Alex! Aku adalah suamimu. Tidak selayaknya kamu berbuat seperti itu.”
Sherly tidak menjawab kalimat Alex yang begitu panjang. Dia lebih memilih merebahkan diri kembali untuk menikmati tidurnya. Di sisi lain, Alex tersenyum nakal. Dia ikut merebahkan diri menghadap ke arah sang istri. Tangannya memeluk tubuh sang istri. Alex menyibak khimarnya.
“Rambutmu wangi sekali. Aku menyukai aromanya.” Alex mencium rambut istrinya.
“Kamu menggangguku, Alex.”
“Itu sebagai hukuman kecil untukmu, Honey. Apa kau masih tidak ingin melepas khimarmu? Kalau tidak ….”
“Oke, aku akan menuruti perintahmu.”
“Istriku, kamu sangat cantik. Ayo, lekas tidur! Besok pagi aku ada rapat penting di kantor.” Tidak ada reaksi lagi. Sherly malas berdebat. Pada akhirnya, malam itu dia tidur dalam pelukan sang suami.
*
“Where are you going? Bukankah kamu masih memiliki waktu dua hari lagi untuk menikmati cutimu?” Alex menegur sang istri dari lantai dua.
“Aku … ah, aku mau jalan-jalan.”
“Oh, ya?” Alex menuruni anak tangga menuju sang istri. “Ayo, temani aku makan! Aku akan menjelaskan tentang Andini.”
“Andini?” Sherly bergumam lirih. Rasa penasaran membuat langkahnya mengekor sang suami.
“Apa kau mau diam saja seperti itu, Honey? Kau tidak mau mengambilkan menu untuk suamimu ini?”
“A-apa?” Sherly gelagapan. Terpaksa dia menuruti permintaan Alex.
Alex tersenyum. Lagi-lagi mendapati wajah jutek sang istri.
“Ini, silakan!” Sherly menyerahkan piring berisi nasi goreng berlaukkan telur goreng.
“Kamu tidak makan?”
“Tidak. Aku masih kenyang.”
“Oke.” jawab Alex singkat, lalu memakan makanannya.
“Apa kau sudah bisa cerita sekarang? Aku harus segera pergi ke kantor. Ada hal aneh dengan pengiriman dataku kemarin. Tidak seperti biasanya si Bos bersikap seperti itu. Hal sepenting itu kenapa tidak segera diposting?”
“Baiklah, aku sudah selesai makan. Aku akan jujur padamu. Wanita yang kamu lihat tadi malam, dia adalah calon istriku.”
“Apa? Calon istrimu?” Jleb! “Kenapa rasanya hatiku bak ditusuk sembilu yang tajam? Aku tidak jatuh cinta padanya, kan? Ini nggak lucu. Aku baru bersamanya lima hari, mana mungkin telah tumbuh benih cinta di hatiku? Sadar, Sherly!” batin Sherly.
“Kami gagal menikah. Seminggu sebelum ijab-qobul digelar, dia menyampaikan pesan via Whatsapp, dia meminta maaf karena tidak bisa menikah denganku. Dia benar-benar meminta maaf untuk itu. Dia wanita yang manis, lemah lembut, dan memiliki segudang tsaqofah Islam. Dia juga biasa mengisi beberapa forum kajian.”
“Apa kau masih mencintainya dan belum bisa move on darinya?”
Alex tersenyum. “You look jealous.”
“Jika kau masih menaruh hati padanya, lalu kenapa kamu menikahiku? Apakah aku hanya sekedar kaujadikan pelarian saja? Kamu keterlaluan, Alex.” Sherly sedikit geram terhadap Alex. Tak terasa bulir-bulir kristal bening sudah mengalir deras di pipinya. Sherly segera menghapus air matanya. “Sorry, i must go now.” Sherly berdiri dari kursinya dan hendak beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.
“Tunggu! Kamu belum menjawab pertanyaanku. Where are you going?”
“Bukan urusanmu.”
Alex berdiri dan segera menghampiri Sherly.
“Tentu saja urusanku karena kamu adalah istriku.”
“Let me go! I must go now.” Sherly berlalu begitu saja dari hadapan Alex sambil memendam rasa kecewa. Selama ini dia berpikir bahwa belum ada satu pun wanita yang menempati ruang di hati Alex, tetapi apa yang dipikirkannya itu salah besar. Dirinya merasa begitu bodoh karena menyangka sang suami belum pernah memiliki ikatan apa-apa dengan wanita lain. Dia memang benar-benar tidak tahu apa-apa tentang suaminya.
“Alex, aku benci kamu.”
===
To be continued…
Views: 0
Comment here