Oleh Emmy Emmalya (Pegiat literasi)
Wacana-edukasi.com — Pemberangkatan jamaah haji tahun ini tertunda lagi. Hal ini jelas mengundang kekecewaan para calon jamaah haji, karena sudah menantikan dari tahun ke tahun tetapi ketika sudah sampai waktunya, ternyata dibatalkan.
Pembatalan keberangkatan haji ini disampaikan melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas secara daring dalam konferensi pers yang disiarkan pada Kamis (3/6/2021), (Kompas, 4/06/21).
Ada beberapa alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tahun ini, sebagaimana dikutip dari kompas, tanggal 4 juni 2021, berikut;
Pertama, Faktor keselamatan dan keamanan jamaah haji yang terancam akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia.
Kedua, faktor tidak adanya undangan dari Kerajaan Arab Saudi untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021.
Selain kedua faktor itu Menteri Agama Yaqut juga membantah bahwa pembatalan keberangkatan jamaah haji 2021 itu bukan karena utang.
Yaqult menambahkan bahwa dana haji itu aman dan tidak dipakai untuk apa pun. Sebagaimana pernyataan Yaqult, yang dikutip dari kompas, tanggal 4 juni 2021.
Terlepas dari alasan yang disampaikan oleh pemerintah di atas. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi, seperti alasan pertama bahwa pemerintah membatalkan keberangkatan haji karena pandemi.
Bukankah kalau mau jujur, pandemi ini terus berlangsung karena kesalahan penanganan di awal, pemerintah tidak mau melakukan lockdown dengan alasan ekonomi.
Padahal andai saja pemerintah mau berkorban untuk rakyatnya sekitar beberapa triliun saja untuk menanggung biaya hidup rakyat selama lockdown dalam bulan-bulan pertama ketika virus itu terdeteksi di Indonesia, maka keadaan Indonesia tidak akan seperti saat ini.
Indonesia pun akan tetap bisa memberangkatkan jamaah haji untuk tahun ini.
Kemudian yang kedua, dikatakan dana haji aman dan diperbolehkan untuk diambil kembali bagi calon jamaah haji yang gagal berangkat tahun ini maka berikanlah keterangan secara transparan.
Lalu lakukan audit dana haji tersebut oleh pihak yang independen sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik Indonesia yang lebih baik.
Sebagaimana dana kemanusiaan untuk Palestina juga pemerintah meminta untuk mengaudit dana tersebut.
Kecurigaan terhadap dana haji yang beredar di masyarakat saat ini adalah suatu konsekuesi logis yang harus diterima pemerintah karena tidak terbuka berkaitan dengan dana tersebut.
Seyogianya pemerintah berfungsi sebagai pelayan bagi rakyatnya karena mereka dipilih oleh rakyat sebagai perwakilan mereka untuk melakukan seluruh urusan publik.
Maka adalah suatu hal yang wajar jika masyarakat meminta pertanggungjawaban atas dana haji mereka yang sudah dikumpulkan sekian tahun lamanya, tentu dengan berbagai kisah yang melatarbelakanginya.
Penyelenggaraan Ibadah Haji di dalam Negara Khilafah
Allah SWT telah menetapkan bahwa menunaikan ibadah haji sebagai fardu ‘ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam All-Qur’an, Ali ‘Imran ayat 97, yang artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Sabda Nabi SAW, yang artinya:
“Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sedangkan mengenai syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima:
Pertama, Islam. Kedua, berakal. Ketiga, balig. Keempat, merdeka (bukan budak). kelima, mampu.
Kriteria mampu, dijelaskan dalam hadis Nabi, mencakup dua hal:
Pertama, bekal ( az-zad). Kedua, alat transportasi (ar-rahilah) (HR. ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar). (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).
Menurut KH. Hafidz Abdurahman, bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikan haji, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji.
Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikannya, maka dia dinyatakan tidak berdosa, karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya.
Namun, jika dia mempunyai dugaan kuat bahwa kemampuannya akan berkurang sebelum melaksanakan haji, maka dia tidak boleh menunda hajinya.
Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Kitab al-‘Allamah karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 66). (https://vikaandika24.wordpress.com/2012/12/24/).
Dengan penjelasan tersebut maka menjadi jelas bahwa kewajiban berhaji bagi yang sudah mampu dan tidak ada halangan adalah fardu ‘ain.
Maka kewajiban negara untuk memfasilitasinya agar penyelenggaraan haji tersebut bisa terlaksana.
Oleh karena itu, paradigma negara khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah).
Dalam sistem khilafah, dana calon jamaah haji tidak akan digunakan untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Sebab dana tersebut sudah jelas peruntukkannya.
Dari sini menjadi jelas seperti apa seharusnya negara berperan dalam melayani rakyatnya, apalagi Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia dan bahkan menjadi negara yang paling banyak mengirimkan jamaah haji ke Arab Saudi.
Views: 5
Comment here