Opini

Implementasi Kota Layak Anak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Heny Era

wacana-edukasi.com– Kota Layak Anak (KLA) belakangan ini sedang marak digemborkan di daerah-daerah sebagai prioritas pembangunan daerah, tak sedikit pula kabupaten atau kota yang mendapat predikat Kota Layak Anak (KLA). Sebagaimana dilansir Kemenpppa.co.id (23/07/2022), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2022 kepada 320 kabupaten/kota, apresiasi juga diberikan kepada delapan (8) provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA).

Namun dibalik hingar bingar penghargaan itu sungguh ironisnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) juga mencatat ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang 2021, sebanyak 7.004 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual (Kompas, 24/03/2022).

Diangkatnya kota layak anak ternyata tak kemudian memberikan efek baik pada anak, bahkan kasus kekerasan pada anak terus meningkat dengan motif yang beragam. Sebut saja kekerasan seksual yang menimpa seorang anak berusaha 15 tahun yang disekap selama 1,5 tahun di Jakarta Barat untuk dijadikan sebagai pekerja seks komersial (Beritasatu 18/09/22).

Belum lagi adanya data kekerasan seksual di daerah lain di Indonesia, kali ini di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari Lembaga Save the Children menyebutkan bahwa lembaganya telah melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak (Tempo.co 13/09/22).

Semua itu hanya segelintir peristiwa kekerasan pada anak yang mencuat di permukaan, nyatanya semaraknya program Kota Layak Anak (KLA) yang diangkat pemerintah tak sejalan dengan menurunnya wabah kekerasan pada anak. KLA seolah hanya menjadi ajang meraih penghargaan setiap kota, namun tidak mampu melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan baik seksual, fisik ataupun bullying. Hal ini seharusnya menjadi alarm bahaya bagi setiap orang tua, dan pr besar bagi negara.

Pasalnya kekerasan yang terjadi pada anak-anak tentu saja akan menghambat tumbuh kembang mereka, rasa trauma yang muncul akan berakibat buruk pada fisik dan mental anak. Jika kekerasan terjadi pada seorang anak maka dapat melahirkan luka yang sulit disembuhkan sampai dewasa nanti. Tak hanya itu sebagai peniru ulung anak akan mempelajari kejadian di sekitarnya baik yang dilihat atau yang menimpanya. Anak akan mengikuti pola perilaku yang diterimanya, hal ini berbahaya jika bukan perlakuan dan lingkungan baik di sekitar yang didapatkan sang anak.

Kemudian adanya perspektif yang keliru terhadap definisi kota layak anak menyebabkan pemerintah hanya fokus pada pembangunan sarana dan prasarana semata yang mana diharapkan setiap kota layak menjadi tempat tinggal untuk anak. Akan tetapi standar kelayakan itu tidak dilihat dari sisi keamanan dan kenyamanan anak dalam tumbuh kembangnya.

Merebaknya kasus kekerasan anak terus meningkat tanpa ada solusi yang fundamental adalah buah dari sistem kapitalisme. Jika menggunakan kacamata kapitalisme upaya pencegahan pada anak tidak dilakukan dengan tepat. Usaha membangun ketahanan keluarga dalam ranah pendidikan kepribadian anak, pembinaan agama setiap anggota keluarga, dan pembentukan lingkungan sosial yang melindungi anak malah terabaikan.

Ideologi sekuler kapitalisme membuat para penguasa tak memperhatikan tata kelola kota dan kebijakan negara pula tak sejalan dengan syariat. Kehidupan masyarakat sekuler yang meniadakan peran agama dari kehidupan menjadikan anak korban atas keganasan sistem. Bukti bahwa program KLA teridentifikasi mandul dalam memberikan jaminan sistem aman yang dibutuhkan anak.

Berbeda dengan Islam yang menempatkan hak dan kewajiban dalam mengasuh dan mendidik anak baik dari lapisan keluarga, masyarakat maupun negara tidak lepas tangan semua bertanggung jawab. Karna ketiga pilar ini sangat penting untuk menjaga, mendidik, memenuhi hak dan kewajiban pengasuhan serta pendidikan anak semua saling terkait, antara keluarga, masyarakat dan negara.

Pendidikan dalam Islam mempunyai visi untuk akhirat bukan hanya dunia semata, inilah yang membedakan sistem kapitalisme sekuler dengan sistem Islam yang tidak terpaku pada deretan angka atau hasil survey. Adanya satu anak saja tidak terpenuhi haknya maka sudah harus segera diatasi apalagi jika ada beberapa anak yang terlantar hak-haknya, maka seorang pemimpin atau Khalifah dalam sistem Islam akan dimintai pertanggungjawabannya.

Tidak sampai disitu saja Islam memiliki sistem pergaulan yang mengatur kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Di kehidupan umum atau publik, mereka harus terpisah tanpa adanya kebolehan campur-baur dan berdua-duaan. Ini dapat mencegah merebaknya kasus pelecehan seksual, rudapaksa, ataupun perzinaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Juga dengan sanksi tegas yang dibebankan pada pelaku kejahatan akan membuat jera para pelakunya dan mencegah kasus serupa terjadi kembali, jadi kasus kekerasan pada anak mudah diberantas.

Perihal tata kelola kota sistem Islampun akan membangun berdasarkan asas maslahat untuk seluruh masyarakat. Tentu pembangunan ini juga ditopang dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Negara bertanggungjawab terhadap rakyat yang dipimpin dengan mengayomi dan memberikan perhatian penuh kepada calon generasi muda, keluarga dan masyarakat bahu membahu memberikan dukungan dan perhatian kepada anak-anak. Semua akan terlasana jika diterapkannya syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Ciptakan dan wujudkan Kota Layak Anak dengan sistem Islam. Menyelamatkan generasi dengan sistem yang hakiki.
Wallahua’lam bish showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 25

Comment here